Modal Politik Machfud Arifin
Pemilihan Wali Kota Surabaya 2020 mendekat. Sementara ini sudah terbentuk poros kandidat, yakni Machfud Arifin dari koalisi lima partai politik dan M Sholeh dari jalur independen. Langkah PDI-P dan partai lain ditunggu.
Lima partai politik berkoalisi mengusung mantan Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur Machfud Arifin ke Pemilihan Wali Kota Surabaya 2020.
Kelimanya ialah Partai Kebangkitan Bangsa (5 kursi), Partai Gerakan Indonesia Raya atau Gerindra (5 kursi), Partai Demokrat (4 kursi), Partai Amanat Nasional (3 kursi), dan Partai Persatuan Pembangunan (1 kursi). Gabungan partai dengan total 18 kursi dari 50 kursi di DPRD Kota Surabaya ini jauh di atas syarat minimal 10 kursi untuk mengusung kandidat ke Pilwali Surabaya 2020.
Baca juga: Surabaya Tak Akan Lagi Sama
Dukungan kepada Machfud, mantan Ketua Tim Kampanye Joko Widodo-Ma’ruf Amin Daerah Jatim, diberikan dalam bentuk rekomendasi tertulis dari pengurus pusat kelima partai tadi. Machfud saat ini tinggal mencari sosok calon wakil wali kota sambil menunggu masa pendaftaran pilwali di Komisi Pemilihan Umum Kota Surabaya.
”Saya masih memerlukan waktu untuk menentukan sosok calon wakil,” ujar Machfud, Selasa (28/1/2020). Kendati demikian, Machfud sudah menunjuk mantan Wakil Bupati Magetan Miratul Mukminin sebagai ketua tim kampanye. Miratul atau Gus Amik adalah adik mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan yang pada Pemilu 2019 merupakan calon anggota DPR dari Gerindra.
Meski modal rekomendasi untuk mendaftar sudah cukup, koalisi untuk Machfud ini masih membuka diri bagi partai politik lainnya yang ingin bergabung.
Di luar koalisi lima partai tadi, masih ada Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (15 kursi), Partai Keadilan Sejahtera (5 kursi), Partai Solidaritas Indonesia (4 kursi), dan Partai Nasional Demokrat (3 kursi). PDI-P tanpa berkoalisi bisa mengusung calon. Jika PKS, PSI, dan Nasdem berkoalisi, ketiganya juga bisa mendorong kandidat.
Kami juga mencoba merangkul beberapa tokoh masyarakat untuk bergabung dan memberikan dukungan. (Kusnan Hadi)
Selain itu, dari jalur independen, sudah ada pasangan advokat M Sholeh dan Ketua Dewan Kesenian Jatim Taufik Hidayat yang sudah melakukan deklarasi dan mengambil formulir pendaftaran. Pasangan ini sedang dalam pengumpulan bukti dukungan sebagai syarat, yakni fotokopi kartu tanda penduduk warga Surabaya untuk kemudian diberikan dan divalidasi oleh KPU.
Mereka harus mendapatkan fotokopi 138.565 KTP atau 6,5 persen dari daftar pemilih tetap sebelumnya yang 2.131.756. Dukungan juga harus didapat dari 16 kecamatan atau sedikit di atas separuh jumlah 31 kecamatan di Surabaya.
Kusnan Hadi, Ketua Tim Kampanye Sholeh-Taufik, mengatakan, pihaknya terus bergerilya dalam mengumpulkan bukti dukungan dari warga Surabaya. ”Kami juga mencoba merangkul beberapa tokoh masyarakat untuk bergabung dan memberikan dukungan,” katanya.
Direktur Surabaya Survey Center Muhtar Wahyudi Utomo mengatakan, setidaknya akan terbentuk tiga poros dalam kontestasi merebut jabatan pemimpin ibu kota Jatim itu. PDI-P tampaknya tak akan merapat ke poros Machfud, sedangkan Sholeh-Taufik tetap berada di jalur independen.
Semakin banyak pilihan
Kontestasi akan lebih berwarna jika PKS, PSI, dan Nasdem berkoalisi serta mengusung kandidat sendiri. Dengan demikian, akan terbentuk empat pasang kandidat. ”Semakin banyak pilihan, menurut kami baik untuk pendidikan politik warga,” kata Muhtar yang juga dosen komunikasi politik Universitas Trunojoyo, Madura.
Baca juga: Generasi Milenial Surabaya Belum Dirangkul
Pilwali Surabaya 2015 hanya diikuti dua pasangan dan dimenangi oleh Tri Rismaharini-Whisnu Sakti Buana (PDI-P) dengan perolehan 86 persen suara sah atas Rasiyo-Lucy Kurniasari (Demokrat). Kontestasi 2010 dimenangi Risma yang berpasangan dengan mantan Wali Kota Surabaya Bambang Dwi Hartono (PDI-P) atas empat pasang kandidat yang satu di antaranya dari jalur independen.
Muhtar mengatakan, keberadaan lebih dari tiga pasang kandidat bukan berarti kontestasi akan lebih seru. Yang utama adalah menarik partisipasi pemilih untuk menggunakan hak politiknya. Dari Pilwali 2015, suara yang dipakai sekitar 1 juta atau separuh dari DPT ketika itu.
Dengan lebih banyak calon, semoga linier dengan harapan agar partisipasi pemilih Surabaya bisa di atas 80 persen. Jika itu terjadi bisa diyakini bahwa kontestasi akan terasa berkualitas karena keterlibatan publik besar.
Untuk mendorong peningkatan partisipasi, lanjut Muhtar, partai politik sudah seyogianya tak perlu menunggu lama untuk mengusung calon. Sayangnya, sampai sekarang sikap PDI-P, PKS, PSI, dan Nasdem belum terang. Di sisi lain, publik menunggu informasi siapa saja nanti calon wali kota. ”Bagi pemilih, semakin lama tahu siapa saja kandidat, diharapkan akan memantapkan hatinya untuk menggunakan hak pilih,” ujarnya.
Ketua PDI-P Jatim Kusnadi yang juga Ketua DPRD Jatim mengatakan, rekomendasi merupakan hak Ketua Umum Megawati Soekarnoputri. ”Semoga tidak lama lagi akan diketahui calon dari partai kami,” katanya.
Beberapa nama dikaitkan dengan PDI-P ialah Wakil Wali Kota Surabaya Whisnu Sakti Buana, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Kota Surabaya Ery Cahyadi, dan anggota DPR Daerah Pemilihan Surabaya-Sidoarjo atau Jatim 1 Puti Guntur Soekarno. Ketiga nama ini kuat dibicarakan di kalangan warga mana yang akan mendapat rekomendasi. Namun, PDI-P juga dikenal suka membuat kejutan.
Beberapa kader PDI-P yang kini duduk di DPRD Jatim dan Kota Surabaya sudah berani menebar pesona lewat gambar dirinya di baliho berukuran besar 2 meter x 5 meter serta menyatakan siap menjadi manajer di kota tersebut. Langkah serupa diikuti sejumlah kader partai politik lain dan Ery Cahyadi, yang memasang baliho dengan materi gambar dirinya bersama Risma.
Hingga sekarang dari puluhan orang, dari anggota DPRD, pengacara, pejabat, mantan pejabat, hingga pengusaha yang menyatakan diri siap maju di pilkada September mendatang, baru dua orang di antaranya, yakni Mahfud dan Whisnu, yang sudah bergerilya ke media massa untuk memaparkan misi dan visinya.
Whisnu sangat gamblang memaparkan apa yang akan dilakukan jika terpilih kelak. Maklum, sebagai wakil wali kota, tentu kader PDI-P ini sangat paham apa lagi yang harus dibenahi di kota dengan penduduk 3,3 juta jiwa ini. ”Iya, Surabaya ini masih dalam proses, terkait transportasi massal. Dan, soal ini menjadi prioritas jika saya diutus partai menjadi calon wali kota,” katanya.
Baca juga: Pekan Mendebarkan bagi Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini
Sejak era pemilihan langsung 2004, jabatan Wali Kota Surabaya selalu diisi kader PDI-P, yakni Bambang DH, lalu Risma. Di legislatif, sudah dua kali jabatan Ketua DPRD Kota Surabaya dipegang oleh kader PDI-P. Di DPRD Jatim, baru lewat Pemilu 2019, jabatan ketua dipegang kader PDI-P. Dari sini terlihat bahwa Surabaya merupakan basis klasik partai berlambang banteng moncong putih itu. Setelah kepastian adanya poros Machfud Arifin dan independen, PDI-P mungkin tak lama lagi akan mengumumkan jagonya.
Bagi PDI-P memang tak mudah menentukan sosok, siapa di antara kader yang paling bisa, minimal menyamai sepak terjang Risma, yang sudah membawa kota ini benar-benar mengalami lompatan tinggi dan sudah mendunia. Kader atau bukan kader pun yang ditunjuk, juga perlu banyak kiat untuk bisa memenangi pertarungan. Artinya, tak lagi bisa meniru apa yang Risma lakukan ketika bertarung menjadi wali kota sejak 2010, baru tebar pesona kurang dari tiga bulan penyelenggaraan pilkada.
Meski sangat singkat, Risma begitu langsung menggetarkan hati Arek Suroboyo. Dia yang selalu memberikan contoh, bukan dengan kata-kata tapi aksi nyata. Maka, tidak heran meski sebagai wali kota, Risma yang berangkat dari rumah pribadi rata-rata pukul 05.30 ini biasa bekerja di bagian paling kotor di kota ini.
Jadi, terjun ke lapangan, menyapu, atur lalu lintas, masuk gorong-gorong, angkat sampah, dan hadir dalam setiap persoalan Arek Suroboyo, marah-marah, istilahnya pekerjaan kopral ketika hak warga diabaikan, sudah melekat pada diri ibu dari dua anak ini, yang mengawali karier sebagai pegawai negeri sipil di Bojonegoro, Jatim. Dia sudah melakoninya secara tulus sejak menjadi Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Surabaya tahun 2005.
Siapa pun kader yang akan diutus PDI-P harus segera bergerak dengan lihai. Tak cukup dengan mendompleng keberhasilan Risma, apalagi mencontoh pola yang dulu dijalani ketika merebut kursi wali kota. Sampai hari ini, Arek Suroboyo masih belum mengetahui siapa kira-kira pengganti Risma kelak. Rata-rata komentarnya, ”Iso gak ya kerjone podo Bu Risma” (Bisa tidak nanti kerjanya seperti Bu Risma).
Baca juga: Perkuatan UMKM Surabaya Dibahas dalam Sidang UCLG Asia Pacific