Rencana Penyelamatan Buaya Berkalung Ban di Sungai Palu Dimatangkan
Dua ahli satwa liar dari Australia merencanakan aksi untuk selamatkan buaya berkalung ban di Palu, Sulawesi Tenggara.
Oleh
VIDELIS JEMALI
·3 menit baca
PALU, KOMPAS — Dua ahli satwa liar dari Australia mematangkan rencana penyelamatan buaya terjerat ban di Sungai Palu, Kota Palu, Sulawesi Tengah. Hambatan kerumunan warga diharapkan diantisipasi agar memperlancar evakuasi.
Dua ahli atau pemerhati satwa liar dari Australia, Matthew Nicolas Wright dan Chris Wilson, dua kali memantau titik buaya muara (Crocodylus porosus) berkalung atau terjerat ban pada Selasa (11/2/2020) pagi dan siang. Mereka memantau keberadaan buaya tersebut di sekitar Jembatan II Kelurahan Tatura Selatan, Kecamatan Palu Selatan, Palu. Di titik itu, buaya tersebut beberapa kali menampakkan kepalanya sebentar sebelum masuk lagi ke dalam air.
Matthew berbincang-bincang dengan dua anggota Satuan Tugas Penanganan Satwa Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulteng. Sambil memegang kayu, ia menunjuk-nunjuk ke arah buaya berada.
Saat ditanya apa yang sudah dilakukan, Matthew menyatakan, timnya belum melakukan kegiatan apa pun. Ia hanya menyebut mengatur dan mematangkan rencana. Namun, berdasarkan informasi, tim Matthew sudah memasang kamera pemantau buaya di sejumlah titik Sungai Palu.
Matthew dan Chris bergabung bersama Satuan Tugas Penanganan Satwa BKSDA Sulteng. Mereka telah mengantongi izin dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk terlibat dalam penyelamatan buaya.
Penyelamatan buaya yang akan digelar tim Matthew dengan penombakan menggunakan harpun dan penjeratan.
Selain tim dari Australia, tim penyelamat satwa liar dari dalam negeri juga turut mengambil bagian dalam penyelamatan. Tim tersebut Predator Fun Park, Kota Batu, Jawa Timur. Mereka datang atas koordinasi antara Wali Kota Palu dan Wali Kota Batu.
Ketua Tim Predator Fun Park Joe Javanese menuturkan, pihaknya masih berkoordinasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Tim tidak bisa bergabung dengan Matthew karena keterlambatan mengurus izin penyelamatan buaya.
Joe menyebutkan, pada prinsipnya metode yang mereka lakukan sama dengan yang akan digunakan tim Matthew, yakni menggunakan jerat di sejumlah titik.
Untuk kelancaran operasi, kata Joe, kerumunan warga yang menyaksikan upaya penyelamatan harus diantisipasi. Satwa liar sangat sensitif dengan kehadiran manusia dan kebisingan. ”Jarak ideal warga, ya, 100 meter dari titik buaya,” katanya.
Kendala itu terlihat saat tim BKSDA Sulteng menggelar operasi penyelamatan tiga hari akhir pekan lalu. Warga mengerumuni lokasi operasi dengan berteriak saat buaya muncul dari dalam air.
Jarak ideal warga, ya, 100 meter dari titik buaya.
Kepala Seksi Wilayah II BKSDA Sulteng yang juga Ketua Satgas Penanganan Satwa Haruna, Senin (10/2/2020), menyampaikan, pihaknya akan berkoordinasi dengan berbagai pihak untuk mengatur agar kerumunan warga dibatasi pada jarak aman. Namun, ia tak menyebut secara detail berapa persis jaraknya.
Buaya muara terjerat atau ”berkalung” ban terdeteksi pada pertengahan 2016 di Sungai Palu. Waktu itu dengan postur tubuh masih kecil, ban agak longgar menjerat leher buaya. Saat ini seiring dengan makin besarnya buaya, ban seperti mencekik leher buaya. Panjang buaya tersebut diperkirakan tak kurang dari 4 meter.
Total buaya muara di Sungai Palu sekitar 15 ekor. Sejauh ini, belum ada konflik antara buaya dan manusia.