Pemerintah Diminta Terbitkan PP soal Kompensasi Korban Terorisme
Pemerintah diharapkan segera menerbitkan peraturan pemerintah sebagai penjabaran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 terkait hak-hak korban terorisme. PP ini menjadi payung hukum pemenuhan hak-hak korban terorisme.
Oleh
DEFRI WERDIONO
·3 menit baca
MALANG, KOMPAS — Pemerintah diharapkan segera menerbitkan peraturan pemerintah sebagai penjabaran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 terkait hak-hak korban terorisme. PP ini penting karena menjadi payung hukum pemenuhan hak-hak korban terorisme lama atau yang terjadi pada masa 2003-2016.
Direktur Aliansi Indonesia Damai (AIDA) Hasibullah Satrawi mengatakan, PP ini menjadi penting karena di dalamnya menyangkut soal batas waktu. Bahwa peraturan turunan mestinya sudah selesai satu tahun sejak UU disahkan. Sejak UU Nomor 5 Tahun 2018 disahkan pada 21 Juni tahun lalu, baru satu PP yang keluar, yakni perlindungan terhadap penyidik.
”Kedua, PP penting dan mendesak karena di UU pengajuan korban untuk mendapatkan kompensasi diberikan limit waktu tiga tahun setelah UU disahkan. Pengajuan hak ini butuh PP. Kalau satu tahun lagi PP ini belum selesai, kompensasi untuk korban lama kemungkinan tidak bisa diimplementasikan dengan alasan kedaluwarsa,” katanya.
Kedua, PP penting dan mendesak karena di UU pengajuan korban untuk mendapatkan kompensasi diberikan limit waktu tiga tahun setelah UU disahkan. Pengajuan hak ini butuh PP.
Hasibullah mengatakan hal itu seusai memberikan kursus singkat Penguatan Perspektif Korban dalam Liputan Isu Terorisme kepada awak media di Malang, Jawa Timur, Rabu (5/2/2020). Kursus itu diikuti oleh sekitar 30 jurnalis media cetak, elektronik, dan online, 4-5 Februari.
Menurut Hasibullah, jumlah korban tindak terorisme di Indonesia diperkirakan cukup banyak. Di AIDA sendiri ada 300-500 orang yang masuk kategori korban bom beserta keluarganya. Di luar itu diperkirakan masih ada yang belum terdata.
Sejauh ini, menurut Hasibullah, negara memang sudah berusaha memenuhi hak-hak korban terorisme, tetapi belum sepenuhnya. Ada beberapa hak bagi korban terorisme, mulai dari restitusi atau ganti rugi dari pelaku, kompensasi dari pemerintah, rehabilitasi medis, rehabilitasi psikologis, hingga rehabilitasi psikososial.
Untuk kompensasi, baru diberikan kepada korban terorisme tahun 2016 ke atas. Untuk korban terorisme tahun 2003-2016, belum diberikan, dan direncanakan paling lama harus diberikan pada tahun 2021 atau tiga tahun setelah UU No 5/2018 disahkan.
Adapun untuk hak yang lain, seperti rehabilitasi medis, semua dapat. Begitu pula psikososial, ada sekitar 100 orang yang sudah mendapatkan bantuan melalui Kementerian Sosial.
Sementara itu, Christian Salomo (44), korban bom di depan Kedutaan Besar Australia, di Jakarta, tahun 2004, membenarkan, sejauh ini dirinya belum menerima kompensasi. Pada 2019, dirinya baru mendapatkan ”Buku Hijau” dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) terkait rehabilitasi medis.
”Dari negara, saya baru dapat ’Buku Hijau’ dari LPSK. Kalau berobat, negara menjamin asalkan terkait dengan terorisme. Kalau kompensasi, belum terima, tetapi sudah (ada petugas) datang ke rumah. Kami sudah bicara. Dia memberikan janji kalau nanti ada pemenuhan hak,” tutur Christian.
Berbeda dengan Christian, Desmonda Paramarta (21), korban bom gereja di Surabaya tahun 2018, mengaku sudah mendapatkan kompensasi dan hak lainnya. Untuk pengobatan di rumah sakit, misalnya, semua sudah dibiayai oleh pemerintah hingga sembuh.
”Tapi, saya dengar ada kawan yang tidak semua di-cover pemerintah karena pada hari H (bom gereja) ada beberapa teman yang dirujuk ke beberapa RS berbeda. Mungkin karena manajemen RS berbeda, jadi biayanya tidak disamaratakan, saya kurang tahu,” ucapnya.