Sejak Desember 2019 sampai Januari 2020, setidaknya 888 babi mati di Bali. Hasil uji laboratorium menunjukkan, babi yang mati positif terjangkit virus demam babi afrika.
Oleh
Ayu Sulistyowati / NIkson Sinaga/Zulkarnaini
·3 menit baca
DENPASAR, KOMPAS — Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Bali menyatakan, ratusan babi yang mati sejak Desember 2019 hingga akhir Januari 2020 positif terjangkit demam babi afrika (african swine fever/ASF). Wabah ini merebak di enam dari sembilan kabupaten/kota di Bali.
Kematian babi secara mendadak dilaporkan di Kota Denpasar, Kabupaten Badung, Tabanan, Gianyar, Karangasem, dan Bangli. Sementara dari Kabupaten Jembrana, Klungkung, dan Buleleng belum ada laporan.
Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Bali Ida Bagus Wisnuardhana, Selasa (4/2/2020), di Denpasar, menyatakan, sampel darah babi mati dikirim ke Balai Besar Veteriner (BBVet) Denpasar, diteruskan ke BBVet Medan, Sumatera Utara. Hasilnya, babi yang mati positif terinfeksi virus ASF. Ada 888 babi mati dari 760.000 ekor populasi babi di Bali. Badung melaporkan kematian terbanyak, 598 ekor.
”Informasi selengkapnya akan disampaikan pejabat Kementerian Pertanian, Jumat (7/2),” katanya. Kepala BBVet Denpasar I Wayan Masa Tenaya menambahkan, seluruh sampel babi tidak menunjukkan indikasi terkena penyakit SE (Septicemia epizootica), kolera, dan meningitis babi (Streptococcus suis) yang biasa mewabah di Bali.
Kepala Balai Veteriner Medan Agustia, Selasa, di Medan, menyatakan, pihaknya telah melakukan uji laboratorium terhadap sampel babi yang mati. Hasilnya dikirim ke Kementerian Pertanian untuk dianalisis lebih lanjut. Agustia mengatakan, gejala klinis ternak babi yang mati di Bali akan dilihat apakah seperti ASF yang menyerang Sumut lebih dulu.
Daging babi aman
Menurut Wisnuardhana, masyarakat tidak perlu khawatir dengan wabah ASF karena tidak menular ke manusia. Daging babi aman dikonsumsi. Pihaknya menjadwalkan festival kuliner berbasis daging babi, Jumat pekan ini. Peternak diimbau memaksimalkan kebersihan kandang dan mengawasi kesehatan babi. Kandang dibersihkan dan disemprot disinfektan dua kali sehari.
Jika ada indikasi babi sakit, peternak diminta melaporkan. Dinas yang menangani kesehatan hewan diminta intens mengawasi peternakan babi. Dinas melarang peternak memberi babi makanan sisa dari restoran dan hotel. Jika tetap memberikan, peternak diminta merebus makanan sisa terlebih dulu. Putu Wardana (29), peternak babi di Kota Denpasar, khawatir babinya terserang ASF. Ia mengandalkan ekonominya dari ternak babi sejak 2015.
Ia menyewa tanah seluas 2 are dan membangun kandang untuk 100 babi. Setiap bulan, Wardana menjual 10-20 babi. Babi berusia tujuh bulan berberat badan 100 kilogram dijual Rp 2,3 juta-Rp 3,6 juta per ekor. ”Merebus sisa makanan untuk 100 ekor dua kali sehari tidak murah. Kalau mengandalkan pakan konsentrat juga mahal, biayanya Rp 300.000 per tiga hari,” ujarnya.
Menurun
Kepala Bidang Kesehatan Hewan Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Sumut Muhaimin mengatakan, kematian babi yang dilaporkan di 18 kabupaten/kota kini mencapai 43.600 ekor. Ada penambahan jumlah kematian 7.714 ekor sejak 6 Januari. ”Kematian babi masih terus terjadi di daerah terjangkit, tetapi jumlah kematian terus menurun,” katanya.
Peternak saat ini menghadapi persoalan turunnya harga dan permintaan terhadap daging babi. Ketua Asosiasi Peternak Babi Sumut Hendri Duin Sembiring berharap pemerintah menyusun strategi jangka panjang penanggulangan dan pemulihan peternakan babi.
Sementara itu, penyakit SE atau penyakit ngorok menyerang ternak di Kabupaten Simeulue, Aceh. Sepanjang Januari-Februari, 20 sapi terjangkit penyakit akut dan fatal tersebut. Menurut Kepala Dinas Perkebunan dan Peternakan Simeulue Hasrat, semua ternak di Simeulue akan divaksin.