Sudah lebih dari setahun gempa bumi, tsunami, dan likuefaksi memporak-porandakan Palu dan sekitarnya. Namun, beragam persoalan masih terus dihadapi para penyintas di pengungsian. Mereka sedang berjuang menata hidup.
Sudah lebih dari setahun gempa bumi, tsunami, likuefaksi memorak-porandakan Kota Palu, Sulawesi Tengah. Namun, bencana seakan belum beranjak dari Palu. Banyak penyintas yang kini masih tinggal di tenda pengungsian, merasa putus asa saat menatap masa depan. Mereka masih berjuang dari hari ke hari untuk menata hidup.
Jumat (10/1/2020) siang, matahari begitu terik. Akan tetapi, sinarnya tak mampu mencerahkan tatapan Tommy. Ia duduk sendiri di bangku plastik di bawah salah satu tenda berukuran 6 meter x 3 meter di kompleks pengungsian di Kelurahan Balaroa, Kecamatan Palu Barat, Kota Palu, Sulawesi Tengah. Kedua bola matanya menatap kosong ke depan.
Tangan pria kelahiran 63 tahun silam itu terlihat bergetar saat mengambil gelas di meja kayu depannya. Melihat suaminya yang menderita strok itu kesulitan, Yati bergegas membantu Tommy mengambilkan gelas itu. ”Kondisi bapak makin menurun karena sudah seminggu tidak minum obat,” ujar perempuan berusia 47 tahun itu.
Strok membuat Tommy lebih banyak beristirahat. Yati pun mengambil alih peran Tommy sebagai tulang punggung keluarga. Ia berjualan kue dan minuman dingin dalam kemasan di SDN Inpres Balaroa. Namun, pendapatan Yati tidak cukup untuk membeli obat-obatan untuk suaminya. Akibatnya, Tommy sering ”puasa” minum obat.
Di tengah percakapan, berkumandang azan penanda shalat Jumat. Yati memanggil Rafli (12), anak semata wayangnya, agar segera mempersiapkan diri ke masjid. Yati bingung karena Rafli sebentar lagi lulus SD dan masuk SMP. ”Dari mana uang untuk mengurus semuanya itu?” keluhnya.
Yati juga masih bingung dimana kelak mereka akan bermukim. Keluarga mereka tidak mendapatkan bantuan hunian tetap (huntap) karena sebelumnya hanya mengontrak. Penyintas yang mendapatkan bantuan huntap adalah mereka yang memiliki sertifikat dari rumahnya yang hancur di Balaroa.
”Kami ingin sekali punya hunian yang tetap supaya pikiran bisa lebih tenang dan kami perlahan bisa menata kehidupan dan merencanakan masa depan,” kata Yati, yang tinggal di tenda itu sejak rumah tempatnya mengontrak hancur diamuk likuefaksi.
Huntara
Tidak hanya Yati yang berjuang menata hidup usai bencana Palu. Sudah setahun terakhir Oboria (32) tinggal di hunian sementara (huntara) di Keluruhan Tondo, Kecamatan Mantikulore, Kota Palu. Di ruangan berukuran 4 meter x 3 meter, Oboria harus berbagi ruang bersama sembilan orang lainnya, yakni suaminya, keenam anaknya, serta kedua kakaknya.
Ruang sesempit itu tetap mereka sebut rumah. ”Biarpun huntara ini sempit, panas, dan suka bocor saat hujan, kami mencoba tetap bersyukur. Semua selamat dan kami masih ada tempat tinggal,” kata Oboria.
Mereka adalah salah satu dari total 121 keluarga penyintas tsunami yang tinggal di Huntara Tondo, Kecamatan Mantikulore, Kota Palu. Rumah mereka ada di pinggir pantai yang telah hancur diguncang gempa dan dihantam gelombang tsunami pada 28 September 2018. Semua harta benda habis tak tersisa.
Selamat dari bencana alam mereka anggap sebagai anugerah. Namun, menata kembali kehidupan dan mempersiapkan masa depan juga bukan perkara sederhana.
Tanpa bekal pendidikan formal, sehari-hari Oboria memulung. Dari subuh hingga menjelang maghrib, ia mengantongi Rp 15.000-Rp 20.000 dari upaya kerasnya mengumpulkan plastik bekas. Suaminya adalah buruh bangunan di Palu, Sigi, dan Donggala, yang baru pulang 10 hari sekali dengan pendapatan Rp 800.000. Dari sanalah, mereka menyambung hidup tiap harinya.
Nama Oboria tidak masuk daftar keluarga yang memperoleh huntap, yang sedang dibangun di dekat Universitas Tadulako. Pasalnya, rumah mereka yang lama tidak berada di zona merah. ”Padahal, rumah kami juga hancur seperti rumah-rumah lain di zona merah, tetapi rumah kami hanya dianggap rusak berat. Bantuan juga belum datang. Saya bingung ini,” ucap Oboria.
Bantuan
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat berencana membangun 3.000 unit huntap di Palu dan sekitarnya yang ditargetkan selesai tahun ini. Wali Kota Palu Hidayat pun berharap warganya dapat segera menghuni huntap yang dibangun pemerintah pusat. Selama ini, masih banyak
warga yang masih tinggal di tenda pengungsian dan huntara.
Untuk para penyintas yang tidak memperoleh jatah huntap, Hidayat mengaku sudah memproses bantuan-bantuan stimulan. ”Kami akan beri bantuan modal kerja dan pelatihan usaha kecil. Ini agar mereka bisa memulai kembali hidupnya,” ujar Hidayat. Akan tetapi, memulai kembali hidup bahkan berharap hidup lebih baik di daerah yang pernah dihantam bencana tidak pernah mudah.