Buaya yang Terjerat Ban di Palu Masih Belum Berhasil Diselamatkan
Hingga hari keempat, upaya penyelamatan buaya muara yang terjerat ban di Sungai Palu, Kota Palu, Sulawesi Tengah, belum membuahkan hasil.
Oleh
videlis jemali
·3 menit baca
PALU, KOMPAS — Hingga hari keempat, upaya penyelamatan buaya muara yang terjerat ban di Sungai Palu, Kota Palu, Sulawesi Tengah, belum membuahkan hasil. Tim gabungan Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sulteng dan ahli satwa liar asal Australia masih terus berupaya menyelamatkan satwa liar dilindungi tersebut.
Pada upaya penangkapan Jumat (14/2/2020) malam, di Sungai Palu sekitar Kelurahan Nunu, Kecamatan Tatanga, tim nyaris menangkap buaya (Crocodylus porosus) malang itu. Matthew Nicolas Wright, ahli satwa liar dari Australia, dua kali menombak buaya dengan harpun. Ia berjarak tak lebih dari dari 5 meter dengan buaya itu.
Pada kesempatan pertama, harpun mengenai buaya di bagian kepalanya, tetapi harpun tak menancap seperti yang diharapkan. Kali kedua, lemparan harpun tidak membuahkan hasil. Buaya itu pun lalu menghilang. Pencarian yang dimulai pukul 19.00 Wita itu berakhir pukul 23.40 Wita.
Dalam kesempatan tersebut, Matthew tak menggunakan perahu karet seperti pada operasi sebelumnya. Di lokasi buaya berada, air sungai cukup dangkal dan tenang. Upaya tersebut merupakan salah satu kesempatan emas karena selama empat hari pencarian buaya tersebut selama ini tak pernah terjadi interaksi sedekat itu.
Ketua Satuan Tugas Penanganan Satwa Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sulteng Haruna menyatakan, penggunaan harpun masih tetap diandalkan. ”Dengan harpun, kami fokus mencari buaya terjerat ban tersebut. Kalau menggunakan jerat, ada kemungkinan buaya lain terjaring,” kata Haruna di Palu, Sulteng, Sabtu (15/2/2020). Di Sungai Palu, tercatat ada sekitar 15 buaya muara. Buaya berkalung ban itu berukuran cukup besar. Panjang tubuhnya sekitar 4 meter.
Harpun itu bermata tombak bergerigi dengan panjang tak lebih dari 5 sentimeter. Harpun biasanya hanya menancap di bagian luar kulit buaya. Penggunaan alat itu aman dalam penanganan satwa liar dilindungi.
Selain penggunaan harpun, tim juga memasang perangkap berupa kerangkeng besi yang diberi umpan. Perangkap itu disimpan di titik buaya berkalung ban sering muncul, tetapi sejauh ini buayanya malah tak pernah kembali ke tempat itu lagi.
Dengan harpun, kami fokus mencari buaya yang terjerat ban tersebut. Kalau menggunakan jerat, ada kemungkinan buaya lain terjaring.
Haruna menyatakan, tim masih terus bekerja menyelamatkan buaya yang terdeteksi terjerat ban sejak pertengahan 2016. Matthew yang semula izin kerjanya berakhir pada Sabtu ini diperpanjang hingga Selasa depan. Hanya Chris Wilson, rekan Matthew, yang kembali ke Australia Minggu (16/2/2020).
”Kami berusaha, sisa hari bersama Matthew ini bisa dimaksimalkan untuk menyelamatkan buaya,” ujarnya.
Sejauh ini, kendala utama dalam operasi ini adalah tingginya pergerakan buaya berkalung ban. Buaya itu kadang berada di muara berombak tinggi. Namun, sering juga buaya itu berada di bagian sungai yang dalam. Buaya itu hanya sesekali muncul di permukaan air.
Selain itu, kebisingan dan kehadiran warga juga turut mempersulit upaya penyelamatan. Warga kerap berteriak saat buaya muncul. Hal itu membuat buaya kerap enggan muncul di permukaan air.
Haruna menyatakan, hal itu sulit diatasi karena warga yang datang kebanyakan mereka yang rumahnya di pinggir sungai. ”Yang bisa kami lakukan tetap mengatur jarak aman dan meminta mereka tidak berteriak,” katanya.
Ody Rahman (34), warga Palu, menyatakan, satgas seharusnya lebih tegas meminta warga tidak mengganggu operasi penyelamatan itu. ”Saya pikir kalau dikomunikasikan dengan baik dan tegas, warga bisa paham. Ini upaya khusus menyelamatkan satwa yang menderita,” ujarnya.