Kondisi Iklim Ikut Picu Lonjakan Harga Cabai di Yogyakarta
Harga cabai rawit merah di sejumlah pasar tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta melonjak hingga lebih dari lima puluh persen. Peralihan musim kemarau ke musim hujan menyebabkan sebagian hasil panen petani berkurang.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·3 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Harga cabai rawit merah di sejumlah pasar tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta melonjak hingga lebih dari lima puluh persen. Peralihan musim kemarau ke musim hujan menyebabkan sebagian hasil panen petani berkurang.
Data Dinas Perdagangan dan Perindustrian Daerah Istimewa Yogyakarta, per Jumat (24/1/2020), mencatat, rata-rata harga cabai rawit merah mencapai Rp 82.000 per kilogram (kg). Harganya meningkat jauh dibandingkan awal tahun Rp 33.667 per kg. Harga normal komoditas tersebut sekitar Rp 30.000 per kg. Pantauan dilakukan di tiga pasar rujukan wilayah Yogyakarta, yakni Pasar Beringharjo, Pasar Kranggan, dan Pasar Demangan.
“Harga cabai rawit merah memang naik. Cuaca mempengaruhi. Stok masih ada tetapi tidak melimpah,” kata Kepala Bidang Perdagangan Dalam Negeri, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Daerah Istimewa Yogyakarta (Disperindag DIY), Yanto Aprianto, di Yogyakarta, Senin (27/1/2020).
Yanto menyatakan, dalam kondisi seperti ini, setidaknya stok cabai rawit merah di pasar mencapai 200-300 kg per harinya. Jumlah tersebut dianggap masih mampu mencukupi permintaan pasar.
Yanto menambahkan, faktor lain yang menyebabkan minimnya pasokan cabai rawit merah adalah berkurangnya luasan lahan panen. Di Kulon Progo, misalnya, lahan panen berkurang dari sekitar 300 hektar menjadi sekitar 15 hektar saja. hal ini karena sebagian petani sedang memasuki musim tanam.
“Sekarang, petani sudah mulai memasuki musim tanam. Pasti stok produksinya berkurang. Kelihatannya, panen raya nanti terjadi Maret atau April. Saat itu, harganya pasti bisa turun dan diperkirakan stabil lagi,” kata Yanto.
Tarmini (63), pedagang cabai di Pasar Beringharjo, menuturkan, pasokan cabai rawit merah yang dijualnya berasal dari para petani di wilayah Sleman. Para petani itu mengeluh kesulitan memanen setelah musim hujan tiba. Hasil cabai yang dipanennya lembek sehingga tidak cukup baik untuk dijual.
“Ini dipasok langsung oleh petani yang menanam sendiri cabainya. Datang memang hanya bawa sedikit-sedikit saja. Jadi, panenan memang berkurang di tingkat petani,” ujar Tarmini.
Meski harga cabai naik, menurut Tarmini, konsumennya masih selalu ada. Sebagian besar konsumennya merupakan pedagang makanan. Dalam satu hari, ia menjual sekitar 50 kg cabai rawit merah. Jumlah yang dibeli setiap konsumen mulai dari 1 kg hingga 10 kg.
Buruknya kualitas hasil panen cabai salah satunya dialami Maimun (50), petani cabai di Desa Sukoharjo, Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman, DIY. Ia menanam cabai di tanah seluas 1.600 meter persegi. Namun, kali ini, ia hanya mampu memanen sekitar 5 kg cabai saja. padahal, saat normal, ia bisa memanen berkisar 30-40 kg.
“Waktu hujan mulai deras ini, hasil cabai jadi kurang bagus. Banyak yang lembek karena terlalu banyak air yang masuk. Sekarang, saya sedang berusaha buat menanam ulang,” kata Maimun.
Legimin (56), petani cabai lain di Desa Wedomartani, mengalami hal berbeda. Ia bisa menghasilkan panen lebih baik dibandingkan Maimun. Setiap tiga sampai empat hari sekali, ia memanen sedikitnya 30-40 kilogram cabai dari ladangnya. Namun, ia tak memungkiri bahwa memanen cabai sewaktu musim hujan akan lebih sulit.
“Di musim hujan, jumlah air akan selalu lebih banyak dibanding biasanya. Tanaman cabai tidak cocok dengan air yang banyak. Karena, nanti cabainya akan lembek dan mudah membusuk. Pohon cabai juga mudah layu karena kaget dengan perubahan cuaca dari kering ke hujan,” kata Legimin.