Buaya ”Berkalung” Ban dan Sampah di Sungai Palu
Selama 3,5 tahun, seekor buaya hidup dengan berkalung ban di lehernya. Meski belum tentu diakibatkan oleh sampah, kepedulian terhadap lingkungan sungai perlu diperhatikan.
Seekor buaya muara sudah 3,5 tahun terdeteksi terjerat ban di muara Sungai Palu, Kota Palu, Sulawesi Tengah. Hingga kini ban masih melekat di lehernya. Kondisi buaya itu mengingatkan kita pada kelalaian berperilaku ramah lingkungan.
Di puing beton, dua orang bersiaga. Satu sigap memegang tombak dengan fokus pandangan ke air sungai. Satu lainnya berdiri untuk siap membantu. Sekitar satu jam mereka awas dalam posisi siaga.
Tiba-tiba ada teriakan dari arah selatan, buaya muara (Crocodylus porosus) yang mereka cari sudah lepas dari perhatian dan berenang ria di sekitar 100 meter dari posisi mereka. Tak menunggu lama, mereka naik perahu karet bersama tim yang selalu berada di perahu menuju titik keberadaan buaya.
Di jarak hanya 20 meter, tim tersebut sempat melihat kepala buaya yang muncul di permukaan dengan setengah ban yang melilit lehernya jelas terlihat. Begitu mereka makin dekat, buaya itu kembali ke dalam air. Jejaknya tak bisa lagi dideteksi hingga suara azan dari masjid memanggil untuk shalat Jumat.
Baca juga: Buaya Berkalung Ban Sepeda Motor
Upaya menyelamatkan buaya muara dari lilitan ban dilakukan pada Jumat (7/2/2020). Hari itu operasi memasuki hari kedua. Hingga sore, meskipun buaya muara hanya berputar-putar di sekitar Jembatan II Sungai Palu, tim gabungan Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulteng dan Direktorat Kepolisian Air dan Udara Kepolisian Daerah Sulteng tidak berhasil menangkap buaya tersebut.
Operasi penyelamatan buaya muara tersebut berlangsung tiga hari, Kamis-Sabtu (8/2/2020). Sebagaimana nirhasil pada Jumat, demikian pula operasi dua hari lainnya. ”Dengan berbagai pertimbangan, termasuk kelelahan tim yang bagaimanapun butuh istirahat, operasi kami hentikan sementara. Keberadaan buaya tetap kami pantau,” kata Kepala Seksi Konservasi Wilayah I BKSDA Sulteng yang juga ketua tim operasi, Haruna, seusai kegiatan, Minggu (9/2/2020).
Buaya muara ”berkalung” ban tersebut terdeteksi pada pertengahan 2016 di Sungai Palu. Waktu itu dengan postur tubuh masih kecil, ban agak longgar menjerat leher buaya. Saat ini seiring dengan makin besarnya buaya, ban seperti mencekik leher buaya. Panjang buaya tersebut diperkirakan tak kurang dari 4 meter.
Buaya berkalung ban tersebut ”bertualang” di muara Sungai Palu hingga jarak 5 kilometer dari muara. Batas terjauhnya ke selatan sungai atau di sekitar Jembatan II. Biasanya buaya tersebut menampakkan diri di endapan pasir atau lumpur kering di pinggir sungai dan muara sebagaimana buaya muara lainnya untuk berjemur.
Dengan kalung bannya, buaya itu menarik perhatian warga Palu. Itu pula terjadi saat tiga hari operasi penyelamatan. Warga berjubel di pinggir sungai untuk menyaksikan buaya dan melihat langsung upaya penyelamatan digelar.
Baca juga: Serangan Buaya pada Manusia di Sulawesi Tenggara Meningkat di Tengah Konflik Ruang
Kerumunan warga yang sering diiringi teriakan kala buaya menyembulkan kepala dengan seperempat bannya dari air itu pula menjadi salah satu kendala operasi. Karakter buaya muara umumnya pemalu. ”Mungkin kami akan gelar operasi secara diam-diam atau silent operation,” ujar Haruna.
Operasi selama tiga hari dilakukan dengan menombak buaya dan dilengkapi dengan jaring untuk menjeratnya. Tombak yang dipakai jenis harpun (bergigi). Skenarionya setelah ditombak, buaya diseret ke daratan dengan jaring/pukat.
Namun, seperti operasi pada Jumat, buaya justru lolos dari lingkaran pukat. Buaya lolos melewati bagian bawah pukat yang tak diberi beban.
Haruna menyatakan, metode tersebut sering dipakai dalam penyelamatan satwa di air, termasuk buaya. Soal berhasil atau tidak itu dipengaruhi banyak faktor, antara lain kondisi air, kebisingan, termasuk dari massa yang memadati area operasi.
Terkait penggunaan metode lain, seperti penggunaan alat bius, Haruna menyatakan, cara itu tak diizinkan dalam penyelamatan satwa liar. Penggunaan bius justru membahayakan satwa yang hendak ditolong.
Penggunaan bius sempat diutarakan Kepala BKSDA Sulteng Hasmuni Hasmar, Sabtu (1/2/2020). Caranya dengan menembak dari jarak tertentu. Ia bahkan optimistis metode tersebut bisa mengakhiri nestapa sang buaya muara.
Ketua Family Reptiler Tadulako, Gunanta, menyatakan, pembiusan metode paling mungkin untuk menyelamatkan buaya tersebut. Meskipun agak berisiko, pembiusan dilakukan hanya dalam konteks untuk penyelamatan buaya.
BKSDA membuka keterlibatan komunitas atau kelompok pemerhati satwa liar untuk turut berpartisipasi dalam penyelamatan buaya muara berkalung ban. Komunitas atau kelompok tersebut tetap harus mengikuti prosedur berlaku, misalnya melapor ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Baca juga: Serangan Buaya Kembali Memakan Korban di Sultra
Sejak lama
Sebelum operasi tersebut dilakukan, banyak pihak telah coba menyelamatkan buaya tersebut. Di antaranya selebritas pencinta satwa liar Panji. Bersama timnya, ia pernah menjelajahi muara Sungai Palu pada 2017 untuk menyelamatkan buaya berkalung ban tersebut, tetapi tak berhasil. Pada tahun sama, kelompok pencinta satwa liar dari Australia juga turun. Hasilnya tetap nihil.
”Kami tetap memantau. Usaha tetap akan dilakukan untuk selamatkan buaya yang menurut kita menderita,” kata Haruna.
Konflik antara manusia dan buaya muara, termasuk buaya muara berkalung ban, sejauh ini belum terjadi di sekitar muara Sungai Palu meskipun di tempat lain di Indonesia sudah kerap terjadi. Warga atau nelayan bisa dengan bebas menjaring ikan atau memancing di muara dan sungai tanpa gangguan dari buaya. BKSDA Sulteng pun belum mendapatkan laporan adanya konflik antara buaya muara dan warga.
Kami tetap memantau. Usaha tetap akan dilakukan untuk selamatkan buaya yang menurut kita menderita.
”Saya sering mancing ikan pada malam hari dan di sekitar situ buaya muncul. Tak terjadi apa-apa. Saya tetap mancing, dia tetap asyik dengan dunianya,” tutur Demos (45), warga Kelurahan Tatura Selatan, Kecamatan Palu Selatan, Palu.
Baca juga: Pendekatan Budaya Atasi Konflik Buaya-Manusia
Berdasarkan monitoring tim BKSDA Sulteng pada 2015, jumlah buaya muara di Sungai Palu ada sekitar 15 ekor. Ada yang besar, ada pula yang masih kecil. Selain di muara Sungai Palu dan sekitarnya, buaya muara tersebut sering menjelajah hingga ke perairan Kecamatan Banawa, Kabupaten Donggala. Tempat itu berjarak 30 kilometer dari muara.
Buaya muara berstatus satwa liar dilindungi sebagaimana tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Dalam catatan Badan Konservasi Dunia (IUCN), status buaya muara berisiko rendah akan kepunahan.
Meskipun masih adem-adem, buaya muara berkalung ban berpotensi memecahkan konflik. Dengan terus tercekiknya ban karena buaya makin besar, ada kemungkinan satwa itu stres. Jika buaya stres, konflik bisa terjadi. ”Bisa saja buayanya melampiaskan kondisinya itu dengan menerkam manusia baik yang beraktivitas di sungai maupun yang rumah-rumahnya di pinggir sungai. Itulah pentingnya menyelamatkan buaya tersebut,” ujar Hasmuni.
Masalah lingkungan
Ihwal ban yang menjerat leher buaya muara, ada dua pandangan yang berkembang. Anggapan yang diyakini selama ini adalah ban secara tak sengaja masuk ke leher buaya saat buaya berada di dalam air. Ban terhanyut di sungai seperti sampah-sampah lainnya.
Namun, pendapat lain berkembang belakangan sebagaimana diyakini BKSDA Sulteng. Buaya muara tersebut awalnya dipelihara seseorang di Kabupaten Donggala. Orang itu menandainya dengan kalungan ban. Buaya lalu terlepas dari tempat peliharaan. ”Itu hasil penyelidikan kami,” katanya.
Dua pendapat tersebut barangkali sama-sama benarnya, tetapi fakta menjadikan sungai sebagai tempat sampah tak terbantahkan. Sampah, terutama berbahan plastik, berseliweran di pinggir sungai. Di beberapa titik, bagian sungai yang ditumbuhi rumput dan terdapat lumpur dijadikan tempat pembuangan sementara. Ban sepeda motor bekas juga turut dibuang dipinggir sungai.
Baca juga: Kesadaran Mengelola Sampah di Palu Bertumbuh
Meskipun ada pendapat lain, masalah sampah sebaiknya juga turut menjadi bagian dari penyelamatan buaya muara. Nestapa buaya muara lainnya bisa lebih buruk dari buaya berkalung ban jika masalah sampah tak ditangani dengan serius.
Buaya muara berkalung ban yang untuk kesekian kalinya hendak diselamatkan barangkali hanya penanda akan masalah lingkungan atau ekosistem yang butuh juga butuh penyelamatan.