Kasus Pertama Bakteri MRSA, Kabupaten Kapuas Tetapkan KLB
Pemerintah Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, menetapkan status kejadian luar biasa kasus Methicilin-resistant Staphylococcus Aureus atau MRSA. Ada beberapa penyebabnya, misalnya penggunaan obat antibiotik berlebihan.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
KUALA KAPUAS, KOMPAS — Pemerintah Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, menetapkan status kejadian luar biasa kasus Methicillin-resistant Staphylococcus Aureus atau MRSA. Ada beberapa penyebabnya kasus ini, misalnya penggunaan obat antibiotik berlebihan atau tidak sesuai anjuran.
Bakteri dalam MRSA adalah bakteri Staph (Staphylococcus) yang sebenarnya bisa terdapat dalam tubuh manusia dan masuk dari berbagai faktor, seperti pernapasan dan kulit. Bakteri tersebut menjadi berbahaya karena tumbuh tidak terkendali dan menyebabkan infeksi.
Sebelumnya, seorang pasien RSUD dr H Soemarno Sosroatmodjo Kuala Kapuas berinisial A (3) meninggal karena pneumonia dan positif membawa bakteri MRSA. Bahkan, tujuh dari 33 tenaga kesehatan yang menangani anak tersebut pun terpapar bakteri itu.
A (3) berasal dari Kapuas Kuala, Kabupaten Kapuas, Kalteng, yang dibawa ke RSUD dr H. Soemarno Sosroatmodjo pada Minggu (8/12/2019) dalam keadaan lemah. Ia dibawa ke IGD lalu diteruskan ke ICU dengan diagnosa awal sepsis pneumonia.
Direktur RSUD dr H Soemarno Sosroatmodjo Kuala Kapuas Agus Waluyo menjelaskan, saat dibawa keluarga, daya tahan tubuh pasien sudah sangat menurun. Pihaknya kemudian memberikan beberapa antibiotik kepada A.
”Beberapa kali diberikan antibiotik tidak ada perubahan, kami curiga lalu mengambil sampel dan melakukan uji kultur, hasilnya positif MRSA,” ungkap Agus saat ditemui di Kapuas, Senin (3/2/2020).
Agus menjelaskan, uji kultur dilakukan di Banjar Baru, Kalimantan Selatan, karena pemerintah ataupun rumah sakit di Kalteng belum memiliki peralatan yang memadai. Hasil uji laboratorium keluar setelah lima hari, tetapi sebelum hasil uji kultur keluar, pasien sudah meninggal dengan diagnosis akhir shock sepsis pneumonia.
”Setelah itu kami kumpulkan semua tenaga kesehatan yang menangani atau menyentuh pasien untuk diperiksa karena lewat sentuhan saja orang lain bisa terpapar. Kemudian, kami lakukan uji kultur dan dekolonisasi,” kata Agus.
Agus menjelaskan, pihaknya memeriksa dan melakukan uji kultur pada 33 tenaga kesehatan yang menangani atau bersentuhan langsung dengan pasien. Hasilnya, tujuh orang tenaga medis, yang terdiri dari 3 dokter dan 4 perawat, positif terpapar MRSA.
Dekolonisasi atau pengurangan populasi bakteri, lanjut Agus, dilakukan dengan cara mandi cairan antiseptik selama lima hari berturut-turut. “Semua sudah diperiksa lagi dan hasilnya negatif jadi sebenarnya (sekarang) sudah aman,” katanya.
Cepatnya kontaminasi terhadap orang lain membuat pihak rumah sakit melaporkan kejadian itu kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Kapuas. Karena kasus ini merupakan yang pertama kali ditemukan di Kabupaten Kapuas, bahkan di Provinsi Kalteng, dinas kesehatan setempat kemudian menetapkan KLB pada 11 Desember 2019 hingga saat ini.
Karena kasus ini merupakan yang pertama kali ditemukan di Kabupaten Kapuas, bahkan di Provinsi Kalteng, dinas kesehatan setempat kemudian menetapkan KLB pada 11 Desember 2019 hingga saat ini.
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian di Dinas Kesehatan Kabupaten Kapuas Tri Setia Utami menjelaskan, pihaknya belum bisa memastikan keluarga pasien terpapar atau tidak karena panjangnya pemeriksaan dan kurangnya anggaran. Namun, pihaknya sudah mengobservasi keluarga pasien melalui puskesmas terdekat.
”Kami juga sedang konsultasi ke Dinkes Provinsi Kalteng. Untuk memeriksa (keluarga pasien), masyarakat butuh sumber daya yang besar, anggaran juga tidak ada,” kata Utami.
Menanggapi hal tersebut, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Kalteng Suyuti mengungkapkan, penyakit akibat MRSA bukan merupakan kategori KLB Kementerian Kesehatan. Namun, karena baru pertama kali ditemukan, pihak pemerintah daerah menetapkan KLB. Menurut dia, tidak perlu upaya atau tindakan khusus yang diambil untuk menyikapi kasus itu.
”Upaya yang sudah dan sedang dilakukan adalah penyuluhan untuk menjaga kesehatan pribadi dan lingkungan di masyarakat,” kata Suyuti.
Suyuti menambahkan, bakteri Staphylococcus hanya resisten terhadap antibiotik golongan penicilin dan turunannya sehingga pasien yang terkontaminasi masih bisa menggunakan obat antibiotik lainnya. Menurut dia, masyarakat tidak perlu khawatir berlebihan terhadap bakteri tersebut. Pihaknya akan memetakan penyebaran kuman di rumah sakit dan melakukan sosialisasi pada apotek agar tidak menjual antibiotik tanpa resep dokter.
Masyarakat tidak perlu khawatir berlebihan terhadap bakteri tersebut. Kami akan memetakan penyebaran kuman di rumah sakit dan melakukan sosialisasi pada apotek agar tidak menjual antibiotik tanpa resep dokter.
Perhatian serius
Wakil Ketua I DPRD Kabupaten Kapuas Yohanes mengungkapkan, dengan ditetapkannya KLB, masyarakat menjadi khawatir akan penyebaran bakteri tersebut. Ia pun meminta pemerintah memberikan perhatian serius.
”Jangan sampai (bakteri MRSA) ini menyebar ke masyarakat atau rumah sakit lainnya. Pemerintah dan dinas kesehatan harus lebih serius lagi,” ungkap Yohanes.
Menurut Yohanes, penyuluhan dan sosialisasi saja tidak cukup. Butuh tindakan medis untuk memantau penyebaran bakteri itu, minimal di desa tempat pasien tinggal. ”Kami (dewan) akan menghubungi semua orang yang berkaitan untuk memastikan itu,” katanya.