Pembebasan Lahan Bakal Bandara Kediri Belum Tuntas
Hingga batas waktu pembebasan lahan berakhir, Jumat (31/1/2020) pukul 24.00, sebanyak 12 rumah warga dan 8 lahan kosong di Kabupaten Kediri, Jawa Timur, belum berhasil dibebaskan untuk proyek pembangunan Bandara Kediri.
Oleh
DEFRI WERDIONO
·4 menit baca
KEDIRI, KOMPAS — Hingga batas waktu pembebasan lahan berakhir, Jumat (31/1/2020) pukul 24.00, sebanyak 12 rumah warga dan delapan lahan kosong di Kabupaten Kediri, Jawa Timur, belum berhasil dibebaskan untuk proyek pembangunan Bandara Kediri oleh PT Gudang Garam. Ketidakcocokan nilai ganti rugi menjadi dasar sebagian warga tetap memilih bertahan.
Untuk selanjutnya, proses pembebasan lahan bakal dilakukan melalui skema ganti rugi melalui pengadilan. Hal itu membuat peletakan batu pertama bandara akan dilakukan April mendatang atau mundur dari rencana semula pada Januari 2020.
Pembangunan bandara di sisi timur laut Gunung Wilis itu membutuhkan lahan 374 hektar untuk landas pacu atau runway dan sekitar 150 hektar untuk terminal penumpang serta fasilitas lain. Wilayahnya mencakup empat desa di tiga kecamatan, yakni Grogol di Kecamatan Grogol, Bulusari dan Tarokan (Kecamatan Tarokan), serta Jatirejo (Kecamatan Banyakan).
Keberadaan bandara diharapkan bisa membawa multiplier effect bagi Kabupaten dan Kota Kediri. Geliat ekonomi masyarakat diharapkan bisa tumbuh makin besar. Demikian pula perputaran arus barang dan penumpang di Jawa Timur sisi barat daya bisa lebih mudah dilakukan.
Pantauan di lapangan, meski masih ada sisa rumah yang belum dibebaskan, proses pembangunan bandara (prakonstruksi) terus dilakukan. Rumah-rumah warga yang ada di area proyek, yang sudah dibebaskan, telah dirobohkan. Ekskavator juga mulai meratakan tanah di lokasi proyek.
Kepala Desa Grogol, Kecamatan Grogol, Suparyono mengatakan, masih ada 10 rumah dan sebidang lahan yang belum dibebaskan. Pemiliknya belum sepakat soal harga. Selanjutnya, uang ganti rugi akan dititipkan ke pengadilan.
”Di Grogol, lebih banyak rumah dibebaskan. Sejak saya menjabat kepala desa pada pertengahan Januari 2020, ada 46 rumah yang menjadi sasaran. Dari jumlah itu, kini tinggal 10 rumah dan satu bidang lahan yang belum dibebaskan,” tutur Suparyono, Sabtu.
Anis (35), warga Dusun Bedrek, Desa Grogol, yang memilih bertahan, menuturkan, nilai ganti rugi lahan dinilai menyusut. Jika tahun 2017 harga tanah di depan rumahnya sebesar Rp 15 juta per ru atau Rp 1,1 juta per meter persegi, kini Rp 10,5 juta per ru atau Rp 750.000 per meter persegi.
”Pembebasan lahan ini, kan, sudah lama. Jika tahun 2017 harga masih Rp 15 juta per ru, kok, tahun 2019-2020 jadi hanya Rp 10,5 juta? Sedangkan bangunannya Rp 4 juta per meter persegi. Bagaimana kami mencari tanah pengganti kalau begitu?” kata Anis yang mengatakan tahun 2017 lalu rumahnya belum terkena proyek pembebasan lahan.
Menurut Anis, sejak tahun 2017, harga tanah sekitar Desa Grogol melambung akibat isu proyek pembangunan bandara. Ada lahan yang harganya Rp 1,4 juta-Rp 1,8 juta per meter persegi. Padahal, sebelumnya berkisar Rp 214.000-Rp 500.000 per meter persegi.
Hal serupa dikatakan Kepala Desa Bulusari, Kecamatan Tarokan, Agus Utomo. Dia menyebutkan, masih ada dua rumah dan delapan lahan yang belum dibebaskan.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Kediri, yang juga Koordinator Tim Pembebasan Lahan, Sukadi mengatakan, berdasarkan data hingga 31 Januari 2020, jumlah rumah dan pekarangan yang sudah dibebaskan lebih dari 99 persen. ”Yang belum dibebaskan kurang dari 1 persen,” ujarnya.
Terkait penyusutan harga yang dikeluhkan warga, Sukadi menjelaskan, tahun 2017 proyek bandara ini masih murni dibiayai PT Gudang Garam. Kala itu, Bandara Kediri akan dimiliki dan dikelola mereka.
Akan tetapi, setelah infrastruktur ini masuk proyek strategis nasional lewat Peraturan Presiden Nomor 56 Tahun 2018, rencana awal itu berubah. Dengan pertimbangan untuk kepentingan umum, Bandara Kediri tidak bisa dimiliki swasta. Karena itu, setelah dibangun, dalam jangka waktu berapa tahun, bandara itu harus diserahkan kepada negara.
Dengan pertimbangan untuk kepentingan umum, Bandara Kediri tidak bisa dimiliki swasta. Karena itu, setelah dibangun, dalam jangka waktu berapa tahun, bandara itu harus diserahkan kepada negara.
”Akhirnya, pihak Gudang Garam minta dana untuk pembelian dibantu pemerintah pusat. Kalau pemerintah bantu, kan, tidak bisa beli tanah begitu saja. Ada tim penaksir yang membatasi maksimal nilai tanah,” katanya.
Hasil penghitungan platform maksimal tim itu, pekarangan dihargai Rp 750.000 per meter persegi, sedangkan sawah maksimal Rp 500.000 per meter persegi.
Pemerintah Kabupaten Kediri dan PT Gudang Garam, menurut Sukadi, sebenarnya telah menyediakan lahan pengganti untuk warga Grogol yang terdampak pembangunan bandara. Lokasinya di Tanjung Baru, Desa Grogol.
Di sana, tanah bisa dibeli Rp 8 juta per ru atau Rp 570.000 per meter persegi. Selain itu, warga juga bakal mendapat bantuan uang pembangunan rumah Rp 30 juta per rumah tangga.
”Harga tanah di Tanjung Baru kami subsidi tidak akan melebihi Rp 10,5 juta per ru (Rp 750.000 per meter persegi). Untuk bangun rumah kita bantu Rp 30 juta per rumah tangga. Kami juga akan menyambungkan aliran listrik dan membuatkan sumur di setiap rumah,” lanjutnya.