Aktivitas Ekonomi Penyintas Banjir Bandang Tapanuli Tengah Mulai Hidup Kembali
Penyintas banjir bandang di Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, mulai beraktivitas meski infrastruktur jalan masih terputus, Sabtu (1/2/2020). Mereka juga meminta pemerintah menghentikan pembalakan liar di sana.
Oleh
NIKSON SINAGA
·3 menit baca
TAPANULI TENGAH, KOMPAS — Penyintas banjir bandang di Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, mulai beraktivitas meski infrastruktur jalan masih terputus, Sabtu (1/2/2020). Mereka berjalan kaki dan mengendarai sepeda motor di badan anak Sungai Sirahar untuk menghindari jalan provinsi yang masih terputus di Desa Sijungkang, Kecamatan Andam Dewi.
Sebelumnya, banjir bandang menghantam enam kecamatan di Tapanuli Tengah, Selasa (28/1/2020) malam. Dua kecamatan terdampak paling parah adalah Andam Dewi dan Barus. Enam rumah di Andam Dewi hanyut dan 82 rusak ringan. Di Barus, lebih dari 700 rumah terendam lumpur banjir bandang. Sembilan orang meninggal akibat banjir bandang di dua kecamatan itu.
Pantauan Kompas, empat dari sembilan titik jalan yang terputus sudah bisa dilalui secara darurat. Sejumlah alat berat pun terus bekerja untuk membuka jalan yang terputus di lima titik lain. Empat titik terputus karena timbunan batang pohon dan lumpur hingga setinggi 3 meter. Satu titik lainnya belum bisa dilalui karena badan jalan ambles sepanjang 50 meter.
Warga Desa Sijungkang pun mulai berbelanja di pasar pekan di Kecamatan Barus. Mereka berjalan kaki dari badan anak Sungai Sirahar untuk menghindari jalan yang ambles atau tertimbun batang pohon dan lumpur. Warga menjunjung bahan pokok seperti beras dan lauk-pauk di kepalanya. Ada juga yang melintasi badan sungai dengan sepeda motor. Ironisnya, anak Sungai Sirahar menjadi salah satu titik pembawa banjir bandang.
”Persediaan bahan pokok kami sudah habis. Kami harus melintas jalan ini agar bisa berbelanja ke pasar pekan di Barus,” kata Pintauli Manurung (45), warga Desa Sijungkang.
Kepala Desa Sijungkang James Bondar mengatakan, sebagian warganya masih trauma dan memilih mengungsi ke rumah keluarganya di tempat yang aman. Sebagian lagi tetap berada di rumahnya. Menurut James, desa mereka belum mendapat bantuan dari pemerintah.
”Bantuan belum diberikan karena korban banjir bandang tinggal di rumah atau rumah kerabatnya, bukan di posko pengungsian,” katanya.
James menyebutkan, mereka sudah diminta pemerintah kabupaten dan provinsi untuk menginventarisasi penyintas banjir bandang. Tujuannya, agar warga mendapat bantuan perbaikan rumah.
Di Kecamatan Barus, penyintas banjir bandang sudah mulai beraktivitas. Sebagian warga sudah mulai berbelanja ke pasar pekan. Dapur umum dan posko pengungsian di Barus pun sudah ditutup. Sementara murid dari beberapa sekolah di Tapanuli Tengah dikerahkan untuk membantu membersihkan sekolah-sekolah yang masih tertimbun lumpur di Barus.
Pembalakan liar
Selain itu, penyintas banjir bandang meminta pemerintah menghentikan pembalakan liar di hutan lindung di hulu Sungai Sirahar. Warga sangat resah karena banjir bandang sudah terbukti sangat merugikan masyarakat banyak.
”Ini banjir bandang paling besar yang pernah terjadi di Tapanuli Tengah. Rumah saya hanyut dihantam batang pohon yang terbawa dari hulu sungai,” kata Doslan Simamora (50), warga Desa Sijungkat.
Sarma Aritonang (50), warga Barus, meminta pemerintah menghentikan pembalakan liar. ”Karena kerakusan beberapa orang, ribuan penduduk menjadi korban banjir bandang. Bukan rahasia lagi maraknya pembalakan liar di Tapanuli Tengah,” katanya.
Informasi yang dihimpun Kompas, pembalak liar beraksi dengan biaya beberapa orang di Tapanuli Tengah. Masyarakat setempat pun diajak menjadi pekerja. Mereka berjalan kaki selama 3-5 jam ke dalam hutan lindung di hulu Sungai Sirahar.
Para pembalak bahkan harus berenang untuk menyeberangi sedikitnya tujuh sungai besar di tengah hutan. Dua korban banjir bandang yang meninggal dievakuasi dari tengah hutan. Petugas menemukan gergaji mesin dan kayu yang sudah diolah di sana.
Akan tetapi, Bupati Tapanuli Tengah Bakhtiar Ahmad Sibarani membantah ada pembalakan liar di wilayahnya. Penyelidikan tentang dugaan pembalakan liar pun ia serahkan ke Pemerintah Provinsi Sumut. ”Kami tidak punya lagi dinas kehutanan karena kewenangannya sudah dipegang provinsi,” ujarnya.
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Kehutanan Sumut Herawati mengatakan, dari pantauan mereka, tidak ada pembalakan liar di Tapanuli Tengah. ”Kami sudah menurunkan tim ke sana dan tidak menemukan pembalakan liar. Banjir bandang terjadi memang karena curah hujan yang tinggi,” ujarnya.