Pemerintah Kaji Ulang Kerentanan Bencana Kota Palu
Pemerintah harus mengkaji ulang kerentanan Kota Palu dan sekitarnya akan bencana gempa dan likuefaksi. Kajian dimaksud harus dilakukan secara jujur karena taruhannya keselamatan warga.
Oleh
VIDELIS JEMALI
·3 menit baca
PALU, KOMPAS — Pemerintah harus mengkaji ulang kerentanan Kota Palu dan sekitarnya akan bencana gempa dan likuefaksi. Kajian dimaksud harus dilakukan secara jujur karena taruhannya keselamatan warga.
”Informasi soal adanya dua versi peta dari BMKG dan peta yang berlaku meresahkan sekaligus membingungkan. Kami ingin pemerintah betul-betul jujur dengan kajian mereka. Tujuannya jelas, agar warga tak menjadi korban karena bencana,” ujar Koordinator Sulteng Bergerak, gabungan lembaga sosial yang turut terlibat dalam advokasi hak penyintas, Adriansa Manu di Palu, Sulteng, Kamis (30/1/2020).
Adriansa meminta pemerintah tak tergesa-gesa membahas revisi rencana tata ruang dan wilayah (RTRW) serta turunannya, rencana detail tata ruang (RDTR). Penataan ruang pascagempa perspektifnya keselamatan warga.
Informasi soal adanya dua versi peta dari BMKG dan peta yang berlaku meresahkan sekaligus membingungkan. Kami ingin pemerintah betul-betul jujur dengan kajian mereka. Tujuannya jelas, agar warga tak menjadi korban karena bencana. (Adriansa Manu)
Dalam tiga hari terakhir, Kompas memberitakan tak diakomodasinya peta hasil pemetaan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dalam menentukan zona rawan bencana (ZRB) pascagempa, likuefaksi, dan tsunami di Kota Palu, Kabupaten Sigi, dan Donggala.
Dalam peta BMKG, sejumlah titik, antara lain di sekitar Sungai Palu, ditetapkan sebagai ZRB 3 (zona terbatas). Ditetapkan sebagai zona terbatas karena memiliki kerawanan sangat tinggi akan likuefaksi. Sementara pada peta yang ditetapkan pemerintah pada Desember 2018 yang dijadikan rujukan utama titik-titik tersebut dikategorikan ZRB 1 (pengembangan).
Peta ZRB dihasilkan berdasarkan gempa, tsunami, dan likuefaksi pada 28 September 2018. Empat lokasi mengalami likuefaksi (peluluhan tanah) secara masif di Kota Palu dan Sigi. Dua titik likuefaksi terjadi di Kota Palu, yakni Kelurahan Petobo, Kecamatan Palu Selatan, dan Kelurahan Balaroa, Kecamatan Palu Barat. Dua bencana tersebut melanda permukiman padat. Bencana lalu menewaskan tak kurang dari 4.000 jiwa dengan total bangunan dan rumah rusak 110.000 unit.
Meski demikian, Pemerintah Kota Palu tetap mendasarkan pengajuan revisi RTRW serta RDTR berdasarkan peta zona rawan bencana yang ditetapkan pada Desember 2018.
Kepala Dinas Penataan Ruang dan Pertanahan Kota Palu Mohammad Rizal A Rauf menyatakan, dokumen teknis revisi telah disampaikan ke Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). Dokumen itu akan diteliti untuk nantinya menghasilkan persetujuan substantif atas revisi yang dimaksud. Setelah mengantongi persetujuan, pemerintah akan mengajukan ke DPRD Kota Palu untuk mulai dibahas.
”Peta BMKG bisa saja masuk, tetapi itu peta zona rawan bencana ditetapkan atas koordinasi berbagai pihak. Peta rujukan untuk revisi tata ruang dan wilayah tetap berdasarkan peta yang berlaku,” katanya.
Rizal memastikan revisi RTRW dan RDTR tersebut bertujuan untuk menghasilkan pola ruang yang sesuai dengan fakta kebencanaan. Hal itu terutama menyangkut zona merah atau zona terlarang yang tak boleh lagi untuk pembangunan hunian. ”Di situ diatur peruntukannnya, seperti ruang terbuka hijau dan edukasi kebencanaan serta pertanian terbatas,” ujarnya.
Pertanian terbatas yang dimaksud adalah bentuk pengelolaan lahan yang sedikit air, contohnya hortikultura. Ini terutama di lahan pertanian yang merupakan bekas likuefaksi lalu, seperti di sebagian Kelurahan Petobo.
Rizal menyampaikan, saat ini fokus pemerintah penguatan mitigasi bencana dalam bentuk struktur bangunan yang tahan gempa. Ini harus menjadi perhatian semua pihak. Ia menganggap masalah zona rawan bencana tak perlu dipolemikkan karena hal itu mestinya sudah kelar.
Anggota DPRD Kota Palu, Mutmainah Korona, menyatakan, pihaknya akan menghadirkan BMKG dan para ahli lainnya untuk mendengarkan pandangan mereka terkait zona rawan bencana Sulteng saat membahas revisi RTRW/RDTR. Ini untuk mendudukkan persoalan kerawanan bencana Kota Palu (Kompas, Rabu, 29/1/2020).