Pembalakan Liar Ancam Kehidupan Masyarakat
Warga Andam Dewi turun-temurun bermukim di antara lereng bukit dan tepi anak Sungai Sirahar hidup dari karet dan hasil hutan tanpa bencana. Setelah pembalakan liar marak, setiap saat mereka dihantui ancaman bencana.
Warga Desa Sijungkang, Andam Dewi, Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, waswas saat hujan deras tak kunjung berhenti dari sore hingga malam hari, Selasa (28/1/2020). Dalam beberapa tahun ini, kekhawatiran mereka meningkat setiap turun hujan deras karena banjir bandang dan longsor semakin sering terjadi.
”Kami semakin khawatir kalau hujan deras turun di hulu sungai di Kabupaten Humbang Hasundutan,” kata Arlis Tinambunan (40), warga Desa Sijungkang, Minggu (2/2/2020).
Suasana semakin kelam karena aliran listrik padam sekitar pukul 20.00. Arlis lalu mengambil senter untuk mengamati kondisi sungai yang airnya mulai keruh. Dua jam kemudian, ia kembali keluar rumah dan melihat air sudah meluap ke jalan. Ia cepat-cepat mengajak istri dan lima anaknya mengungsi.
”Kami juga meminta warga lain untuk segera mengungsi ke gereja yang bangunannya jauh dari sungai,” kata Arlis.
Melihat debit air sungai yang semakin deras, mereka berlari sekuat tenaga menembus gelap di antara lereng bukit yang terjal dan air sungai yang semakin deras. Baru sekitar 50 meter berlari, material longsor berupa lumpur dan batang pohon ambruk dari lereng bukit menimbun rumah Arlis dan dua rumah lain. Suara gemuruh membuat mereka semakin panik.
Arlis dan keluarganya selamat. Namun, satu di antara rumah-rumah itu rupanya masih dihuni tetangganya. Empat orang pun meninggal tertimbun longsoran. Mereka rupanya mengungsi dari rumahnya di tepi sungai ke rumah tetangganya yang berada di lereng bukit.
”Mereka menghindar dari banjir bandang, tetapi malah tertimbun longsor yang terbawa air deras dari bukit,” kata Arlis.
Banjir bandang pada Selasa malam itu menjadi petaka sekaligus alarm bagi Tapanuli Tengah. Total ada sembilan orang meninggal akibat banjir bandang itu.
Selain empat orang tertimbun longsor, ada tiga orang meninggal terseret arus banjir bandang saat melintas dengan mobil dan sepeda motor di jalan dan dua orang tertimbun kayu saat melakukan pembalakan liar di tengah hutan.
Di Andam Dewi, 3 rumah tertimbun longsor, 3 rumah hanyut terbawa banjir bandang, dan 82 rumah lain rusak dihantam banjir. Lebih dari 20 titik di Jalan Barus-Pakkat di Desa Sijungkang terputus karena tertimbun batang kayu, lumpur, dan ambles.
Jalan provinsi yang menjadi urat nadi ekonomi masyarakat itu putus total selama lima hari. Jalan tersebut menghubungkan Tapanuli Tengah dengan Humbang Hasundutan dan merupakan salah satu jalan utama menuju Medan.
Banjir bandang datang sangat cepat. Kami tidak sempat menyelamatkan harta benda apa pun.
Selama Jalan Barus-Pakkat terputus, warga melintas di badan anak Sungai Sirahar sedalam 20-50 sentimeter melawan arus air. Warga melintas sambil menjunjung bahan pokok seperti beras, ikan, dan ayam. Beberapa orang memberanikan diri menembus aliran air sungai dengan sepeda motor.
Di Kecamatan Barus, ekonomi masyarakat sempat lumpuh setelah lebih dari 700 rumah rusak dihantam banjir bandang dari Sungai Sirahar. Air sempat menggenangi rumah dengan ketinggian 1,5 meter. Lumpur setinggi 50 sentimeter pun menumpuk di dalam rumah, halaman, dan jalan.
”Banjir bandang datang sangat cepat. Kami tidak sempat menyelamatkan harta benda apa pun,” tutur Nurmala Sianturi (65).
Pembalakan liar
Pembalakan liar di kawasan hutan lindung di hulu Sungai Sirahar sudah jadi ”rahasia umum” bagi warga Desa Sijungkang. Dalam beberapa tahun ini, para pembalak masuk ke tengah hutan, antara lain melalui Desa Sijungkang.
”Jangan tanya kami apakah ada pembalakan liar di hutan. Lihat saja kayu-kayu yang terbawa dari hulu sungai. Ada batang kayu yang sudah terpotong gergaji,” kata Kepala Desa Sujungkang James Bondar.
Erwin Manalu (17), warga Desa Sijungkang, mengaku pernah diajak ikut dalam aktivitas pembalakan liar. Ia menjadi salah satu pemandu tim SAR gabungan saat mencari dua korban yang meninggal di tengah hutan. ”Kami berjalan kaki lima jam dan berenang menyeberangi tujuh sungai untuk sampai ke lokasi,” ujar Erwin.
Petugas kesulitan mengevakuasi korban pertama karena harus menggotong menembus hutan dan sungai.
Saat banjir bandang menerjang, delapan pembalak liar sedang menginap di tengah hutan. Dua orang di antaranya meninggal terseret arus banjir bandang dan enam orang lain menyelamatkan diri.
Seorang petugas yang ikut mengevakuasi korban mengatakan, dua korban dievakuasi dari hulu sungai yang sudah botak. Di sana terdapat kayu yang sudah diolah menjadi papan dan balok kayu. Beberapa mesin pengolah kayu juga ditemukan di tempat itu. Kayu tersebut biasanya diapungkan ke hilir, lalu diangkut dengan truk.
Petugas kesulitan mengevakuasi korban pertama karena harus menggotong menembus hutan dan sungai. Korban kedua akhirnya dimasukkan kantong jenazah dan diapungkan dengan ban dari hulu sampai ke hilir sungai di Barus Utara. Beberapa warga ikut berenang selama enam jam mengawal jenazah.
Membantah
Meski telah diakui oleh warga, pemerintah daerah membantah adanya pembalakan liar di Tapanuli Tengah. ”Tidak ada kayu yang terbawa ke bawah. Kalau ada illegal logging seharusnya ada kayu yang hanyut,” kata Bupati Tapanuli Tengah Bakhtiar Ahmad Sibarani, Jumat (31/1/2020).
Pantauan Kompas, batang kayu tidak hanyut sampai Barus. Namun, di Andam Dewi, batang kayu dari hulu menumpuk di sungai dan badan jalan. Saat ditanya tentang dua korban meninggal saat melakukan pembalakan liar di tengah hutan, Bakhtiar menyatakan tidak bisa mengomentari karena persoalan kehutanan merupakan kewenangan pemerintah provinsi.
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Kehutanan Sumut Herawati juga membantah ada pembalakan liar di Tapanuli Tengah. Ia menyatakan sudah menurunkan tim dan tidak menemukan pembalakan liar. ”Banjir bandang terjadi karena curah hujan yang tinggi, bukan karena pembalakan liar,” ucapnya.
Kepala Kepolisian Resor Tapanuli Tengah Ajun Komisaris Besar Sukamat mengakui, ada kayu yang hanyut dari hulu. ”Namun, kayu yang turun ke bawah itu kayu tua, tidak ada kayu muda. Pengecekan ke sana tidak menemukan pembalakan liar,” katanya.
Menurut Sukamat, dua korban meninggal yang ditemukan di tengah hutan tidak melakukan pembalakan liar. Menurut dia, kedua korban berkebun di tengah hutan dan tidak bisa pulang karena hujan deras.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Sumatera Utara Dana Prima Tarigan mengatakan, banjir bandang yang sangat dahsyat menunjukkan Sumut sedang menghadapi darurat pembalakan liar. ”Jika tidak ditangani, bencana ekologis banjir bandang dan longsor akan terus terjadi,” katanya.
Dana menyesalkan sikap pemerintah yang terkesan menutupi pembalakan liar dan terlalu cepat menyimpulkan bencana itu terjadi karena curah hujan tinggi. Dana meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Pemerintah Provinsi Sumut, dan Polda Sumut melakukan penyelidikan secara transparan untuk mengungkap pelaku pembalakan liar.