Warga Surabaya Lebih Memilih Calon yang Kompeten daripada Politik Identitas
Warga Surabaya lebih memilih pemimpin yang kompeten dan jujur dibandingkan dengan calon berlatar ras, suku, agama, dan antargolongan.
Oleh
AMBROSIUS HARTO
·4 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Kalangan warga Surabaya, Jawa Timur, mendambakan sosok wali kota yang jujur dan kompeten. Hal itu lebih penting daripada latar belakang suku, agama, ras, dan antargolongan atau SARA kandidat.
Hal itu merupakan survei awal dari Tim Survei Pilkada Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS). Agnes Tuti Rumiati, tenaga ahli Tim Survei Pilkada ITS seusai paparan Pusat Riset Pilkada JTV di Surabaya, Jatim, Jumat (14/2/2020), mengatakan, warga Surabaya berkarakter rasional sehingga politik identitas tidak laku.
JTV, stasiun televisi swasta milik Jawa Pos Group, menggandeng Tim Survei Pilkada ITS untuk penilikan prapilkada serentak di Jatim. Lima daerah yang disurvei ialah Surabaya, Sidoarjo, Gresik, Mojokerto, dan Pasuruan. Survei untuk Surabaya berlangsung 6-12 Februari 2020.
Agnes Tuti memaparkan, survei memakai metode stratified multistage randomsampling. Dari data 2,131 juta jiwa dalam daftar pemilih tetap di Surabaya, sampel yang ditetapkan 450 dan terdistribusi di lima wilayah, yakni timur (29 persen), selatan (22 persen), barat (16 persen), utara (20 persen), dan pusat (13 persen). Responden terbagi dalam kelompok umur di bawah 19 tahun (7 persen), 20-29 tahun (23 persen), 30-39 tahun (25 persen), 40-49 tahun (24 persen), dan
50-64 tahun (21 persen). Margin kesalahan plus minus 5.
Dari survei, kata Agnes Tuti, jawaban responden mengkristal dalam 21 kriteria calon wali kota dengan rentang penilaian 1, 2, 3, 4, 5. Skor 1 menandakan suatu kriteria dianggap amat tidak penting. Dengan begitu, skor meninggi menandakan suatu kriteria dianggap penting untuk dimiliki penerus Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini.
Survei menunjukkan, kejujuran merupakan kriteria yang mendapat nilai tertinggi, yakni 4,72. Selanjutnya kriteria kompetensi, yakni kemampuan mengatasi masalah ekonomi (4,4), lingkungan (4,33), pendidikan (4,29), sosial dan kesehatan (4.28), tegas (4,26), berwawasan luas (4,17), adil (4,17), serta suka blusukan (4,04).
Skor terendah untuk kriteria penampilan fisik atau harus cantik/tampan (2,09). Di atasnya jenis kelamin (2,18) lalu dari partai atau organisasi massa tertentu (2,64) dan dari agama tertentu (2,73). Kriteria religius atau alim hanya mendapat skor 3,33.
”Kejujuran terpenting bukan berarti yang terdahulu tidak jujur, melainkan sikap yang harus dimiliki seorang kandidat agar dapat mengatasi masalah perkotaan,” kata Agnes Tuti. Misalnya, dalam penanganan banjir, warga atau responden melihat pemimpin harus jujur apakah mampu atau tidak. Kejujuran juga terkait dengan sikap antikorupsi atau transparan dalam urusan penganggaran.
Jika didetailkan lagi, dalam hal kompetensi kandidat, responden memandang persoalan Surabaya yang tetap patut menjadi perhatian ialah banjir, macet, anak putus sekolah, keamanan (perampasan dan pencurian), pelayanan publik, penyakit karena lingkungan tak sehat, serta peluang kerja. Dari situ dapat terlihat bahwa warga lebih membutuhkan sosok berintegritas yang mampu bekerja dan mengatasi masalah klasik perkotaan daripada kesamaan identitas.
Kepala Pusat Riset Pilkada JTV Machmud Suhermono, yang juga Wakil Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jatim, mengatakan, unit yang dipimpinnya merupakan bagian dari tim redaksi JTV yang bertujuan mewujudkan jurnalisme data dalam peliputan pilkada serentak Jatim 2020. JTV menggandeng ITS dengan keyakinan perguruan tinggi negeri ini berpengalaman dalam survei riset politik, sosial, dan keilmuan teknik. ”Agar terjamin kualitas pertanggungjawaban akademis dan independensi, hasil survei yang kami publikasikan,” katanya.
Menurut Machmud, survei akan berlangsung dalam tiga tahap. Survei kedua akan dilaksanakan pada Mei 2020, sedangkan yang ketiga pada Agustus 2020 atau menjelang pemungutan suara. Di survei kedua dan ketiga, responden akan diperluas sehingga margin kesalahan akan mengecil. Di survei pertama belum dimunculkan nama-nama kandidat wali kota mengingat secara administratif di Komisi Pemilihan Umum juga belum ada penetapan.
Dari pengamatan Kompas, sampai saat ini, di Surabaya, kontestasi politik bisa dibilang baru dalam tahap pemanasan. Untuk jalur independen, pendaftaran pasangan calon sudah dibuka oleh KPU sejak pertengahan Desember 2019 di mana baru sepasang yang mengambil formulir, yakni advokat M Sholeh berpasangan dengan Ketua Dewan Kesenian Jatim Taufik Hidayat.
Dari jalur partai politik, baru Machfud Arifin, mantan Kepala Polda Jatim dan mantan Ketua Tim Kampanye Joko Widodo-Ma’ruf Amin Daerah Jatim, yang mendapat rekomendasi gabungan partai politik, yakni PKB (5 kursi), Gerindra (5 kursi), Demokrat (4 kursi), PAN (3 kursi), dan PPP (1 kursi).
PDI-P sebagai pemilik 15 kursi di legislatif belum menurunkan rekomendasi. Namun, beberapa nama mengajukan diri sebagai kandidat, yakni Wakil Wali Kota Surabaya Whisnu Sakti Buana; Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Kota Surabaya Ery Cahyadi; anggota DPR daerah pemilihan Surabaya-Sidoarjo, Puti Guntur Soekarno, yang juga mantan calon Wagub Jatim dalam Pilgub 2018; anggota DPRD Jatim, Armuji; Ketua Fraksi PDI-P Kota Surabaya Baktiono; dan anggota DPRD Kota Surabaya, Dyah Katarina, yang juga istri mantan Wali Kota Surabaya Bambang Dwi Hartono.
Partai politik di parlemen yang belum menentukan sikap ialah PKS (5 kursi), PSI (4 kursi), dan Nasdem (3 kursi). Gabungan tiga partai politik ini bisa mengusung calon sendiri jika memang berkeputusan untuk berkoalisi.