Tanggal 7 Februari 1989, 31 tahun lalu, Dusun Talangsari (kini Subing Putra III) di Kabupaten Lampung Timur, menjadi saksi bisu pembantaian lebih dari 100 warga sipil dalam operasi militer terhadap GPK Warsidi.
Oleh
Vina Oktavia
·3 menit baca
Persis 7 Februari 1989, 31 tahun lalu, Dusun Talangsari (kini Subing Putra III) di Kabupaten Lampung Timur menjadi saksi bisu pembantaian lebih dari 100 warga sipil dalam operasi militer terhadap Gerakan Pengacau Keamanan Warsidi. Hingga kini, korban, keluarga korban, dan aktivis hak asasi manusia masih menanti keseriusan pemerintah dalam menuntaskan kasus itu.
Amir (75) tak pernah lupa ketika seorang anggota militer membawanya paksa dari rumahnya di Desa Bandar Agung, Kecamatan Bandar Sribhawono (dulu Labuhan Maringgai), Lampung Timur. Dia lalu dijebloskan ke penjara selama 16 bulan. Selama itu, dia terpaksa berpisah dari istri dan ketiga anaknya.
Meski kemudian dibebaskan, pensiunan guru sekolah dasar itu tak pernah tahu alasannya ditangkap. Setelah terbukti tidak terlibat dalam kelompok Warsidi, Amir justru dituduh akan mendirikan Negara Islam Indonesia (NII).
Setelah terbukti tidak terlibat dalam kelompok Warsidi, Amir justru dituduh akan mendirikan Negara Islam Indonesia (NII).
Tak pernah ada surat penangkapan ataupun pembebasan yang ia terima. Bahkan, hingga pensiun pada 2005, dia hanya mendapat separuh gaji dan tidak mendapat kenaikan pangkat. Statusnya sebagai PNS juga tidak diakui sehingga dia juga tidak mendapat uang pensiun.
”Data saya sebagai PNS, katanya, hilang. Padahal, saya masih punya SK asli dari pemerintah,” ucap Amir dalam diskusi bertajuk ”31 Tahun Mengenang Peristiwa Talang Sari” yang digelar Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandar Lampung, Jumat (7/2/2020).
Diskusi itu dihadiri para korban dan keluarganya, aktivitis HAM, serta perwakilan dari pemerintah. Hari itu, panitia sebenarnya juga mengundang Wakil Gubernur Lampung Chusnunia yang berasal dari Lampung Timur. Sayangnya, Chusnunia tidak hadir.
Suroto (55), korban lainnya, mengatakan, dirinya dipukuli dan rumahnya dirusak oleh oknum militer. Sayangnya, misteri tragedi Talangsari belum juga terkuak kendati rezim terus berganti. Keluarga korban Talangsari bergabung dengan korban pelanggaran HAM lainnya di Indonesia dan terus mendesak pemerintah menuntaskan kasus pelanggaran HAM masa lalu.
Padahal, saat awal menjabat, penuntaskan kasus pelanggaran HAM masa lalu menjadi salah satu program Nawacita Presiden Joko Widodo. Namun, hingga pada periode kedua, komitmen pemerintah untuk mengusut tuntas kasus ini belum terlihat.
Di Talangsari, nama dusun itu justru diubah menjadi Dusun Subing Putra III, Desa Rajabasa Lama. Menurut para korban, hal itu menjadi salah satu indikasi upaya pemerintah untuk menghilangkan jejak Dusun Talangsari dan melupakan tragedi berdarah tersebut.
Namun, semangat para korban dan aktivis HAM untuk mengingatkan pemerintah tetap menyala. Setiap tahun diskusi serupa digelar di Bandar Lampung sebagai pengingat.
Feri Kusuma dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan mengatakan, para korban terus menuntut keadilan karena Indonesia adalah negara hukum yang seharusnya memberikan penghormatan terhadap HAM. Berdasarkan hasil penyidikan Komnas HAM, tragedi Talangsari masuk dalam pelanggaran HAM berat. Sayangnya, hasil penyidikan ini tidak pernah ditindaklanjuti oleh pemerintah untuk mengungkap para pelakunya.
Dia mengatakan, para korban dan aktivis HAM menolak upaya rekonsiliasi karena penyelesaian yang ditawarkan pemerintah tanpa mengungkap kebenaran. Padahal, rekonsiliasi semestinya tidak menghilangkan fungsi pengadilan untuk mengusut pelaku kasus pelanggaran HAM berat.
Anggota Ombudsman RI, Ahmad Suaedy, mengatakan, ombudsman mendorong agar pemerintah menuntaskan kasus hukum pelanggaran HAM berat. Berdasarkan kajian ombudsman, deklarasi damai yang telah dilakukan pemerintah tidak sah secara hukum sebagai landasan untuk menghapus dugaan pelanggaran HAM berat
Sementara itu, Kepala Bidang Pertahanan Sosial dan Kemasyarakatan Kesbangpol Lampung Hermansyah Saleh mengatakan, Pemerintah Provinsi Lampung telah berupaya memfasilitasi korban dan keluarga korban untuk mendapatkan hak-haknya sebagai warga negara. Pemerintah juga telah mendorong pemerataan pembangunan di sana. Dia berdalih, kewenangan pemerintah daerah sebatas fasilitator dalam kasus itu.
Tampaknya, isu pelanggaran HAM masih terlalu sensitif untuk disentuh. Peristiwa itu akan terus menjadi beban sejarah bagi bangsa Indonesia entah sampai kapan. Yang pasti, korban tetaplah korban, sementara para pelaku tetap bisa hidup nyaman.