Ancaman Konflik Mendera Kalteng, Masyarakat Adat Butuh Pengakuan
Ancaman konflik di wilayah kelola adat terus bertambah seiring tingginya investasi di Kalimantan Tengah. Masyarakat adat pun mendesak pemerintah lebih serius membuat kebijakan pengakuan dan perlindungan masyarakat adat.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS – Ancaman konflik di wilayah kelola adat terus bertambah seiring tingginya investasi di Kalimantan Tengah. Masyarakat adat pun mendesak pemerintah lebih serius membuat kebijakan pengakuan dan perlindungan masyarakat adat.
Di Desa Tumbang Bahanei, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, wilayah kelola adat terancam investasi perusahaan kayu dan pertambangan. Sementara itu, masyarakat adat dinilai tidak memiliki legitimasi karena belum diakui. Meskipun belum beroperasi, masyarakat mulai melakukan penolakan atas dua perusahaan yang sudah mengantongi izin dari pemerintah tersebut.
Pada Senin (10/2/2020), perwakilan Komunitas Adat Tumbang Bahanei mendatangi kantor Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Kalteng di Palangkaraya. Mereka meminta agar pemerintah segera mengakui komunitas adat di desanya beserta 8.888,037 hektar wilayah kelola adat yang sudah mereka petakan.
Kami datang meminta solusi agar cepat diakui, supaya tidak ada konflik.
Wilayah yang luasnya hampir dua kali luas Kota Jakarta Pusat itu dimanfaatkan dan dikelola masyarakat adat untuk berkebun, berburu, dan melangsungkan berbagai ritual adat. Mantir Adat (tokoh adat) Desa Tumbang Bahanei Suley Medan (62) mengungkapkan, wilayah hutan adat merupakan bagian penting dari keberlangsungan hidup masyarakat. Namun, karena tidak diakui, wilayah kelola itu terancam dikonversi menjadi pertambangan dan pabrik-pabrik kayu.
“Kami datang meminta solusi agar cepat diakui, supaya tidak ada konflik. Kami tidak bisa bekerja dengan baik kalau konflik terus saja,” kata Suley.
Konflik yang mengancam di desa itu belum termasuk konflik-konflik yang saat ini sedang ditangani pemerintah. Dari data Dinas Perkebunan Provinsi Kalteng, jumlah konflik dan gangguan usaha di perkebunan mencapai 68 kasus di tahun 2018.
Jumlah yang sama juga ditunjukkan pada tahun 2017, meningkat sedikit lebih banyak dibanding tahun 2016 sebanyak 61 kasus. Kabupaten Kotawaringin Timur adalah kabupaten yang paling banyak terjadi konflik perkebunan, yakni mencapai 28 kasus.
Suley mengungkapkan, selama ini, penolakan yang dilakukan oleh masyarakat dinilai sebagai sebuah pelanggaran karena negara belum mengakui mereka sebagai komunitas adat. Bahkan, wilayah adat yang sudah dipetakan pun belum diakui atau teregistrasi dalam skema perhutanan sosial atau skema apa pun.
Ada proses yang sebenarnya terlalu panjang dan rumit, sementara konflik terus menerus muncul di lokasi-lokasi adat.
Melihat hal itu, Pelaksana Tugas Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nasional (AMAN) Kalteng Ferdi Kurnianto mendesak pemerintah lebih serius lagi mengurus pengakuan dan perlindungan masyarakat adat. Di Kalteng, menurut Ferdi, beberapa kali ganti pemerintahan dan anggota dewan, tapi peraturan daerah untuk pengakuan dan perlindungan tak kunjung selesai.
“Ada proses yang sebenarnya terlalu panjang dan rumit, sementara konflik terus menerus muncul di lokasi-lokasi adat,” kata Ferdi. Dia menjelaskan, banyak undang-undang yang sebetulnya sudah mengakui masyarakat adat, tetapi tidak pernah dijalankan.
Setelah berkonflik, masyarakat adat selalu menjadi korban atau bahkan kriminalisasi karena dinilai tidak memiliki dasar sebagai masyarakat adat. “Ketika diminta untuk membuat perda, maka ada proses yang sangat politis di situ. Karena kepentingan yang dibahas dan diperjuangkan bisa beda-beda, makanya tak kunjung selesai,” ungkap Ferdi.
Di Kalteng, Rancangan Peraturan Daerah tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat Dayak sudah dibahas sejak 2012, drafnya pun sudah beberapa kali berubah. Pada tahun ini, DPRD mengkompilasi berbagai draf dari berbagai kalangan, termasuk draf milik AMAN Kalteng yang saat ini belum juga dibahas.
Salah satu anggota Komisi II DPRD Provinsi Kalteng Sudarsono mengungkapkan, sampai saat ini, belum ada pembahasan draf perda masyarakat adat tersebut karena harus dipelajari oleh anggota dewan yang baru. Meskipun demikian, dalam seminggu belakangan ini, pihaknya telah membentuk panitia khusus pembahasan kebijakan tersebut.
“(Raperda) ini penting untuk eksistensi masyarakat adat untuk pelestarian adat dan mengurangi konflik. Kami sadar selama ini mereka kesulitan dalam mengelola wilayah adatnya,” kata Sudarsono.
Sudarsono menambahkan, ada banyak perdebatan terkait pembentukan kebijakan antara pemerintah pusat dan daerah. “Ada pertentangan (dalam pembahasan) antara teman-teman yang dulu dan pemerintah pusat juga daerah. Makanya, kami harus pelajari,” katanya.
Pihak DPRD, lanjut Sudarsono, juga akan melakukan studi banding ke daerah-daerah yang sudah memiliki wilayah kelola adat dan komunitas adat. “Kalau perlu pansus nanti studi banding, makanya kami lihat dulu,” katanya.
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Kalteng Esau A Tambang mengungkapkan, pihaknya sedang berkoordinasi dengan Dewan Adat Dayak dan AMAN Kalteng untuk mendorong percepatan pengakuan dan perlindungan masyarakat adat. Gubernur Kalteng Sugianto Sabran sudah mengeluarkan surat edaran agar setiap bupati/wali kota bisa membentuk panitia hukum adat di tiap kabupaten dan mengakui minimal satu hutan adat di tiap kabupaten.
“Kami akan dorong terus kebijakan ini dibuat, tidak hanya provinsi, tetapi di tiap kabupaten. Gubernur juga sudah mendorong terus, jadi di tiap kabupaten nanti ada satu hutan adat dan panitia hukum adat,” ungkap Esau.
Esau menjelaskan, posisi Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Kalteng merupakan verifikator atau pengesah keberadaan masyarakat hukum adat. Oleh karena itu, pihaknya saat ini berkomitmen memperjuangkan hak-hak masyarakat adat.