Mereka yang Tak Sadar Diintai Bencana
Hidup di atas sesar aktif, sebagian masyarakat Kota Palu, Sulawesi Tengah, seolah terus diintai bencana yang bisa datang sewaktu-waktu.
Hidup di atas sesar aktif, sebagian masyarakat Kota Palu, Sulawesi Tengah, seolah terus diintai bencana yang bisa datang sewaktu-waktu.
Ironisnya, warga tidak mendapat informasi kerentanan bencana di wilayah yang mereka huni. Mereka bahkan tidak tahu apa yang mereka harus persiapkan sebelum bencana benar-benar tiba.
Anto Tahera (40) terkejut saat mengetahui bahwa tempat tinggalnya di Kelurahan Tatura Utara, Kecamatan Palu Selatan, Kota Palu, Sulawesi Tengah, ternyata berada di zona dengan kerentanan gempa dan likuefaksi tinggi.
Selama ini ia berpikir, kawasan tempat tinggalnya cukup aman dan tak mungkin terjadi likuefaksi seperti di Kelurahan Petobo pada 28 September 2018. Kalaupun terjadi gempa, menurutnya, dampaknya pun tak sampai merobohkan rumah.
“Saya tidak tahu. Kalau benar, ini mengerikan sekali,” ujar Anto, saat ditemui di rumahnya dua pekan lalu. Menurut Anto, tidak pernah ada sosialisasi dari pihak manapun untuk menjelaskan bahwa rumahnya berada di zona rawan bencana yang tinggi. Dia juga tidak mengetahui apa yang harus dilakukan ketika gempa terjadi.
Saat gempa bumi mengguncang Palu pada 28 September 2018, rumahnya terdampak, namun tak roboh. “Pas gempa terjadi saya sedang di masjid sekitar 200 meter dari rumah,” ujar Anto yang tinggal bersama istri dan seorang anaknya.
Meski sudah tinggal di Tatura Utara sejak lahir, Anto bersedia pindah ke daerah lain yang bukan zona merah jika memiliki uang. “Buat saya keselamatan yang utama untuk keluarga,” ujar Anto.
Ketidaktahuan mengenai zona rawan bencana tinggi juga dialami Anton (41), yang tinggal di Jalan Batubata Indah, Tatura Utara. Ia pun tidak siap jika bencana gempa mengguncang kawasan tempat tinggalnya. “Saya tidak tahu soal bahaya gempa di wilayah ini. Tidak pernah ada yang sosialisasi. Selama ini (setelah gempa) masih aman-aman saja,” kata Anton yang tinggal bersama sang ibu.
Baca juga : Palu Segera Luncurkan Kurikulum Kebencanaan
Berdasarkan survei Stasiun Geofisika Kelas 1 Palu dan BPBD Kota Palu, Kelurahan Tatura Utara sangat rentan guncangan gempa dan berpotensi terjadi likuefaksi. Tanah yang lunak di wilayah ini membuat dampak gempa lebih destruktif dan sangat berpotensi merobohkan rumah. Indeks kerentanan gempa di Kawasan Tatura Utara mencapai 13,84 atau lebih tinggi dari rata-rata Kota Palu yang sebesar 12,19.
Namun, dalam peta zona ruang rawan bencana (ZRB) yang disusun pemerintah pusat, Tatura Utara justru hanya masuk sebagai zona 1 atau zona pengembangan. Padahal, mengacu survei BMKG, Tatura Utara seharusnya masuk zona III atau zona terbatas. Artinya, peta ZRB itu mengabaikan potensi kerawanan gempa hasil survei Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).
Yang mengkhawatirkan, Tatura Utara adalah kelurahan dengan jumlah penduduk terbanyak dari 46 kelurahan di Kota Palu. Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) Palu tahun 2018, jumlah penduduk Tatura Utara sebanyak 22.839 jiwa.
Amukan sesar
Sangat penting memberikan pengetahuan ancaman bencana sebenarnya pada masyarakat sekitar. Sejarah sudah membuktikan, Kota Palu, merupakan wilayah yang sangat rentan terhadap bencana, utamanya gempa bumi.
Kehidupan Kota Palu terbangun di atas Sesar Palu-Koro. Sesar ini merupakan salah satu sesar regional paling aktif. Lajunya empat kali lebih cepat dari sesar besar Sumatera. Aktivitas sesar itu membuat potensi dan frekuensi gempa meningkat.
Catatan BMKG menyebutkan, setidaknya terjadi delapan peristiwa gempa besar yang sebagiannya memicu tsunami dalam 120 tahun terakhir. Gempa itu terjadi pada 1905, 1907, 1909, 1927, 1937, 1968, 2012, dan 2018.
Kepala Seksi Data dan Informasi Stasiun Geofisika Palu Hendrik Leopatty mengatakan, masih ada satu dari empat segmen di Sesar Palu-Koro yang belum lepas energinya, yakni segmen moa. Segmen yang berada di Kabupaten Sigi ini berpotensi menimbulkan gempa besar selanjutnya. Kekuatan gempa bisa mencapai M 7.
“Tetapi, dengan lepasnya kemarin gempa M 7,4, secara keilmuan mudah-mudahan 50 tahun lagi Palu aman dari Palu Koro. Teorinya gempa besar tidak akan terjadi dalam 100 tahun, aplikasi di lapangan sekitar 50 tahun,” tegas Hendrik.
Kepala BPBD Kota Palu Singgih B Prasetyo menyatakan, sudah memberikan peta mikrozonasi hasil survei Stasiun Geofisika Kelas 1 BMKG yang memuat kerentanan bencana gempa dan likuefaksi di Palu ke Dinas Penataan Ruang dan Pertanahan Palu. Dia berharap survei itu bisa menjadi rujukan standar konstruksi bangunan (building code) tahan gempa di Kota Palu.
“Kerawanan gempa itu menurut saya solusinya adalah building code. Ini yang harus benar-benar diawasi dan dipastikan sesuai kerentanannya. Tetapi kembali lagi ke kemampuan masyarakat. Karena building code semakin ketat, akan semakin mahal,” sebut Singgih.
Baca juga : Pemerintah Diingatkan Membangun Palu Berorientasi Mitigasi
Kendati demikian, Kepala Dinas Penataan Ruang dan Pertanahan Palu Mohammad Rizal, menyatakan, revisi RTRW Kota Palu tetap mengacu pada peta ZRB yang disusun pemerintah pusat, bukan peta mikrozonasi dari BPBD Palu maupun peta BMKG.
Saat ini, Pemprov Sulteng sedang dalam proses pembuatan revisi RTRW. Revisi itu mengacu pada peta ZRB yang diterbitkan pemerintah pusat. Sayangnya, peta ZRB itu tidak menampilkan secara utuh ancaman bencana di sejumlah wilayah Kota Palu karena mengabaikan kerawanan gempa yang dikaji BMKG.
Sekretaris Provinsi Sulteng Hidayat Lamakarate mengucapkan, pemprov akan menjalankan arahan standar kode bangunan sesuai hasil revisi RTRW yang merujuk pada peta ZRB. “Kalau memang harus ada building code ketat, Kami akan jaga Kabupaten/Kota mengikutinya. Itu wajib demi keselamatan warga,” ucap Hidayat.