Pedagang Daring Batam Keluhkan Peraturan Baru Barang Kiriman
Pedagang daring di Batam, Kepulauan Riau, mengeluhkan peraturan baru tentang pajak atas impor barang kiriman. Peraturan yang bertujuan melindungi usaha mikro, kecil, dan menengah itu justru dinilai berdampak sebaliknya.
Oleh
PANDU WIYOGA
·3 menit baca
BATAM, KOMPAS – Pedagang daring di Batam, Kepulauan Riau, mengeluhkan peraturan baru tentang pajak atas impor barang kiriman. Peraturan yang bertujuan melindungi usaha mikro, kecil, dan menengah itu justru dinilai berdampak sebaliknya. Bisnis e-dagang di Batam kini terancam mandek.
Sekitar 300 orang anggota Forum Reseller Batam (FRB) berkumpul di gedung Badan Pengusahaan (BP) Batam, Senin (27/1/2020), untuk meminta penjelasan terkait Peraturan Menteri Keuangan Nomor 199 Tahun 2019 tentang Ketentuan Kepabeanan, Cukai, dan Pajak atas Impor Barang Kiriman.
Salah satu anggota FRB, Rahma (39), menyatakan, keputusan pemerintah untuk menurunkan batas barang kiriman yang mendapatkan pembebasan bea masuk (BM) dari sebelumnya 75 dollar AS menjadi 3 dollar AS sangat merugikan pedagang. Hal itu bisa mematikan bisnis e-dagang di Batam.
Setiap barang yang dikirim keluar dari Batam, per 30 Januari 2020, akan dikenai BM 7,5 persen dan pajak pertambahan nilai (PPN) 10 persen. “Peraturan baru itu membuat barang kiriman dari Batam disamakan dengan barang impor, padahal daerah lain tidak begitu,” kata Rahma.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Ardi (33) yang menjual busana muslim secara daring. Ia khawatir peraturan baru tersebut bukan hanya akan memberatkan pedagang daring yang mengambil barang dari luar negeri, tetapi juga akan berdampak kepada pengusaha UMKM di Batam.
Kepala Bidang Bimbingan Layanan Kepatuhan dan Informasi Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Batam Sumarna menyatakan, sebagai kawasan perdagangan bebas, Batam menikmati insentif fiskal. Barang yang masuk ke Batam tidak dikenai BM, PPN, maupun pajak penghasilan (PPh).
“Ketika barang itu mau keluar dari Batam baru dikenai BM dan PPN, tetapi tetap dibebaskan dari PPh. Hal itu masih menguntungkan jika dibandingkan daerah lain,” ujar Sumarna.
Menurut dia, peraturan baru itu bertujuan untuk menciptakan iklim bersaing yang adil bagi UMKM di seluruh Indonesia. Jika barang impor terus dibiarkan membanjiri Indonesia dengan harga yang murah, pengusaha UMKM di daerah lain bisa gulung tikar karena produknya tidak laku lagi di dalam negeri.
Peraturan baru itu bertujuan untuk menciptakan iklim bersaing yang adil bagi UMKM di seluruh Indonesia. (Sumarna)
Pada 2017, barang kiriman dari Batam ke daerah lain jumlahnya mencapai 9 juta paket. Adapun pada 2019, jumlahnya meningkat lima kali lipat menjadi 45 juta paket. Dari jumlah itu, 77,7 persen paket merupakan barang konsumsi yang berasal dari luar negeri atau barang impor.
“Barang konsumsi yang mendapat insentif fiskal itu sebenarnya hanya untuk kebutuhan lokal di Batam. Bukan untuk diperdagangkan kembali,” kata Deputi Bidang Pengelolaan Kawasan dan Investasi BP Batam Sudirman Saad.
Menurut dia, bisnis penjualan daring di Batam semakin marak saat ekonomi mulai lesu pada dua tahun lalu. Ketika industri di Batam banyak yang gulung tikar, sebagian pekerjanya beralih profesi menjadi pedagang daring. Namun, hal itu dinilai tidak selaras dengan rencana awal pembangunan di Batam.
“Bisnis penjualan daring itu semacam tempat penampungan sementara, jangan sampai jadi permanen dan semakin membesar. Itu akan menyalahi rencana awal Batam untuk menjadi kawasan industri yang menghasilkan barang ekspor,” ujar Sudirman.