Disiplin Positif Guru dan Siswa Tekan Kekerasan di Sekolah
Untuk mencegah terus terjadinya kekerasan anak di lingkungan sekolah, diharapkan sekolah menerapkan sistem disiplin positif antara guru dan siswa. Sistem itu membuka ruang dialog antara guru dan siswa.
Oleh
DAHLIA IRAWATI
·5 menit baca
MALANG, KOMPAS — Sistem disiplin positif antara guru dan siswa diyakini akan mencegah dan menghentikan kasus kekerasan oleh dan terhadap anak yang kini marak terjadi. Sistem berupa pembukaan ruang dialog antara guru dan siswa atas segala persoalan yang dihadapi itu juga bisa dilakukan di dalam keluarga.
Hal itu disampaikan Asisten Deputi Perlindungan Anak dari Kekerasan dan Eksploitasi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Valentina Ginting, Kamis (13/2/2020), seusai mengecek kasus perundungan siswa SMP di Kota Malang. Perundungan dilakukan oleh tujuh teman sekolah korban yang menyebabkan ruas jari tengah korban harus diamputasi.
”Kami datang ke Malang untuk berkoordinasi dan menyamakan persepsi soal kasus perundungan di sini. Soal penanganan hukumnya, kami serahkan ke penyidik. Ada undang-undang yang berlaku. Kalau anak, menurut UU Sistem Peradilan Pidana Anak, ketika usianya belum 14 tahun harus diberlakukan juvenile justice, yaitu restorative justice,” kata Valentina.
Keadilan restoratif adalah proses penyelesaian hukum dengan mengusung keadilan yang sifatnya memulihkan, baik untuk pelaku maupun korban. ”Untuk kasus-kasus kekerasan (seperti) ini, kami merekomendasikan agar pencegahan menjadi prioritas. Pencegahan itu bisa dilakukan dengan memperkuat sistem perlindungan anak mulai dari sekolah, rumah, hingga lingkungannya,” kata Valentina.
Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan menerapkan disiplin positif antara guru dan siswa, yaitu terbukanya dialog antara guru dan murid atas persoalan atau pelanggaran oleh siswa.
”Selama ini hubungan guru dan siswa sifatnya satu arah, di mana guru biasanya tidak memikirkan kemauan dan kondisi siswa. Namun, sekarang, sekolah harus mendorong diterapkannya dialog antara guru dan siswa. Misalnya siswa terlambat, guru harus bertanya kenapa. Itu menjadi penting. Kalau ini ditanamkan, saya yakin kasus-kasus kekerasan ini tak akan terjadi lagi ke murid-murid kita,” papar Valentina.
Sistem disiplin positif tersebut juga bisa dilakukan di rumah dan lingkungan sosial. Di lingkungan rumah, Kementerian PPPA memiliki program Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga) hingga ke daerah. ”Puspaga memungkinkan orangtua belajar cara mendidik anak dengan benar. Apalagi, cara mendidik anak di era milenial sekarang tentu berbeda dengan pendidikan era orangtuanya dahulu. Pengetahuan dan dukungan penguatan pendidikan keluarga ini harus diperkuat hingga daerah,” katanya.
Cara mendidik anak di era milenial sekarang tentu berbeda dengan pendidikan era orangtuanya dahulu.
Penny Indriani, Kepala Dinas Sosial dan Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana Kota Malang, menambahkan, Puspaga menjadi tempat konsultasi persoalan keluarga. Di sana ada konselor, yang akan mendampingi keluarga hingga permasalahan keluarga teratasi. Namun, hingga kini masih jarang orang mau berkonsultasi terkait permasalahan keluarganya.
”Entah kenapa. Padahal, mereka (warga) tahu dan sudah selalu disosialisasikan. Di Puspaga, tim bisa memberikan pendampingan jika dibutuhkan,” kata Penny.
Terkait kasus perundungan terhadap siswa SMPN di Kota Malang oleh tujuh siswa sekolah tersebut, Kepala Kepolisian Resor Malang Kota sudah menetapkan dua tersangka teman korban (MS) sebagai pelaku kekerasan. Mereka dinilai melanggar Pasal 80 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Ancaman hukumannya 5 tahun penjara.
”Sudah ada dua tersangka, yaitu teman sekolah korban. Bukan tidak mungkin akan muncul tersangka lain. Namun, karena korban dan pelaku sama-sama masih anak-anak, tetap kami akan memperhitungkan aturan hukum terkait anak,” kata Kepala Polres Malang Kota Komisaris Besar Leonardus Simarmata.
Kasus perundungan di Malang mencuat setelah video MS yang tengah kesakitan pada tangannya muncul di media sosial. Di sana disebutkan bahwa MS adalah korban perundungan yang dilakukan tujuh teman sekolahnya.
Awalnya, Dinas Pendidikan Kota Malang mengingkari bahwa MS adalah korban perundungan temannya. Kepala Dinas Pendidikan Kota Malang Zubaedah, yang menjadi wakil sekolah saat menjelaskan kasus tersebut, mengatakan, hal yang menimpa MS hanya bahan bercanda dan MS sakit akibat terjepit gesper. Penjelasan tidak memuaskan dari Dinas Pendidikan semakin menjadikan kasus tersebut viral.
Ramainya kasus tersebut membuat Polres Malang Kota turun tangan. Mereka memeriksa sejumlah saksi (pelapor dan pelaku) pada awal Februari 2020. Pelapor kasus tersebut adalah Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak Kota Malang. Adapun keluarga MS mengaku tidak pernah berniat melapor. Mereka mempertimbangkan kondisi MS ke depan mengingat para pelaku adalah teman dan tetangganya.
Hingga kini pun MS enggan bercerita lebih jauh mengenai kronologi kejadian. Keluarga semula hanya tahu MS sakit demam dan dibawa ke rumah sakit. MS sama sekali tidak bercerita penyebab sakitnya karena ia memang bukan tipe anak pengadu. Setelah viral di media sosial, keluarga akhirnya meminta penjelasan dari sekolah dan mengetahui adanya dugaan perundungan itu.
Kejadian perundungan diakui oleh para pelaku dalam proses mediasi antara korban dan pelaku. Perundungan di antaranya dilakukan dengan mengangkat dan melemparkan korban ke lantai dan beberapa cara kekerasan tidak manusiawi lainnya. Aksi itu dilakukan pada Januari 2020. Setelah dirawat di rumah sakit lebih kurang 12 hari, ruas jari tengah MS, yang oleh dokter dinyatakan sarafnya telah mati, akhirnya diamputasi.
Rabu (12/2/2020), Polres Malang Kota menetapkan dua teman sekolah MS sebagai tersangka. Seorang tersangka adalah siswa kelas VIII dan seorang lagi siswa kelas VII. Mereka dinilai melanggar Pasal 80 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Ancaman hukumannya 5 tahun penjara.
Terkait aksi perundungan itu, Wali Kota Malang Sutiaji mengaku kejadian tersebut mencoreng dunia pendidikan di Kota Malang. Ia memberikan sanksi berupa mencopot jabatan kepala sekolah dan wakil kepala sekolah tempat MS belajar. Keduanya dinilai bertanggung jawab atas terjadinya peristiwa itu.
Mereka dinilai abai melaksanakan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil serta Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan. Adapun Kepala Dinas Pendidikan Kota Malang diberi saksi enam bulan masa percobaan kinerja.