Tipu muslihat para kurir narkoba untuk mengelabui pengawasan seperti tak ada habisnya. Namun, tak ada kejahatan yang sempurna.
Oleh
Videlis Jemali
·4 menit baca
Dodi Irawan (27) lebih banyak menunduk. Matanya terus berkedip-kedip. Ia berdiri agak miring dengan sandaran utama badan di kaki kiri. Di menit-menit awal, ia masih kuat menatap lurus ke sorotan kamera meskipun tatapan matanya sendu. Barangkali, ia sedang meratapi nasibnya yang tak seindah bayangan.
”Saya butuh uang,” ujarnya saat ditanya sebelum digelandang ke jeruji tahanan di Palu, Sulawesi Tengah, Rabu (12/2/2020), seusai konferensi pers pengungkapan kasus. Dodi sehari-hari adalah tukang ojek di Palembang, Sumatera Selatan. Ia sudah berkeluarga dengan satu anak.
Dia tergiur iming-iming imbalan Rp 30 juta dari penyelundupan narkotika jenis sabu sebanyak 1 kilogram. Namun, kenyataannya tak semuluk itu. Jangankan uang, yang dijanjikan baru diterima setelah ”misi” tuntas, Dodi pun kini harus mengucapkan selamat tinggal kepada udara bebas.
Lelaki berperawakan agak kurus dengan tinggi tak lebih dari 160 sentimeter itu kini harus menempuh perjalanan kelam nan panjang ke depan. Ia diringkus tim Direktorat Reserse Narkoba Kepolisian Daerah Sulteng di Bandara Mutiara SIS Al-Jufri, Palu, Selasa (11/2/2020) malam, sesaat setelah tiba dengan pesawat.
Dodi menempuh perjalanan udara panjang hari itu. Pagi hari, ia terbang dari Bandara Kualanamu, Sumatera Utara. Sebentar, ia transit di Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, untuk berganti pesawat menuju Palu.
Perjalanan panjang itu disiapkan dengan matang. Dua hari sebelumnya, ia terbang dari Palembang. Ia diminta SN untuk membawa sabu sebanyak 1 kilogram dari Medan ke Palu. Dua hari ia menyiapkan diri, juga mental.
SN diduga sebagai pengendali peredaran sabu tersebut. Keduanya sama-sama berangkat dari Medan lalu berpisah di Jakarta. SN lalu menuju Palembang. Sebelum berangkat, Dodi membeli sepatu hitam semibot dengan harga tak kurang dari Rp 500.000. Sepatu itu berukuran 41, lebih besar dari ukuran kakinya yang 38.
Sepatu besar itu dimaksudkan untuk menyembunyikan sabu. Sabu dikemas dalam dua bungkus untuk masing-masing dimasukkan dalam sepatu. Bungkus berisi sabu itu lalu disembunyikan di bagian telapak sepatu agar luput dari semua mata.
Dengan sabu di sepatu, dia lolos dari pemeriksaan di Bandara Internasional Kualanamu dan Soekarno-Hatta hingga tiba di Bandara Palu. Dodi tak sempat transit di Bandara Internasional Sultan Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan, seperti diberitakan Kompas, Kamis (13/2/2020).
Namun, sebagaimana sepatu, ada saatnya jebol. Demikian pula kejahatan yang tersembunyi di baliknya. Adagium ”tak ada kejahatan yang sempurna” kembali terkonfirmasi.
Dodi diringkus tim Direktorat Reserse Narkoba Polda Sulteng di area Bandara Palu. Ia tak menyangka, mobil yang dipesannya lewat aplikasi daring dikemudikan seorang polisi yang menyamar. Ia tak bisa mengelak saat diperintahkan untuk mengeluarkan sabu dari dalam sepatu.
Pendalaman masih dilakukan untuk menguji pengakuannya itu sekaligus membongkar sindikat yang bekerja dengannya.
Direktur Reserse Narkoba Polda Sulteng Komisaris Besar Dodi Rahman mengatakan, berdasarkan pengakuan tersangka, dia baru kali ini terlibat dalam peredaran narkoba. Pendalaman masih dilakukan untuk menguji pengakuannya itu sekaligus membongkar sindikat yang bekerja dengannya.
Dodi Irawan masih punya hubungan darah dengan Yudi, seorang terpidana penjara 16 tahun di Rumah Tahanan Maesa, Palu. Yudi juga berasal dari Palembang. Ia pun terjerat kasus narkoba dengan modus sama dengan yang dilakukan Dodi. Sabu yang dibawa Dodi itu diduga dipesan oleh Yudi. Yudi kini ditempatkan di kamar isolasi di rumah tahanan untuk penyelidikan perkara.
Tamparan
Selain makin banyaknya modus penyelundupan narkoba yang menuntut kemampuan teknis khusus penyidik, pengungkapan kasus ini juga menjadi tamparan keras betapa dengan gampangnya tempat-tempat yang memiliki pengamanan ekstra takluk.
Salah satunya adalah bandara yang menjadi andalan lalu lintas orang dan barang zaman ini. Lainnya, rumah tahanan yang seharusnya menjadi tempat pelaku kejahatan ”menyucikan” diri.
Kepala Polda Sulteng Inspektur Jenderal Syafril Nursal pun heran narkoba tersebut beredar sedemikian jauh lewat jalur penerbangan. ”Kami dalami ini, berkoordinasi dengan Kepolisian Daerah Sumatera Utara. Lalu, kaitannya bisa lolos di bandara-bandara besar,” kata Nursal.
Ke depan, mestinya pemeriksaan juga tetap diberlakukan di terminal kedatangan bandara.
Pemeriksaan di bandara, termasuk yang berkualifikasi internasional, menurut Nursal, masih lemah. Selama ini, pemeriksaan dengan sinar-X hanya dilakukan terhadap barang-barang bagasi, koper, benda logam, dan dompet. Namun, sepatu yang dipakai tak melewati pemeriksaan sinar-X. Di sejumlah negara lain, sepatu penumpang juga diperiksa melalui sinar-X.
Nursal menambahkan, ke depan, mestinya pemeriksaan juga tetap diberlakukan di terminal kedatangan bandara. Ini untuk memperkecil ruang kejahatan peredaran narkoba.
Kepala Rumah Tahanan Maesa Moh Yansen mengatakan, pihaknya bersinergi dengan penegak hukum untuk mengungkap sindikat narkoba. Pada kasus Dodi, dia langsung berkoordinasi dengan Polda Sulteng sehingga bisa mengetahui dugaan keterlibatan Yudi. Ada nota kesepahaman antara Polda Sulteng dan Rutan Maesa.
Razia rutin selama ini dilakukan untuk menyisir barang-barang terlarang di rutan. Razia dilakukan tiga kali sebulan. Untuk kasus-kasus narkoba, telepon genggam menjadi sarana utama sindikat dalam berkomunikasi.
Yansen mengakui, telepon genggam ditemukan saat razia. ”Selain yang rutin, kami akan lakukan razia secara insidental. Ini kami akan rapatkan, terutama di bagian pengamanan, agar hal-hal seperti ini (masuknya telepon genggam) bisa diperbaiki,” tuturnya. Dari 500 narapidana dan tahanan di Rutan Maesa, sekitar 200 orang terkait dengan kasus narkoba.
Kasus Dodi barangkali menjadi sarana evaluasi di tengah gembar-gembor perang melawan narkoba. Tempat-tempat yang menjadi titik kunci pengawasan malah jebol dengan mudah. Beruntung, muslihat Dodi juga ”jebol” sehingga barang berbahaya itu gagal beredar di masyarakat. Semoga ini kasus yang terakhir.