Ikan dingkis dihidangkan dengan cara dibakar atau disajikan sebagai sup kuah kuning. Selain itu, dingkis juga dibutuhkan oleh warga keturunan Tionghoa untuk dijadikan persembahan ketika sembahyang Imlek
Oleh
Pandu Wiyoga
·5 menit baca
Bagi nelayan Melayu, ikan dingkis (Siganus canaliculatus) bagaikan kekasih setia yang kedatangannya selalu dinantikan. Ia tak pernah ingkar janji untuk pulang ke kelong, yakni alat penangkap ikan dari kayu yang dipasangi jaring besar, dengan perut buncit setiap Imlek. Dingkis bunting yang dianggap pembawa hoki oleh orang Tionghoa adalah pelipur lara bagi para nelayan yang selalu kalah dalam hidup.
Sebuah perahu fiber dengan satu mesin tempel mondar-mandir di perairan Pulau Pecong, Kecamatan Belakang Padang, Batam, Kepulauan Riau (Kepri). Pengemudinya tampak terburu-buru. Perahu dipacu luar biasa kencang sampai kadang melayang saat menghantam ombak musim angin utara yang cukup tinggi.
Pengemudi perahu itu bernama Basri (39). Namun, orang lebih mengenal dia sebagai Golok. Konon, waktu masih kecil, pria bercambang itu selalu menenteng golok ke mana-mana agar ditakuti kawan-kawannya. Ia adalah salah satu tauke atau pengepul ikan dingkis di Pulau Pecong. ”Ada tak?” teriak Golok dari atas perahu kepada seorang penjaga kelong, Kamis (23/1/2020). ”Ada, tapi masih sikit,” jawab si penjaga dengan logat Melayu yang kental.
Ikan dingkis paling banyak ditemukan di perairan sekitar Pulau Kasu, Pulau Pecong, dan Pulau Pemping di Kecamatan Belakang Padang. Pada hari biasa, ikan itu tidak istimewa, harganya cuma Rp 10.000 per kilogram. Namun, menjelang Imlek, harga dingkis di tingkat nelayan bisa melambung menjadi Rp 300.000 per kg.
Harga dingkis akan melonjak saat ikan itu bunting pada periode sekitar Januari-Februari. Keturunan Tionghoa di Batam dan Singapura menjadikan dingkis bunting sebagai hidangan wajib saat Imlek. Dingkis yang mengandung telur dipercaya akan membawa keberuntungan di sepanjang tahun berikutnya.
Ikan dingkis biasanya dihidangkan dengan cara dibakar atau disajikan sebagai sup kuah kuning bersama daun bawang. Selain itu, dingkis juga dibutuhkan oleh warga keturunan Tionghoa untuk dijadikan persembahan ketika sembahyang Imlek.
Kira-kira seminggu sebelum Imlek, nelayan di pulau-pulau mulai mendirikan kelong di tengah laut untuk menangkap dingkis. Batang-batang kayu nibung (Oncosperma tigillarium) ditancapkan ke dasar laut sebagai tiang untuk membentangkan jaring. Cara kerjanya serupa dengan bubu untuk menjebak ikan. ”Untuk bikin satu kelong, paling enggak butuh modal Rp 10 juta,” kata Muhdifri (44).
Mendirikan kelong untuk menangkap dingkis tak bisa di sembarang tempat. Ada lokasi strategis yang sudah ditandai secara turun-temurun. Orang pulau menyebutnya ”lapak”. Meski tak ada sertifikat hak atas kapling di laut, lapak itu sering diperjualbelikan layaknya lahan di darat. ”Harganya tergantung berapa banyak dingkis yang biasa didapat pemilik sebelumnya. Ada yang sudah ditawar Rp 100 juta, tetapi enggak dikasih,” tutur Muhdifri.
Dia pernah membeli lapak dari kawannya seharga Rp 7 juta. Menurut dia, harga itu sangat murah dan hasilnya sangat menguntungkan. Kini Muhdifri punya empat lapak. Satu lapak bisa menghasilkan lebih dari Rp 20 juta. Uangnya cukup untuk menyekolahkan anak dan sisanya ditabung.
”Orang China (yang merayakan) tahun baru, orang Melayu (yang dapat) banyak duit,” celetuk Golok disambut gelak tawa nelayan lain. Harga dingkis yang melambung menjelang Imlek selalu disambut dengan sukacita oleh orang-orang di pulau. Hanya saat itu mereka bisa merasakan enaknya hidup menjadi nelayan. Penghasilan besar dari penjualan dingkis membuat mereka sejenak lupa akan kesusahan hidup yang dialami hampir sepanjang tahun.
Muhdifri bercerita, nelayan di Pulau Pecong sehari-hari menggantungkan hidup dari hasil tangkapan udang. Harga 1 kg udang sekitar Rp 30.000. Jika laut sedang murah hati, dalam sehari mereka bisa dapat 3-5 kg udang. Namun, lebih sering mereka pulang dengan tangan hampa.
Mulai berkurang
Tahun ini, nelayan di pulau-pulau kecil sekitar Kecamatan Belakang Padang harus menerima kenyataan pahit. Tangkapan dingkis tak sebanyak yang diharapkan. Dingkis biasanya banyak datang ketika hujan turun. Namun, hujan tak juga kunjung turun di pulau-pulau itu, bahkan hingga hari H perayaan Imlek.
”Kami enggak tahu kenapa dingkis sekarang jadi sedikit. Mungkin memang lagi kurang beruntung,” ucap Muhdifri. Kepri terletak di wilayah dengan pola hujan ekuatorial. Artinya, hujan bisa turun kapan saja, tidak mengenal musim. Meskipun begitu, tetap ada masa-masa tertentu ketika curah hujan lebih tinggi dibanding pada bulan lainnya, yaitu pada Maret sampai April dan November hingga Desember.
Data Stasiun Meteorologi Kelas I Hang Nadim I pada Desember lalu menunjukkan dampak perubahan iklim mulai terasa di Kepri. Intensitas hujan meningkat, tetapi terjadi dalam waktu yang lebih singkat. Hal itu berpotensi memicu banjir karena hujan berlebih serta kekeringan akibat kemarau panjang.
Kata Golok, dingkis memang berkurang, tetapi rezeki sedikit apa pun harus disyukuri. Siang itu, ia tetap memacu perahunya dari kelong ke kelong. Panas matahari yang sungguh terik di tengah laut seperti tak dihiraukan. Yang ada di benaknya ketika itu hanya mengumpulkan dingkis sebanyak-banyaknya.
”Ada tak,” teriaknya kembali pada dua penjaga kelong. ”Ada. Lumayan, nih,” balas salah satu penjaga. Golok segera menambatkan perahunya di kelong itu. Dingkis dari penjaga kelong lalu ditimbang, 3 kg beratnya. Ia menawar seharga Rp 250.000 per kg. Si penjaga kelong setuju. Uang Rp 750.000 diberikan dan dengan cepat ikan sudah berpindah tangan.
”Hmmm, bau duit ini,” ujar Golok terkekeh sambil mencium seekor dingkis. Entah sampai kapan tawa riang Golok dan penangkap dingkis lain di pulau-pulau kecil itu akan bertahan. Reklamasi dan tambang pasir laut semakin masif di Kepri.
Sampah plastik dan tumpahan minyak juga telah menutupi birunya lautan. Jika itu terus dibiarkan, suatu saat mungkin dingkis pun tak datang lagi. Terpaksa ingkar janji akibat ulah manusia juga.