Rencana Ekspor Benih Buat Resah Pembudidaya Lobster Nusa Tenggara Barat
Rencana pemerintah membuka keran ekspor benih lobster sangat disayangkan pembudidaya di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Meski bakal diperketat dan terbatas, rencana itu dinilai akan menjadi kemunduran pembesaran lobster.
Oleh
ISMAIL ZAKARIA
·3 menit baca
MATARAM, KOMPAS – Rencana pemerintah membuka keran ekspor benih lobster sangat disayangkan pembudidaya di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Meski bakal diperketat dan terbatas, rencana itu dinilai akan menjadi kemunduran pembesaran lobster dalam negeri yang mulai bergairah.
Sebelumnya, rencana membuka penangkapan benih lobster untuk budidaya dan ekspor secara terbatas dipaparkan dalam forum konsultasi publik di Jakarta. Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo mengatakan, mekanisme ekspor benih lobster belum diputuskan karena menunggu hasil konsultasi publik. ”Kita lakukan usaha berdasarkan prinsip keberlanjutan, tetapi pertumbuhan ekonomi kita kejar,” katanya.
Ketua Komisi Pemangku Kepentingan dan Konsultasi Kementerian Kelautan dan Perikanan Effendi Gazali mengemukakan, nilai telur lobster di Indonesia mencapai 26,9 miliar ekor per tahun, sedangkan larva lobster 24,7 miliar ekor per tahun. Adapun jika berlanjut menjadi benih lobster, diperkirakan sebanyak 12,3 miliar per tahun. ”Jadi, jangan lagi ada yang mengatakan (lobster) ini bisa punah,” ujarnya. (Kompas, 10/2/2020).
Menyikapi hal itu, pembudidaya di Dusun Telong-Elong, Desa Jerowaru, Kecamatan Jerowaru, Kabupaten Lombok Timur, Abdullah mengatakan, masyarakat mulai bergairah membesarkan lobster. Apalagi, pemerintah sebelumnya menyatakan, pembesaran akan menjadi prioritas sambil terus mencari teknologi yang tepat untuk budidaya.
“Kalau pembesaran jadi prioritas, tetapi pada saat yang sama keran ekspor benur di buka, sama saja bohong,” kata Abdullah.
Menurut Abdullah, dibanding pembesaran yang butuh waktu lama dan mengeluarkan biaya tinggi, menangkap benur justru sebaliknya. “Penangkapan benur itu instan. Tidak butuh waktu lama. Modalnya juga tidak terlalu banyak. Jadi, orang pasti akan memilih beralih kesana. Itu kemunduran buat pembesaran,” kata Abdullah.
Abdullah menambahkan, juga tidak setuju pernyataan benur melimpah. “Sekarang di Lombok saja sudah susah dicari. Orang yang menangkap benur sudah membawanya ke Sumbawa, ke Dompu. Itu tandanya (benur) sudah berkurang,” kata Abdullah.
Sebelumnya, dalam pertemuan dengan masyarakat dan pembesar lobster di Telong-Elong akhir Desember 2019 lalu, Edhy Prabowo menyatakan pemerintah masih mengkaji kemungkinan melakukan ekspor. "(Terkait revisi Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56 Tahun 2016), Harap bersabar. Jangan terburu-buru. Soal ekspor juga. Waktu itu kami belum tahu ternyata ada pembesaran lobster seperti di sini (Jerowaru). Masyarakat yang protes ekspor karena mereka bisa membesarkan (lobster)," kata Edhy.
Sapardi, pembudidaya di Jerowaru lainnya juga menyayangkan munculnya rencana pemerintah membuka ekspor benur. Padahal, dalam pertemuan dengan Edhy, mereka secara tegas menolak ekspor benur.
Menurut Sapardi, yang mereka minta adalah revisi Permen KP Nomor 56 tahun 2016 untuk melegalkan atau memperbolehkan penangkapan benih lobster untuk kegiatan budidaya atau pembesaran. "Bukan untuk ekspor," kata dia.
“Daripada ekspor, pemerintah seharusnya tetap mendorong pembesaran. Bisa dengan memfasilitasi dan membimbing kami sehingga kualitas lobster kita bisa bersaing dengan negara luar, terutama Vietnam,” kata Sapardi.
Daripada ekspor, pemerintah seharusnya tetap mendorong pembesaran. Bisa dengan memfasilitasi dan membimbing kami sehingga kualitas lobster kita bisa bersaing dengan negara luar, terutama Vietnam. (Sapardi)
Tawaran
Abdullah menambahkan, mereka lebih setuju pemerintah fokus membesarkan pembesaran lobster daripada ekspor benuh. Bahkan, bila memungkinan, pemerintah bisa mendampingi proses budidayanya.
Akan tetapi, menurut Abdullah, jika tetap memilih ekspor, harus dilakukan dalam jumlah terbatas. Selain itu, mereka juga meminta pemerintah tetap memastikan proses pembesaran tetap berjalan. Caranya, menjamin harga terendah hasil pembesaran sesuai hasil kesepakatan pembudidaya dan pemerintah.
“Kami juga meminta pemerintah membuat keramba konservasi beserta sarana dan prasarana pendukung. Keramba itu untuk membesarkan benur dari usia nol hari hingga 120 hari kemudian dilepasliarkan ke alam,” kata Abdullah.
Terkait keramba konservasi, kata Abdullah, perlu juga dilengkapi dengan teknologi seperti kamera pemantau (CCTV) untuk pengawasan kerja sekaligus orang-orang yang tidak bertanggung jawab. “Setiap empat bulan sekali, pihak KKP juga harus mau turun ke lapangan untuk ikut melepasliarkan benur ke alam,” kata Abdullah.