Upaya Bertahan di Tengah Perubahan Zaman
.
Memasarkan produk secara langsung masih menjadi pilihan bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah di Sumatera Selatan. Bagi mereka, memasarkan produk secara luring (offline) dapat merekatkan jarak dengan calon pelanggan.
Di bawah tenda berwarna putih berukuran 3 meter x 2 meter di halaman Museum Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang, Sumatera Selatan, Rossy Fitri Yani memasarkan produknya berupa tas berbahan kain songket, Selasa (28/1/2020). Beberapa pengunjung mendatangi stannya untuk melihat produk yang dipajang.
”Harga tas ini berapa,” seorang pembeli bertanya sembari menunjuk satu tas bercorak songket. ”Itu Rp 50.000, Ayuk (panggilan untuk perempuan),” Rossy menjawab. Walau tas tersebut tidak jadi dibeli, Rossy tetap memberikan kartu namanya.” Kalau mau pesan ke kami saja, ya Ayuk,” ujarnya menawarkan.
Bagi Rossy, menjual produk secara langsung akan memberikan kesan berbeda dibandingkan menjual produk secara daring. Rossy menuturkan, mulai tahun 2016, dia lebih sering memasarkan produk melalui media sosial, baik Facebook maupun Instagram. Bahkan, pada 2017, sebagian besar pesanan dia dapatkan dari media sosial. Pesanan pun datang dari sejumlah kota di luar Palembang bahkan dari Pontianak.
”Namun, pameran dan bazar seperti ini tetap saya ikuti. Enam bulan terakhir sudah empat pameran yang saya ikuti,” kata Rossy. Hasilnya memang tidak sebanyak melalui media sosial. Hanya saja, dari pameran seperti ini, Rossy bisa mendapatkan pelanggan baru.
Hari itu, dia dan 50 pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Palembang mengikuti bazar yang digelar Asosiasi Usaha Kecil dan Menengah Indonesia (Akumindo) Sumsel. Ada 40 pelaku usaha bidang kuliner dan 10 pelaku usaha kecil dan menengah bidang kerajinan tangan.
Rossy menyewa satu stan seharga Rp 500.000-Rp 600.000 selama empat hari penyelenggaraan. ”Memang pendapatan yang diterima tidak sebanyak jika kita memasarkan secara daring. Balik modal pun sudah syukur, yang terpenting adalah mendapat pelanggan baru,” katanya. Pameran serupa pernah dia ikuti di sebuah pusat perbelanjaan. Walau harga stannya lebih mahal, ada banyak pesanan yang dia dapatkan setelah pameran tersebut.
Rossy pernah menyewa satu stan di pusat perbelanjaan Rp 11 juta selama dua minggu. Hasilnya, tidak jauh berbeda dari biaya yang dikeluarkan. ”Namun, ada pelanggan yang saya dapat dari pameran itu. Sampai kini masih memesan produk pada saya,” katanya.
Gabung komunitas
Untuk membangun jaringan, Rossy bergabung dengan komunitas bernama Sriwijaya Sewing Crafter. Komunitas ini beranggotakan para perajin yang berkreasi dengan mesin jahit di Sumsel. ”Dengan bergabung pada komunitas, jaringan kita akan semakin luas,” ujar Rossy.
Jika ada perajin yang mendapat pesanan besar dan tidak bisa memenuhi pesanan sendiri, mereka akan melibatkan rekan dalam komunitas. ”Jika tergabung dalam komunitas, kita juga bisa mendapatkan pelatihan dari pemerintah secara rutin,” ucapnya.
Koordinator Sriwijaya Sewing Crafter Wilayah Sumsel Gita Riska mengatakan, ada 62 perajin yang masuk dalam komunitas tersebut. ”Mereka merupakan pelaku UMKM dengan produk kerajinan tangan khas Palembang. Meskipun demikian, mereka memiliki kekhasan masing-masing,” kata Gita.
Dia mengatakan, sejumlah pelaku UMKM masih menghadapi tantangan dalam hal pemasaran dan pengemasan. Selama ini, pemerintah memberikan pelatihan dan bantuan. Namun, bantuan tersebut belum merata. ”Kalau prosesnya transparan, pasti pemberian bantuan dan pelatihan akan lebih tepat sasaran,” ujarnya.
Selain itu, di Sumsel belum ada tempat khusus untuk menampung para pelaku UMKM. Berbeda dengan beberapa daerah di Pulau Jawa yang sudah memiliki wadah tersendiri. ”Tempat penampungan perajin itu menjadi salah satu destinasi bagi wisatawan yang datang ke kota tersebut,” katanya.
Upaya atasi kendala
Ketua Akumindo Sumsel Habson mengatakan, dari sekitar 8 juta penduduk Sumsel, 40 persen di antaranya bergelut di bidang UMKM. ”Khusus di Palembang, ada 37.000 pelaku UMKM,” ujar Habson. Mereka masih terkendala sejumlah masalah, mulai dari konsistensi produk, manajemen keuangan, permodalan, dan pemasaran. ”Masih banyak pelaku UMKM di Sumsel yang rentan bangkrut,” kata Habson.
Dari sejumlah kasus, kata Habson, ada beberapa pelaku UMKM yang belum mampu mengelola keuangan usahanya secara baik. ”Banyak yang mengajukan pinjaman untuk hal yang tidak diperlukan. Akhirnya hal itu menyulitkan mereka sendiri karena tak mampu mengembalikan pinjaman,” tuturnya.
Selain itu, masih banyak pelaku UMKM yang memiliki kelemahan dalam hal pengemasan serta pemasaran produk. Untuk itu, pihaknya berupaya terus memberikan edukasi kepada pelaku UMKM agar usaha mereka mampu bertahan. Kerja sama juga dijalin dengan pemerintah dan pihak perbankan. ”Harapannya, pelaku UMKM di Sumsel bisa lebih mandiri,” katanya.
Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru mengatakan, UMKM adalah kekuatan ekonomi daerah. Dia berharap pelaku UMKM bisa memperbarui produk untuk meningkatkan angka penjualan produk. Gubernur berharap, instansi terkait dapat membimbing pelaku UMKM meningkatkan mutu produknya sehingga dapat bersaing di pasar internasional.
Selain itu, perlu ada sinergi program untuk menyokong sektor ini agar lebih baik. ”UMKM harus menjadi prioritas karena sektor ini merupakan garda terdepan kekuatan ekonomi kita,” kata Herman.