Pengurangan Keramba dan Alih Profesi Pembudidaya di Danau Maninjau Belum Efektif
Upaya pengurangan keramba dan alih profesi bagi pembudidaya ikan di Danau Maninjau, Sumatera Barat, belum efektif. Pemerintah daerah menunggu pengesahan peraturan daerah zonasi Danau Maninjau.
Oleh
yola sastra
·6 menit baca
AGAM, KOMPAS — Upaya pengurangan keramba dan alih profesi bagi pembudidaya ikan di Danau Maninjau, Sumatera Barat, belum efektif. Pemerintah daerah tengah menunggu pengesahan peraturan daerah zonasi Danau Maninjau. Sinergi semua pihak dibutuhkan agar upaya pengurangan dan alih profesi itu menunjukkan hasil positif.
Sebelumnya, kematian puluhan ton ikan di keramba jaring apung Danau Maninjau, Kecamatan Tanjung Raya, Agam, kembali terjadi dalam dua pekan terakhir. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Agam, hingga Jumat (7/2/2020), mencatat jumlah ikan mati sekitar 79,5 ton. Kematian terjadi di tiga desa (nagari), yaitu Duo Koto, Tanjung Sani, dan Bayua. Sebagian besar ikan yang dipelihara di sana adalah nila dan mas.
Kematian ikan diduga akibat cuaca buruk yang memicu belerang, limbah pakan, dan limbah rumah tangga yang mengendap di dasar danau naik ke permukaan. Kondisi itu menyebabkan jumlah oksigen terlarut di permukaan berkurang dan mengakibatkan kematian ikan.
Kejadian tersebut mengulang kembali fenomena kematian massal ikan di Danau Maninjau yang terakhir terjadi tahun 2016. Harian Kompas mencatat, sejak awal tahun hingga Agustus 2016, jumlah ikan mati di Danau Maninjau mencapai 620 ton. Selama periode 2008-2016, jumlah ikan yang mati sekitar 32.803 ton. Jika harga ikan sekitar Rp 19.500 per kilogram, kerugiannya mencapai Rp 639,658 miliar.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Agam Ermanto, Selasa (11/2/2020), mengatakan, pengurangan keramba yang melebihi kuota sering terkendala. Upaya pengurangan keramba jaring apung, yang didanai pemodal besar itu, kerap berujung konflik antara masyarakat dan pemerintah.
”Kami diadu dengan anak buah mereka (pemodal). Akhirnya terjadi konflik antara pemerintah daerah dan masyarakat,” kata Ermanto.
Ermanto menjelaskan, berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Agam Nomor 5 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Kelestarian Kawasan Danau Maninjau, usaha keramba hanya boleh dilakukan warga lokal. Satu keluarga dibatasi maksimal memiliki delapan petak keramba ukuran 5 meter x 5 meter.
Dalam aturan itu, jumlah keramba maksimal di selingkar Danau Maninjau hanya 6.000 petak. Namun, saat ini total jumlah keramba sekitar 16.000 petak. Sebagian besar keramba, kata Ermanto, milik pemodal yang mempekerjakan warga sekitar.
”Kalau warga lokal saja, jumlah keramba tidak akan sebanyak itu (lebih dari 6.000 petak),” ujar Ermanto. Berdasarkan pengakuan sejumlah pembudidaya ikan keramba di Nagari Bayua, Kecamatan Tanjung Raya, seorang pemodal bisa memiliki puluhan hingga ratusan petak keramba.
Ermanto melanjutkan, selain pengurangan, pemda juga mengupayakan alih profesi terhadap pembudidaya ikan keramba. Berbagai program bantuan disalurkan kementerian terkait, seperti bibit durian, alpukat, pala, dan kopi, mendorong budidaya ikan kolam air deras dan minapadi, serta memberdayakan ibu rumah tangga dalam usaha jahit dan suvenir.
Akan tetapi, kata Ermanto, upaya yang berlangsung 3-4 tahun terakhir itu belum memperlihatkan hasil. Program tersebut juga belum terintegrasi sehingga kurang efektif dan kadang tidak tepat sasaran.
”Kendala lain, warga sudah terbiasa mendapatkan uang cepat lewat keramba. Tukang beri makan ikan saja bisa bergaji Rp 50.000-Rp 100.000 per hari. Usaha lain butuh waktu relatif lama untuk dapat uang,” ujar Ermanto.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sumbar Yosmeri mengakui upaya pengurangan keramba sering terkendala. Namun, upaya tersebut perlu dilakukan mengingat jumlah keramba di Danau Maninjau sudah melebihi daya tampung.
Yosmeri mengatakan, pihaknya tengah menunggu pengesahan perda terkait tata ruang dan zonasi Danau Maninjau yang diusulkan Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Sumbar. Perda itu tengah dikaji Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional.
Menurut Yosmeri, perda itu akan mengatur zonasi di Danau Maninjau, antara lain zona budidaya, zona pariwisata, dan zona konservasi. ”Dengan zonasi, penataan akan lebih mudah. Pengurangan keramba akan lebih terarah dan efektif,” kata Yosmeri.
Tumpuan hidup
Sejumlah pembudidaya keramba di Nagari Bayua keberatan jika harus beralih profesi. Mereka telanjur menumpukan mata pencarian dari berbudidaya ikan di keramba jaring apung. Sementara itu, untuk bertani, mereka mengaku tidak punya lahan dan hasilnya tidak sebagus berusaha keramba.
”Berkeramba di danau prospeknya lebih bagus,” kata seorang pembudidaya ikan keramba yang hanya ingin disebut Sutan (65).
Sutan tidak terlalu mempermasalahkan kematian ikan siap panen yang dialaminya, Rabu (5/2/2020). Menurut dia, dalam setiap berusaha, selalu ada untung rugi. Sekali merugi dan tiga kali beruntung tidak terlalu bermasalah baginya.
Dari 20 petak keramba milik Sutan, terjadi kematian ikan nila secara parsial di 10 petak. Jika ditotal, jumlahnya mencapai 1 ton dengan kerugian Rp 19,5 juta jika harga ikan sekitar Rp 19.500 per kilogram.
Sutan menambahkan, kematian ikan di Danau Maninjau tidak ada kaitannya dengan aktivitas usaha keramba. Tanpa keramba, kematian ikan di danau itu telah terjadi sejak zaman dahulu akibat fenomena naiknya belerang dari dasar danau ke permukaan. Masyarakat setempat menamakannya sebagai naiknya tubo atau racun.
Pembudidaya keramba lainnya, Majo (32), juga tidak sepakat apabila aktivitas keramba jaring apung di Danau Maninjau dikurangi atau dihapus. Hal itu akan meningkatkan angka pengangguran yang berimbas pada tingkat kriminalitas. Banyak pemuda di selingkar Danau Maninjau menggantungkan mata pencarian dengan bekerja pada pembudidaya ikan keramba.
”Semasa kematian massal ikan tahun 2016, banyak kasus pencurian dan pemalakan. Padi, cabai, kelapa, kulit manis, alpukat di kebun hilang tengah malam. Pemalakan di pinggir jalan juga banyak. Kalau keramba dibersihkan, kondisi itu akan terulang kembali,” ujarnya.
Guru Besar Perikanan Universitas Bung Hatta, Padang, Hafrijal Syandri mengatakan, kematian ikan itu dipicu hujan deras dan badai yang menyebabkan belerang, limbah pakan, dan limbah rumah tangga yang mengendap, naik ke permukaan. Material itu mengandung karbon dioksida dan amoniak sehingga mengurangi kadar oksigen terlarut dan menyebabkan ikan mati.
”Dari pantauan saya ke lokasi, Sabtu (8/2/2020), kematian ikan terjadi di kawasan teluk yang sirkulasi airnya kurang baik karena agak tertutup,” kata Hafrijal.
Terlepas dari fenomena alam, ujar Hafrijal, jumlah keramba di Danau Maninjau memang sudah melebihi daya dukung danau. Dari perhitungannya, daya dukung Danau Maninjau saat ini telah berkurang dari 6.000 petak keramba menjadi 4.500 petak saja.
Menurut Hafrijal, kondisi tersebut terjadi akibat pencemaran Danau Maninjau terus berlangsung dengan adanya keramba. Sumber pencemaran air danau sebanyak 94 persen berasal dari limbah pakan budidaya ikan keramba yang mengendap di dasar danau serta 6 persen dari limbah pertanian dan rumah tangga.
Daya dukung Danau Maninjau saat ini telah berkurang dari 6.000 petak keramba menjadi 4.500 petak saja.
Dari perhitungan Hafrijal, jumlah keramba di danau itu tidak berkurang dari tahun ke tahun. Dari data yang dihimpun Hafrijal, jumlah keramba di Danau Maninjau per Maret 2019 sebanyak 17.563 petak. Usaha keramba dimulai sejak 1992 dan bertambah secara drastis.
Hafrijal melanjutkan, berdasarkan penelitiannya sejak 2001 hingga 2012, jumlah limbah organik dari kegiatan budidaya keramba di Danau Maninjau mencapai 111.889,84 ton. Rata-rata per tahun limbah sebanyak 9.324,15 ton per tahun atau 25,55 ton per hari.
”Dari kajian limnologi danau, masa tinggal air danau 25 tahun. Butuh waktu sekitar 25 tahun untuk penyehatan danau kembali seperti semula pada tahun 1992 dengan catatan tidak ada lagi keramba,” kata Hafrijal.
Kondisi air danau yang tercemar, menurut Hafrijal, membuat persentase kematian ikan secara alami mencapai 60 persen. Padahal, dengan kondisi air bagus, kematian normal ikan di keramba jaring apung hanya pada kisaran 10 persen hingga 15 persen tergantung kualitas bibit.
”Kualitas air Danau Maninjau sudah jelek, tidak menoleransi budidaya ikan. Tingkat kesuburan hipertrofik sehingga memunculkan Cyanobacteria (ganggang biru-hijau) yang menghasilkan racun cyanotoxin dan menyerang ikan nila di keramba itu. Tanpa kejadian kemarin, tingkat kematian ikan juga banyak meskipun tidak secara massal,” tutur Hafrijal.