Center Point of Indonesia menjadi ikon baru Kota Makassar. Kawasan elite di Pantai Losari ini dibangun di atas lahan reklamasi. Ironisnya, sebagian warga pesisir di Kabupaten Takalar justru terimbas reklamasi itu.
Oleh
Reny Sri Ayu
·4 menit baca
Ririn Ekawati (35) asyik bermain bersama dua anak balitanya di pelataran di sekitar Masjid 99 Kubah yang ada di kawasan Center Point of Indonesia (CPI), Jumat (17/1/2020) sore. Area yang jadi fasilitas umum ini ramai pengunjung yang ingin bersantai. Ada arena lari, bersepeda, taman, dan area serupa pesisir dengan pasir laut.
Di tempat itu, pengunjung bisa melihat Kota Makassar di seberang. ”Lumayan untuk tempat anak-anak bermain karena luas. Fasilitasnya juga lengkap. Dapat tempat bersantai begini di tengah kota tentu sangat lumayan, apalagi masuknya gratis,” kata Ririn dengan wajah berseri.
Kawasan CPI memang memanjakan mata. Deretan patung kuda berwarna putih nan megah serasa menyapa pengunjung yang memasuki kawasan ini. Tak jauh di belakang patung ada tugu bola dunia. Di kawasan itu ada pula jembatan dengan desain futuristis yang mengadopsi bentuk atap rumah Toraja, Gedung Wisma Negara, serta Masjid 99 Kubah yang desainnya unik dan punya kubah berwarna oranye.
Dari 157 hektar luas kawasan reklamasi CPI, 50 hektar di antaranya milik Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel). Kawasan pertumbuhan ekonomi baru di Makassar ini bakal dilengkapi permukiman elite dan sarana penunjang seperti kampus.
Reklamasi berbuah abrasi
Pemandangan di CPI kontras dengan yang terlihat di kawasan pesisir Desa Sampulungan, Kecamatan Galesong Utara, Takalar, Sulsel, sekitar 19 kilometer selatan Makassar. Kawasan ini dilanda abrasi parah, yang dipicu pengerukan pasir laut untuk reklamasi kawasan CPI dan Makassar New Port (MNP).
Dalam dua tahun terakhir, abrasi menggerus daratan sejauh 10-15 meter. Sebagian rumah warga ambruk, sebagian lagi rusak parah. Musim barat kali ini menjadi bayang-bayang petaka bagi warga karena gelombang laut demikian kuat menggerus daratan.
Warga pun tak nyenyak tidur dan sebagian terpaksa mengungsi. Jumiati Daeng Lu’mu (65) salah satunya. Sesungguhnya perempuan yang tinggal berempat bersama anak, menantu, dan cucu ini baru saja berbahagia. Rumah tuanya yang reyot di pesisir pantai direnovasi dengan bantuan pemerintah setempat.
Namun, belum lagi rumah ini rampung dibangun, abrasi mendera. Akibatnya, dinding rumahnya tinggal berjarak 2 meter dari garis pantai. Abrasi telah menggerus tanah sejauh lebih dari 10 meter. Kini, Jumiati harus mengungsi.
Bukan hanya rumah warga yang terancam, melainkan juga sumber ekonomi mereka.
”Saya khawatir tidur di rumah, apalagi di malam hari. Ini sedang musim barat. Ombak dan angin sedang kencang. Belum lagi kalau hujan. Saya hanya berani ada di rumah ini pagi hingga sore,” katanya. Di Desa Tamassaju, Galesong, Sahar Daeng Ngalle (80) mengalami hal serupa. Setiap malam, ia mengungsi ke rumah saudaranya. Abrasi pantai telah sampai di fondasi dinding belakang rumahnya.
”Sejak tahun lalu, saat garis pantai masih berjarak 5 meter dari rumah, saya sudah mengungsi setiap musim barat. Tetapi, beberapa waktu belakangan ini, keadaan sudah lebih parah. Lebih dari 3 meter yang tergerus dalam beberapa hari dan sudah sampai di batas rumah saya,” tuturnya.
Abrasi di pesisir Takalar memang disebabkan maraknya tambang pasir laut. Rustan, Kepala Desa Sampulungan, berharap ada solusi dari pemerintah terkait abrasi. ”Bukan hanya rumah warga yang terancam, melainkan juga sumber ekonomi mereka,” katanya.
Walhi Sulsel mencatat setidaknya 23 juta kubik pasir laut diambil dari pesisir Galesong untuk reklamasi. Sejauh ini, ada 16 izin tambang pasir yang diterbitkan pemerintah daerah. Selain itu, ada 14 perizinan yang masih dalam proses. Semua izin ini mencakup luas sekitar 34.000 hektar.
”Sejak awal bermasalah karena izin tambang dikeluarkan sebelum ada Perda tentang Rancangan Zonasi Kawasan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Pengambilan pasir juga dilakukan sangat dekat dengan permukiman warga,” kata Rizky Syahputra, Staf Advokasi dan Kajian Walhi Sulsel.
Protes warga dan berbagai lembaga membuat pemerintah dan DPRD Sulsel menyelesaikan rancangan zonasi yang melahirkan Perda No 2/2019. Tambang pasir dihentikan sementara dan kini lokasinya diatur berjarak sekitar 8 mil laut (14 kilometer) dari pesisir. Namun, dampak tambang telanjur merusak kawasan pesisir.
Soal ini, Gubernur Sulsel Nurdin Abdullah mengaku belum bisa memastikan penyebab abrasi adalah tambang pasir. ”Belum bisa dipastikan abrasi akibat tambang pasir karena ada juga faktor cuaca. Yang pasti, lokasi tambang sudah dipindahkan ke 8 mil laut dan itu sudah jauh. Kami juga telah membuat sejumlah rancangan untuk pemulihan pesisir. Dananya dari APBN, provinsi, dan kabupaten,” katanya.
Salah satu rancangan yang diajukan pemerintah adalah membuat tanggul atau beronjong. Pakar kelautan Universitas Hasanuddin, Syafruddin Yusuf, menilai, hal itu tidak efektif mengatasi abrasi di Takalar. Tanggul atau beronjong lama-lama bisa ambruk karena empasan ombak akan menggerus pasir di bawahnya.
Menurut dia, solusi yang paling mungkin adalah memasang tiang-tiang pancang berbentuk segitiga, yang dipasang dengan ujung mengarah ke laut. Ini berfungsi mengurangi pasir yang terbawa ke laut. Apa pun bentuknya, solusi sangat dinantikan warga pesisir Takalar. Jangan sampai kemajuan kawasan elite CPI dan MNP diraih di atas air mata dan derita warga Galesong.