Sagu dan Ubi Bersaing dengan Beras di Sangihe
Pemerintah Kabupaten Kepulauan Sangihe telah menetapkan Selasa dan Jumat sebagai No Rice Day (Hari Tanpa Nasi). Masyarakat diajak mengganti nasi dengan pangan lokal, seperti sagu, ubi jalar, ubi kayu, dan talas.
Pamor sagu dan ubi di Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara, pada masa lampau demikian harum karena menjadi makanan pokok warga. Seiring waktu, beras kian mendominasi menjadi pangan utama hingga sagu dan ubi tersisih. Kini, kesadaran untuk mengembalikan pamor pangan lokal mulai tumbuh di Sangihe.
Wakil Bupati Kepulauan Sangihe Helmud Hontong menyambut kedatangan dua tamunya, Bowo dan Vadiel, di sebuah warung sederhana di seberang Pelabuhan Tahuna, Selasa (7/1/2020) siang. Dua anggota staf urusan logistik Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) itu didatangkan dari Jakarta untuk mengurus distribusi logistik bagi korban banjir bandang di Kecamatan Manganitu dan Tamako.
”Sudah, jang sontong (jangan sentuh) itu nasi!” seru Helmud kepada para tamu yang sudah siap di meja makan. Lalu, ia menyodorkan wadah berisi lembaran sagu sangrai sambil menyiarkan promosi. ”Hari ini kita makan sagu kelapa saja, asli Sangihe. Dijamin enak, lezat, dan tahan lama di perut!” katanya.
Sebagai tuan rumah yang baik, Helmud tak ingin kedua tamu dari jauh itu kelaparan ketika menjalankan tugas. Ia pun mendesak agar mereka makan sagu sebagai sumber karbohidrat pengganti nasi. ”Kalau makan sagu, kenyangnya lebih lama,” kata Helmud.
Di dapur warung, juru masak mencampur bubuk pati sagu dengan parutan kelapa, kemudian disangrai di atas panci hingga membentuk lingkaran besar seperti serabi solo. Prosesnya seperti menggoreng, tetapi tanpa minyak. Beberapa menit kemudian, sagu siap disantap.
Kalau wakil bupati telah bertitah, Bowo dan Vadiel tak mungkin menolak. Di bawah pengawasan Helmud dari ujung meja, mereka robek sagu sangrai yang kenyal itu untuk dimakan bersama ikan tude bakar yang dibubuhi rica bakar, dengan sayur ca kangkung.
Tiada rasa selain sedap. Lembaran sagu itu hampir hambar, tetapi gurih berkat serbuk parutan kelapa. Sekalipun garing di luar karena disangrai, tekstur sagu tetap kenyal. Saat digigit, ia akan molor serupa karet sehingga butuh sedikit lebih lama melumatnya di mulut dibandingkan nasi. Tetap saja, Bowo dan Vadiel makan lahap, sesekali menyeka keringat lantaran pedasnya rica.
Kebetulan saat itu hari Selasa. Pemerintah Kabupaten Kepulauan Sangihe telah menetapkan Selasa dan Jumat sebagai No Rice Day (Hari Tanpa Nasi). Masyarakat diajak mengganti nasi dengan pangan lokal, seperti sagu, ubi jalar, ubi kayu, dan talas.
Sebagai teladan warga, Helmud pun berusaha konsisten pada instruksinya sendiri sekaligus memperkenalkan sagu kepada orang Jawa yang terbiasa makan nasi. ”Sagu ini makanan asli masyarakat Sangihe yang sudah kami konsumsi sejak zaman nenek moyang kami,” ujarnya.
Bisa marah
Konsistensi dengan kebijakan No Rice Day juga ditunjukkan Bupati Sangihe Jabes Gaghana. Pada Jumat (10/1), di rumah jabatan bupati tidak ada hidangan nasi.
”Hari ini rebus batata (ubi jalar) dan bete (talas). Kalau ada nasi saat No Rice Day, Bapak (Jabes) bisa marah,” kata Meike Rambing (38), salah satu asisten rumah tangga bupati.
Sagu dan beragam jenis ubi tumbuh subur di Sangihe, sedangkan beras harus didatangkan dari luar daerah. ”Bapak lebih suka beli (sagu dan ubi) dari petani lokal untuk memberdayakan mereka,” kata Meike. Siang itu, Jabes tidak makan siang di rumah jabatannya. Selesai mengunjungi lokasi banjir bandang di Kampung Lebo, Manganitu, ia mampir sejenak di rumah jabatannya, lalu langsung menuju undangan acara duka.
Saat dijumpai, politisi Golkar itu mengaku berambisi mengembalikan kebiasaan konsumsi orang Sangihe yang telah berubah sejak Soeharto memberlakukan program swasembada pangan. Program swasembada pangan saat itu kental dengan komoditas beras.
”Akibat kebijakan pusat ini, masyarakat Sangihe menjadi tergantung pada nasi. Padahal, kita punya produk lokal Sangihe sendiri. Saya yakin kebiasaan makan sagu, batata, dan bete ini bisa dikembalikan. Buktinya, masih banyak orang makan dan menjual sagu,” kata Jabes.
Penelitian Elisa Putri Tarigan bersama tim dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Sam Ratulangi, yang dimuat dalam Jurnal MIPA Unsrat Online (2015), disebutkan bahwa sagu tak hanya mengandung karbohidrat. Sagu juga mengandung antioksidan yang tinggi untuk menangkal radikal bebas.
Ketersediaan sagu
Kepala Dinas Pertanian Kepulauan Sangihe Godfried Pella mengatakan, ada dua jenis sagu yang tumbuh di wilayah kabupaten seluas 736,98 kilometer persegi, yaitu sagu baruk dan sagu duri. Sagu baruk (Arenga microcarpha) hanya ada di Sangihe sehingga varietas ini mendapat sertifikat dari Kementerian Pertanian.
Luas lahan sagu baruk 1.654,75 hektar, jauh lebih luas dibandingkan lahan padi yang hanya 73-80 hektar. Dengan produksi pati basah 2.144,5 ton per tahun, tidak mengherankan apabila sagu menjadi makanan pokok lokal secara turun-temurun.
Menurut Godfried, masyarakat bisa kembali mengandalkan sagu sebagai makanan pokok mereka melalui pembiasaan pada Hari Tanpa Nasi. Ketersediaan sagu pun perlu dijamin. ”Selama ini memang sagu baruk tumbuh secara alami, tapi kami akan terus mendampingi masyarakat dalam penanaman kembali,” katanya.
Untuk menjamin ketersediaan sagu, ternyata juga tidak mudah. Kepala Dinas Pangan Kepulauan Sangihe Sherly Maria Lalu mengatakan, sagu baruk membutuhkan 11-14 tahun untuk dipanen kemudian ditebang. Jika ingin ada keberlanjutan, bahkan industrialisasi, sagu baruk harus dibudidayakan.
Sejauh ini sagu baruk tumbuh di lahan yang sama dengan kelapa dan pisang. Sagu yang tak butuh banyak air tak sulit tumbuh di Kepulauan Sangihe yang berbentuk perbukitan. ”Di masa depan, perlu penanganan serius di lahan luas yang dikhususkan,” kata Sherly.
Mengenai hal itu, Jabes tak terburu-buru mengejar industrialisasi sagu. Ia hanya ingin memenuhi kebutuhan pangan lokal untuk sementara dan melepaskan ketergantungan warga terhadap beras. Demi memastikan intervensi pemerintah berhasil dalam mengurangi konsumsi beras, Sherly Lalu mengatakan, pemerintah menggelar pasar tani dan nelayan di beberapa tempat di Tahuna. Pasar itu digelar setiap Senin dan Kamis.
”Para petani sagu dan beragam jenis ubi bisa segera berjualan di pasar tani dan nelayan. Jadi, esok harinya, warga bisa ikut No Rice Day di rumah masing-masing,” katanya. Meski lahan padi tak luas di Kepulauan Sangihe, begitu mudah menemukan beras di kios-kios ataupun pasar rakyat. Merek beras pun begitu beragam, mulai dari beras medium Bulog sampai beras premium cap Bidadari.
Data Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kepulauan Sangihe menunjukkan, kebutuhan beras di Kepulauan Sangihe mencapai 520 ton per bulan selama 2019. Kebutuhan itu dapat terpenuhi berkat kedatangan kapal tol laut yang menghubungkan Tahuna dengan Surabaya dan Makassar.
Warga Sangihe pun bisa makan beras seperti mereka yang di Jawa dan Sulawesi daratan. Semakin siang Jumat itu, satu per satu gerai di Pasar Towo’e, Tahuna, tutup. Tumpukan beras masih banyak, menandakan stok beras cukup aman hingga beberapa waktu ke depan.
Namun, Victor Manamuri (64) masih menunggu pelanggan di salah satu pasar. Dua gentong berisi pati sagu kering masih penuh. Sagu kering dijualnya seharga Rp 5.000 per cidukan gelas kecil. Penghasilannya dari sagu tak banyak. Namun ia cukup puas karena selalu ada pembeli. ”Biasanya orang di kecamatan pulau yang suka. Bahkan, orang Talaud ada yang beli sagu di sini,” katanya.
Christovin Bawelle (66), istri Victor, juga menjual sagu sangrai yang dicampur kelapa di warung makan kecilnya. Penghasilannya Rp 100.000 sehari. ”Kami ini orang miskin, tapi yang penting bisa makan dari menjual sagu,” katanya.
Kapal tol laut dijadwalkan merapat di Tahuna pada pekan terakhir Januari. Kapal akan merapat lagi pada Februari, Maret, dan seterusnya, dengan peti-peti kemas berisi karung-karung beras. Sagu, batata, bete, dan ubi-ubi lainnya harus ”bersaing” untuk merebut kembali hati warga di sana.