Fenomena keberadaan Keraton Agung Sejagat dan lain-lainnya adalah bangkitnya alam bawah sadar masa lampau yang sekarang masih ada.
Oleh
Aloysius Budi Kurniawan
·3 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Dalam rangka merespons munculnya keraton-keraton abal-abal, Bentara Budaya Yogyakarta menggelar Pameran Foto ”Keraton” pada 4-13 Februari 2020. Pameran foto-foto keraton di berbagai belahan Nusantara mengajak pengunjung untuk berefleksi bahwa kekonyolan apa pun yang terjadi saat ini memang mempunyai dasar sejarah historis mendalam yang masih hidup hingga sekarang.
Pameran Foto ”Keraton” dibuka pada Senin (3/2/2020) malam oleh kurator Bentara Budaya, GP Sindhunata SJ. Foto-foto yang dipamerkan merupakan foto-foto yang termuat dalam buku Nederland Indie dan Majalah Kejawen terbitan Hindia Belanda sekitar tahun 1930.
”Fenomena keberadaan Keraton Agung Sejagat dan lain-lainnya adalah bangkitnya alam bawah sadar masa lampau yang sekarang masih ada. Semoga kita bisa mengatasi alam bawah sadar yang tidak mudah dihilangkan begitu saja menurut teori-teori psikoanalisa,” kata Sindhunata.
Dengan segala macam pendekatan teoretis, kita bisa menyebut keberadaan keraton-keraton baru sebagai gerakan mesianisme, nostalgia masa lampau, dan sekaligus ketidakpuasan akan zaman sekarang. Karena semua itu, banyak orang tiba-tiba tertipu mata hatinya begitu saja untuk mewujudkan impiannya di tengah hiruk-pikuk demokrasi sekarang ini.
Tak bisa dimungkiri, menurut Sindhunata, keberadaan keraton atau kerajaan di Nusantara merupakan bagian masa lalu kita. Tidak hanya di Jawa, keraton-keraton juga banyak ditemukan di seluruh penjuru Nusantara. Maka, sangat mengherankan ketika kerajaan-kerajaan di Indonesia menyusun diri menjadi sebuah negara, semuanya tiba-tiba meluntur menjadi negeri yang kita nikmati sekarang ini.
”Ini lompatan luar biasa yang sulit diterangkan karena bahkan penjajah kital, Belanda, masih mempertahankan bentuk kerajaannya. Demikian pula Inggris, yang begitu modern, justru malah mendirikan asosiasi kerajaan di tanah-tanah bekas jajahannya. Sementara itu, kita yang begitu kuat akar kerajaannya justru bisa pergi begitu saja dengan membentuk republik. Ini sungguh suatu lompatan luar biasa. Maka, jika tiba-tiba muncul letupan-letupan untuk kembali pada kerajaan, saya kira ini memang alam bawah sadar yang selalu ada dan belum tentu akan hilang begitu saja,” terangnya.
Dengan melihat deretan foto keraton ”jadul” yang dipamerkan, tampak sekali bagaimana gambaran kejayaan kerajaan-kerajaan Nusantara pada masa lampau. Maka, kalau sekarang ada mental ratu, raja, dan feodalisme, fakta sejarahnya memang ada. Dan bahkan di tengah rasionalitas seperti ini bisa muncul rasionalisme nostalgia masa lampau tentang kerajaan.
Pertanyaan reflektif
Menurut Sindhunata, pameran foto ”Keraton” sangat relevan untuk mengolah kembali pikiran publik, mengolah rasa bersama, bahwa jangan-jangan sampai sekarang kita pun masih bermental ”kerajaan/keraton” sehingga demokrasi berjalan susah sekali karena tradisi hierarkis hormat pada kekuasaan.
”Pameran kali ini menjadi penyadaran bahwa kita jangan mudah mengadili begitu saja terhadap gejala-gejala yang ada, tetapi sebuah refleksi bahwa kekonyolan apa pun yang terjadi memang mempunyai dasar sejarah historis yang dalam dan itu sedang hidup. Jangan-jangan memang demokrasi kita sedang tersesat ke mana dan kita balik pada suatu suasana di mana dulu tenteram. Memang irasional, tetapi kadang-kadang irasional itu mempunyai rasionalitas sendiri seperti yang kita saksikan,” paparnya.
Ada banyak foto yang ditampilkan dalam pameran ini, mulai dari kunjungan Cornelis de Houtman menghadap Sultan Banten pada 1609, foto Ratu Wilhelmina dan Pangeran Hendrik dari Kerajaan Belanda, hingga foto-foto Sultan Hamengku Buwono, Raja Keraton Yogyakarta dari generasi ke generasi. Untuk mengaitkan refleksi ke masa kini, Bentara Budaya Yogyakarta juga memajang kliping berita-berita tentang kemunculan keraton abal-abal.
”Di Indonesia, foto-foto Sultan Hamengku Buwono yang ada bermula dari Sultan HB VII tahun 1890. Sebelumnya, wajah Sultan HB I hingga ke VI diwujudkan dalam lukisan,” kata kurator pameran, Hermanu.