Sekali Mendayung di Pucuk Kendari
Menikmati alam sekaligus ”membaca” kondisi sekitar bukan hal yang sulit dilakukan. Di Kota Kendari, kegiatan ini bisa ditemukan dalam sekali ”mendayung”.
Menikmati alam sekaligus ”membaca” kondisi sekitar bukan hal yang sulit dilakukan. Di Kota Kendari, kegiatan ini bisa ditemukan dalam sekali ”mendayung”. Sembari bersantai, menikmati panorama dan membaca buku terlampaui. Sebuah upaya baik di tengah rendahnya aktivitas membaca di ”Bumi Anoa” ini.
Riang suara anak-anak yang melantunkan huruf-huruf hijaiah terdengar dari sebuah saung. Dibimbing seorang anggota komunitas, lima anak sedang belajar mengaji, Jumat (10/1/2020) sore. Puluhan buku berjejer di rak-rak yang menempel di dinding. Buku-buku tersebut dikumpulkan anggota Komunitas Rumah Pucuk.
Berjarak 20 meter, di sebuah anjungan yang terbuat dari batang kayu, dengan lantai dari papan dan sisa-sisa dahan pohon, sejumlah orang asyik berfoto. Pemandangan di depan mata, ketika senja menjelang, memang cukup menenteramkan. Kota Kendari yang seharian bergeliat mulai mengendurkan otot.
Kendaraan hilir mudik bersiap pulang. Lampu-lampu kota mulai menyala. Kapal-kapal berbagai ukuran bersandar di tepian Teluk Kendari. Di ketinggian di atas 50 meter di atas permukaan laut, pemandangan Kota Kendari ke arah timur terlihat jelas.
Yuli (21), mahasiswa Universitas Halu Oleo, tidak menyia-nyiakan pemandangan yang ada. Bersama dua rekannya, Laura (19) dan Wasri (21), mahasiswi Fakultas Ekonomi ini terus mengambil foto di anjungan yang berdiri dengan ketinggian 7 meter di atas bukit.
”Saya memang baru pertama kali ke sini. Dikasih tahu teman, jadi penasaran,” kata Yuli.
Setelah berada di tempat ini, Yuli merasa menikmati sisi lain Kota Kendari. Jika biasanya ia hanya di sekitar kampus, Teluk Kendari, atau pusat perbelanjaan, saat ini ia bisa bersantai sejenak tidak jauh dari kota.
Nama tempat ini Rumah Pucuk. Sebuah tempat untuk menikmati pemandangan yang berada di sebuah bukit di tengah kota Kendari. Lokasi ini bisa ditempuh dengan kendaraan. Tempat ini berada di Kelurahan Nokoau, Kambu, tidak begitu jauh dari Universitas Halu Oleo, kompleks perkantoran, dan pusat kota Kendari.
Selain bisa melihat sisi timur Kota Kendari yang mengarah ke teluk, pengunjung juga bisa menikmati sisi barat kota, sekaligus megahnya suasana matahari tenggelam. Sebuah rumah pohon yang berada di ketinggian 20 meter menjadi tempat terbaik untuk melihat panorama senja.
Tangga dari kayu melingkar seperti ular yang membelit pohon. Anak-anak tangga yang juga dari papan kayu bersusun mengantar menuju puncak rumah pohon. Ada beberapa tempat singgah jika tidak ingin naik ke puncak pohon.
Terlebih kayu dan beberapa pegangannya terlihat ringkih, bahkan mulai terlepas. Pengunjung harus ekstra hati-hati. Tepat sebelum tiba di puncak, tangga menyempit, dan hanya bisa dilalui satu orang. Itu pun dengan posisi memiringkan tubuh.
Akan tetapi, ketika tiba di puncak, matahari yang menguning serupa rekan lama yang menyambut hangat. Tempias kuning mengguyur kota, jatuh di atap rumah, jalan, dan sisi kota yang masih hijau.
Jauh di ufuk, gumpalan awan sehabis hujan serupa gelombang di pegunungan. Putih menggelayut di bukit dan puncak gunung. Seiring berjalannya waktu, gradasi awan terus terjadi. Putih yang kekuningan beralih menjadi oranye, merah, dan ungu. Lembayung senja yang syahdu menyelimuti sisi barat kota sehabis hujan. Sebuah pemandangan magis yang bisa ditemukan tanpa usaha berlebih.
Linda (20), pengunjung lainnya, menuturkan, meski cukup takut untuk naik ke rumah pohon, ia akhirnya bisa menemukan pemandangan senja yang bagus. Pemandangan alam seperti ini baru ia temukan di Kota Kendari meski telah lama menetap.
”Bagus sunset-nya, langitnya warna-warni. Di sini juga banyak yang bisa dilakukan. Tadi saya lihat ada yang jual makanan, serta tempat baca dan diskusi,” kata gadis asal Baubau ini.
Wisata urban
Rumah Pucuk merupakan sebuah lokasi wisata urban yang tidak hanya menyediakan tempat bersantai, berfoto, atau menikmati pemandangan kota. Selain menyediakan jajanan, tempat ini juga menyediakan rumah baca, tempat diskusi, dan sejumlah saung untuk bersantai. Masuk ke tempat ini dan menikmati fasilitas yang ada, pengunjung diharapkan membayar Rp 5.000 untuk perbaikan, pengembangan, sekaligus subsidi kegiatan.
Rahmat Labone, penggagas tempat ini, mengatakan, Rumah Pucuk diinisiasi sejak 2016. Ebin, panggilannya, sering mengajak sejumlah rekan di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Halu Oleo untuk datang ke tempat ini sekadar menghabiskan waktu. Dari tempat bersantai, ide mengembangkan lahan yang awalnya berupa kebun ini pun berkembang.
”Akhirnya kami bikin rumah baca dulu. Buku-buku kami bawa sendiri dari rumah, dikumpulkan di tempat ini. Lalu, kami bikin rumah pohon, sampai lengkap dengan anjungan seperti sekarang ini,” kata Ebin.
Selain menjadi lokasi menikmati panorama kota, salah satu tujuan utama mengembangkan tempat ini agar menjadi tempat untuk berdiskusi, menumbuhkan kreativitas, hingga menciptakan lapangan usaha baru. Meski tidak rutin, diskusi dan bedah buku beberapa kali dilakukan.
Sejumlah anak muda sekitar turut terlibat. Saban sore, anak-anak di lingkungan Rumah Pucuk juga datang belajar mengaji.
”Kami ingin tidak hanya menjadi tempat wisata. Tetapi, ekosistem yang bisa menumbuhkan kewirausahaan, dan tempat belajar mengenai hal-hal baru,” ucap Ebin.
Sejumlah tempat wisata sekaligus edukasi mulai tumbuh di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara. Di tempat wisata hutan mangrove yang juga berada di Kota Kendari, sejumlah komunitas rutin membuka lapak buku dan diskusi bersama. Upaya untuk meningkatkan literasi dan diskusi terus bertumbuh.
Hal ini tentu menjadi modal baru di tengah rendahnya indeks literasi di wilayah ini. Data Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 2019 menunjukkan, Sulawesi Tenggara masuk dalam zona rendah dari sejumlah kategori yang diukur.
Untuk kategori indeks dimensi akses, wilayah dengan sebutan ”Bumi Anoa” ini berada di urutan ke-23 dari 34 provinsi. Pada indeks budaya yang mencakup kebiasaan membaca, Sulawesi Tenggara berada di urutan ke-18 yang juga tergolong rendah.
Mendorong meningkatnya literasi, Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara saat ini membangun sebuah gedung perpustakaan baru bernilai Rp 90 miliar. Perpustakaan berlantai tujuh dengan sejumlah fasilitas mumpuni.
Proyek ini dinilai hanya menghamburkan anggaran di tengah literasi digital yang tanpa perlu membangun fisik bangunan. Anggaran sebanyak itu bisa untuk membeli 900.000 buku bacaan berkualitas dengan harga masing-masing Rp 100.000.
Butuh upaya ekstra agar kemampuan literasi warga, utamanya generasi muda, bisa terus tumbuh. Inisiatif dari sejumlah komunitas, individu, dan lembaga tentu menjadi nilai tambah di tengah upaya pemerintah yang seakan berjalan di tempat, berciri proyek, dan tanpa terobosan berarti.