Satu sirene peringatan evakuasi ketika terjadi tsunami yang terpasang di Tanjung Benoa, Kabupaten Badung, Bali, tidak berfungsi.
Oleh
AYU SULISTYOWATI
·4 menit baca
DENPASAR, KOMPAS — Satu sirene peringatan evakuasi ketika terjadi tsunami yang terpasang di Tanjung Benoa, Kabupaten Badung, Bali, tidak berfungsi. Sirene ini tidak lagi mampu mengeluarkan suara atau bunyi peringatan sejak 26 Desember 2019 hingga Kamis (30/1/2020) ini.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Bali menyatakan tidak mampu memperbaiki sirene yang terpasang mulai 2008 tersebut. Alasannya, suku cadang dari alat yang mengeluarkan bunyi produksi Amerika Serikat itu sudah tidak lagi diproduksi.
Karena itu, BPBD Bali mengupayakan mengganti sirene peringatan sebagai tanda agar masyarakat pesisir melakukan evakuasi ke dataran tinggi itu dengan buatan lokal yang lebih murah harga dan perawatannya.
Semua sirene, menurut Kepala Pelaksana BPBD Bali Made Rentin, merupakan peralatan hibah dari pusat. Perawatan sembilan sirene tsunami yang terpasang di Bali sudah memakan anggaran provinsi lebih dari Rp 1,1 miliar per tahun.
”Sekarang ini satu sirene di Tanjung Benoa rusak dan tidak menutup kemungkinan lima sirene yang lain yang dipasang di tahun yang sama, dalam waktu dekat juga rusak,” katanya.
Lanjut Rentin, suku cadang sudah diupayakan untuk dapat diganti secepatnya. Akan tetapi, suku cadang itu tidak diproduksi lagi dan tidak dapat digantikan dengan suku cadang terbaru atau produk setara lainnya.
Sekarang satu sirene di Tanjung Benoa rusak dan tidak menutup kemungkinan lima sirene lain yang dipasang di tahun yang sama dalam waktu dekat juga rusak. (Made Rentin)
Padahal, menurut Rentin, Bali memerlukan lebih dari 30 sirene tsunami. Hal ini mengingat Bali dikepung pantai dan rawan diterjang tsunami.
Saat ini, BPBD Bali melalui Pusat Pengendalian Operasional (Pusdalops) Bali merawat dan memantau 9 sirene tsunami yang dipasang, 6 unit produksi Amerika Serikat tahun 2008 dan 3 unit lainnya produksi Jerman tahun 2013.
Enam unit tersebut dipasang di Kedonganan, Kuta, Nusa Dua, Tanjung Benoa (Kabupaten Badung), dan Sanur (Kota Denpasar). Tiga lainnya dengan tipe berbeda dipasang di Serangan (Kota Denpasar) serta Kabupaten Tabanan dan Seririt (Kabupaten Buleleng).
Menurut rencana, Rentin mengupayakan Bali membuat sistem peringatan dini tsunami dengan komponen lokal. Salah satu perusahaan swasta, katanya, sempat menawarkan sistem tersebut dengan radius lebih luas dan modern. ”Kami belum uji coba dan komponennya belum masuk dalam sistem alat yang diperbolehkan belanja oleh negara atau e-katalog,” ujar Rentin.
Diuji setiap bulan
Kasie Pengendalian Operasional Pusdalops BPBD Bali Adhitiana menambahkan, sirene tsunami ini diuji setiap bulannya persis tanggal 26. Setiap pengujian dan pemeriksaan, petugas BPBD didampingi petugas dari BMKG dan tenaga ahli tsunami.
”Tanggal 26 Desember 2019 sudah tidak bisa berbunyi dan sempat diperbaiki sendiri oleh petugas kami. Ternyata Januari 2020 ini juga tetap tidak berbunyi. Jadi memang sudah rusak,” ujarnya.
Menurut Adhitiana, kerusakan ini disebabkan korosi. Selain itu, beberapa bagian lainnya juga rusak dan berkarat.
Fungsi utama sirene ini sebagai tanda bahwa masyarakat harus melakukan evakuasi dari pantai ke dataran tinggi. Aktivasi sistem sirene berada di Pusdalops Provinsi Bali. Sirene ini berbentuk bulat pipih seperti donat serta mampu mengeluarkan suara dan bunyi alarm sirene yang keras. Radius suara terdengar mencapai 4 kilometer. Ketika suara alarm sirene berbunyi, menandakan masyarakat harus segera melakukan evakuasi.
Di Bali, pemerintah setempat mengimbau seluruh lembaga, institusi, dan masyarakat luas berpartisipasi melakukan latihan mitigasi bencana, seperti dari gempa dan tsunami setiap tanggal 26. Akan tetapi, belum semua menjalankan hal tersebut.
Pada kesempatan lain, Ketua Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali yang juga Wakil Gubernur Bali Tjokorda Arta Ardana mewajibkan para pelaku pariwisata mengikuti ajakan agar latihan mitigasi bencana setiap tanggal 26. Hal ini meningkatkan kapasitas dan memperkuat kepercayaan wisatawan di Bali bahwa Bali semakin siap siaga. Ia akan menegur yang tidak mengindahkan imbauan tersebut.
Dokumen Teknis Peta Bahaya Tsunami Bali yang disusun Kelompok Kerja Bali untuk Pemetaan Bahaya Tsunami pada September 2010 memuat basis data untuk pendekatan ini, terdiri dari hasil pemodelan tsunami yang disediakan oleh mitra GITEWS, yakni AWI (Lembaga Alfred Wegener). Pada lokasi-lokasi episenter (sumber) bagi skenario tsunami disediakan oleh GFZ (Pusat Riset Geosains Jerman, 2008).
Termuat, area model mencakup pantai selatan Sumatera, Jawa, dan Bali. Peta bahaya tsunami yang disajikan adalah peta multiskenario yang menggambarkan dampak pada pesisir selatan Bali dari sejumlah besar tsunami. Hipotetis tsunami yang disebabkan oleh berbagai magnitudo gempa bumi berasal dari berbagai lokasi di dalam zona subduksi.