Akulturasi Budaya Jawa dan Melayu dalam Rumah Limas
Rumah limas menjadi identitas masyarakat Sumatera Selatan sejak abad ke-16. Rumah ini terbentuk dari perpaduan budaya Melayu dan Jawa.
Rumah limas menjadi identitas masyarakat Sumatera Selatan sejak abad ke-16. Rumah ini terbentuk dari perpaduan budaya Melayu dan Jawa. Setiap lekukan dari bangunan rumah ini memiliki makna kehidupan yang sangat dalam. Namun, keberadaannya kian terancam, tergerus kemajuan zaman.
Rumah limas di Sumsel kini sangat jarang dijumpai. Kebanyakan rumah limas sudah berganti rumah beton. Padahal, sejak abad ke-16, rumah limas menjadi identitas bagi masyarakat dan Kesultanan Palembang.
Sejarawan dari Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang, Kemas Abdurrahman R Panji, Jumat (31/1/2020), mengatakan, rumah limas di Palembang hampir mirip dengan rumah limasan yang ada di Jawa Tengah.
Hal itu karena rumah limas di Palembang merupakan hasil akulturasi yang dibawa oleh priayi atau para bangsawan dari Kesultanan Demak yang memutuskan kembali ke Palembang. Mereka datang ke Palembang karena ingin kembali ke tanah leluhurnya. Seperti diketahui, Raden Fatah, pendiri Kesultanan Demak, dan Arya Damar berasal dari Palembang.
Perpindahan mereka membawa serta budaya dari tanah Jawa. Hal ini terlihat dari bentuk rumah yang dibangun para priayi dari Demak itu, yakni menggunakan atap limasan yang bertingkat. Perbedaan antara rumah limas dan rumah limasan ada pada tubuh rumah. Rumah limas di Palembang berbentuk rumah panggung dengan tinggi tiang fondasi berkisar 1,5 meter sampai 2 meter. Sementara rumah limasan di Jawa Tengah bukan rumah panggung, melainkan rumah tapak di atas tanah.
Perbedaan tersebut muncul karena kebanyakan masyarakat di Palembang saat itu tinggal di kawasan rawa dan pinggiran sungai. Selain itu, cara ini juga bertujuan untuk menghindari serangan binatang buas.
Panji menerangkan, keberadaan rumah limas juga menggambarkan status sosial dari pemilik rumah. Sebagian besar yang memiliki rumah limas saat itu adalah kaum bangsawan atau orang dekat kerajaan dan Kesultanan Palembang.
”Untuk membuat rumah limas membutuhkan uang yang tidak sedikit. Sebab, material yang digunakan harganya cukup mahal,” kata Panji.
Adapun pendatang yang merupakan para pedagang biasanya tinggal di rumah gudang atau rumah panggung biasa yang lantainya rata. Sementara masyarakat menengah ke bawah biasanya tinggal di rumah rakit yang mengapung di pinggiran Sungai Musi. Sejak masa kolonial Belanda yang dimulai tahun 1823, nyaris tidak ada lagi yang tinggal di rumah rakit. Semua tinggal di daratan.
Pada masa kolonial Belanda, pembangunan rumah limas pun masih terus berlangsung walau orientasi rumah limas sudah berbeda. Dulu, kebanyakan rumah limas dibangun menghadap ke arah aliran sungai. Pada masa kolonial, rumah limas dibangun membelakangi sungai.
Arkeolog dari Balai Arkeologi Sumsel, Retno Purwanti, dalam sinopsis desertasinya berjudul ”Pengaruh Hindu Buddha pada Tata Kota Palembang Masa Islam Abad ke-16 hingga Abad ke-19” menerangkan, sejarah perkembangan Islam di Palembang berasal dari pantai utara Jawa.
Oleh karena itu, dapat diperkirakan sejarah perkembangan struktur tata ruang Kota Palembang juga mengikuti konsep awal perkembangan kota-kota yang ada di Jawa. Dalam kesejarahannya, kota-kota di Jawa berkembang sejak masa Hindu-Buddha (abad ke 9-16 Masehi) sampai datangnya masa pengaruh Islam.
Hal inilah yang membuat perkembangan kota di Jawa tidak bisa dilepaskan dari konsep awal penataan ibu kota kerajaan kuno di Asia Tenggara pada umumnya. Ibu kota kerajaan kuno tersebut seperti di Mataram Kuno, Majapahit, dan Mataram Islam.
Mengandung makna
Contoh dari rumah limas bisa dijumpai di halaman belakang Museum Balaputra Dewa Palembang. Rumah itu merupakan peninggalan dari seorang bangsawan dan mantan ketua suku bangsa Arab. Rumah tersebut kini menjadi ikon museum.
Bahkan, gambar rumah limas berukuran panjang 60 meter dan lebar 25 meter tersebut terpampang pada mata uang Rp 10.000. Tak jarang beberapa wisatawan yang datang ke museum berfoto dengan menyandingkan uang Rp 10.000 dan rumah limas tersebut. Kemunculan rumah limas pada uang Rp 10.000 karena rumah limas sudah dijadikan cagar budaya nasional yang perlu dijaga kelestariannya.
Nurlela, pemandu di Museum Balaputra Dewa Palembang, mengatakan, rumah limas yang ada di museum ini berusia hampir 200 tahun. Ada dua jenis rumah limas yang ada di museum. Satu rumah merupakan gambaran rumah limas kaum bangsawan, satu lagi merupakan gambaran limas milik masyarakat biasa.
Dua rumah ini dipindahkan ke museum sejak 1983. Rumah limas bangsawan tersebut milik Syarif Abdul Rahman al-Habsyi. Rumah ini dibangun sejak 1830 dan berdiri tidak jauh dari kawasan Benteng Kuto Besak, di pinggiran Sungai Musi. Adapun rumah limas masyarakat biasa itu milik mantan Ketua Suku Bangsa Arab bernama Syarif Ali.
Konsep kedua rumah tersebut sama. Rumah limas terbuat dari kayu unglen dan tembesu serta bersistem bongkar pasang sehingga bisa dipindahkan.
Untuk dinding, lantai, dan fondasi, rumah limas menggunakan kayu unglen, sedangkan tembesu digunakan untuk ukiran. Dalam proses pembuatannya tidak menggunakan paku, tetapi menggunakan pasak untuk menyatukan satu bagian dengan bagian lain.
Kayu unglen dijadikan fondasi karena kayu ini kuat dan tahan air. Kayu ini dahulu banyak tumbuh di Sumsel. Namun, sekarang relatif sulit dijumpai.
Pada interior rumah limas ada tingkatan pada lantainya yang disebut bengkilas. Setiap tingkatan (kekijing) dibuat memiliki fungsi tersendiri.
Kekijing pertama atau yang disebut trenggalung terletak di bagian depan rumah, digunakan sebagai ruang tunggu atau tempat penerimaan tamu ketika pemilik rumah sedang mengadakan acara. Pada ruangan ini terdapat pagar trenggalung yang memiliki konsep unik. Melalui pagar ini, pemilik rumah dapat melihat kondisi di luar rumah. Namun, orang dari luar rumah tidak bisa melihat ke dalam.
Bagian lain yang ada di bagian trenggalung adalah lawang kipas. Lawang atau pintu yang jika dibuka akan membentuk langit-langit ruangan. Akan tetapi, jika ditutup, akan membentuk dinding dan selasar.
Kekijing kedua setelah trenggalung adalah jogan. Bagian ini diperuntukkan bagi anggota keluarga pemilik rumah atau tempat bagi penjaga atau pengawal. Kekijing tingkat tiga adalah ruang yang lebih pribadi ketimbang lantai sebelumnya. Hal itu terlihat dari adanya penyekat ruangan dan kamar. Ruangan tingkat tiga ini hanya digunakan oleh tamu undangan khusus ketika pemilik rumah sedang mengadakan hajatan.
Masuk ke kekijing tingkat empat, lantai ini hanya digunakan untuk orang-orang yang dihormati dan mempunyai ikatan darah dengan pemilik rumah. Tingkat paling dalam adalah kekijing tingkat lima atau yang disebut juga dengan gegajah.
Ruangan ini hanya boleh dimasuki oleh orang yang dihormati dan mempunyai kedudukan yang sangat tinggi di dalam keluarga dan masyarakat. Di dalam ruangan gegajah terdapat undakan lantai yang disebut amben. Amben digunakan untuk mengadakan musyawarah para penghuni gegajah.
Adapun pada bagian atap juga memiliki makna. Di bagian atap rumah limas terdapat bagian yang menyerupai tanduk kambing atau yang kerap disebut simbar.
Jika ada dua simbar di atap, itu melambangkan Adam dan Hawa. Apabila ada tiga simbar, itu melambangkan bulan, bintang, dan matahari. Tiga simbar di atap dimaknai juga sebagai jumlah sahabat Nabi Muhammad SAW. Jika ada empat simbar, melambangkan hukum Islam, serta jika ada enam simbar, melambangkan rukun iman.
”Memang, rumah ini dibangun juga untuk menyebarkan agama Islam,” ungkap Nurlela.
Ukiran juga ada di dalam rumah limas. Ukiran yang terbuat dari kayu tembesu itu dibuat dengan beragam bentuk, seperti bunga pakis yang melambangkan sifat untuk mengayomi. Ada pula ukiran bunga tanjung yang melambangkan penyambutan tuan rumah, bunga melati yang melambangkan kesucian, dan ukiran pucuk rebung yang menggambarkan tentang siklus kehidupan.
”Ukiran ini berwarna emas yang melambangkan soal kemakmuran. Ukiran ini datang dari sejumlah pendatang dari China,” katanya.
Terancam
Keberadaan rumah limas di Palembang semakin terancam punah. Panji mengatakan, ada beberapa hal yang menjadi penyebab berkurangnya rumah limas di Palembang, antara lain sulitnya mendapatkan bahan baku kayu serta untuk membangunnya membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Untuk mendapatkan kayu merawan, tembesu, dan unglen, sangat sulit. Kalaupun ada, harganya sangat mahal.
”Itulah sebabnya kebanyakan masyarakat memilih membangun rumah dengan semen, bukan lagi kayu,” katanya.
Penyebab lain berkurangnya rumah limas di Palembang ialah masifnya pembangunan yang menggusur kota lama dan beragam bencana seperti kebakaran.
Saat ini, keberadaan rumah limas hanya ada di kawasan tertentu, seperti di Kawasan 1-3 Ilir, 27-29 Ilir Tangga Buntung, 1-5 Ulu, dan 16 Ulu. Itu pun jumlahnya sangat terbatas. Perubahan ini biasanya diawali transaksi jual-beli rumah kepada warga pendatang yang akhirnya mengganti rumah itu dengan rumah beton.
Menurut Panji, pemerintah perlu mengambil tindakan dengan menginventarisasi rumah limas yang ada di Palembang. Kawasan yang masih banyak dijumpai limas dijadikan kawasan kota lama sehingga bangunan yang ada di dalamnya, termasuk rumah limas, bisa terlindungi.
Kemas Haji Aziz Abdul Hamid merupakan salah satu yang berupaya melestarikan rumah limas di Palembang. Pada 1990, dia membeli kayu yang dibutuhkan dan mengumpulkan 50 pekerja untuk membangun rumah limas.
”Saya juga meminta pendapat para tokoh dan sesepuh agar rumah limas yang saya bangun benar-benar mewakili dari rumah limas yang sudah ada sebelumnya,” katanya.
Rumah limas dengan ukuran 8 meter x 12 meter ini berdiri megah di tengah kota Palembang, yakni di Jalan Lebar Daun Nomor 51, Kecamatan Ilir Barat I, Palembang. Abdul mengatakan, awalnya, bangunan ini dibuat atas dasar kegelisahan semakin berkurangnya rumah limas di Palembang.
”Saya ingin mengembalikan lagi kejayaan rumah limas agar tidak punah,” ucapnya.
Itulah sebabnya dalam tiga tahun terakhir rumah ini baru dibuka untuk umum. Sebelumnya, rumah ini hanya digunakan untuk tempat pertemuan keluarga. Abdul berharap rumah limas yang dia bangun bisa menambah pengetahuan, wawasan, serta kecintaan warga Palembang pada budayanya sendiri.
Bahkan, Abdul akan membuat surat wasiat kepada ahli warisnya untuk tidak menjual rumah ini sampai kapan pun. ”Biarkan rumah limas ini tetap bertahan, bahkan sampai ratusan tahun,” harapnya.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumsel Aufa Syahrizal mengatakan, saat ini pemetaan terhadap keberadaan rumah limas terus dilakukan. Data terakhir, ada puluhan rumah limas yang masih berdiri di Palembang. Namun, karena letaknya menyebar sehingga sangat sulit untuk menetapkan menjadi kawasan cagar budaya.
Aufa mengakui, ada sejumlah kendala yang dihadapi untuk menetapkan semua rumah limas sebagai cagar budaya. Terkadang, pemilik rumah enggan mendaftarkan rumahnya sebagai cagar budaya karena khawatir tidak bisa merenovasi atau mengubah bentuk rumah tersebut. Padahal, dengan dijadikan cagar budaya, keberadaan rumah limas juga bisa lebih terjamin.
Hingga kini, pemerintah hanya bisa melakukan pendekatan kepada pemilik rumah untuk tidak menjual dan tetap merawat rumah limasnya. ”Kami berharap rumah limas tetap dipertahankan,” katanya.
Rumah limas tidak sekadar rumah tinggal. Bangunan ini menjadi penanda peradaban di Kota Palembang. Kepunahan rumah limas dapat ditangkal dengan kecintaan para warganya terhadap rumah limas.