Len tonden ke Gajah Mada, artine tonden ke Denpasar…
Kalau belum singgah ke Gajah Mada, artinya belum ke Denpasar…
Oleh
Ayu Sulistyowati
·4 menit baca
Kawasan kota tua di Jalan Gajah Mada, Denpasar, Bali, terus bersolek. Kawasan di titik Nol Kilometer itu menjanjikan cerita sejarah Denpasar sebagai ”The Heart of Bali”, jantungnya ”Pulau Dewata”.
Berjalan kaki di kawasan Gajah Mada bisa menjadi pilihan tepat untuk memanjakan mata. Pelancong bisa sepuasnya menikmati bangunan tua yang masih kokoh. Beragam barang ditawarkan toko-toko. Yang tidak kalah menarik, sensasi menyesap nikmat kopi legendaris Bali. Jalan Gajah Mada memiliki panjang kurang dari 1 kilometer, berakhir di Nol Kilometer, persis di Catur Pata atau Patung Catur Muka. Ruas jalan dengan pavling blok dan lorong-lorong gang itu menyimpan memori sejarah, mulai dari jalan kolonial hingga masa kini.
”Sejak saya kecil hingga sekarang, bangunan di Gajah Mada tidak banyak berubah. Di kawasan ini ada pecinan, kampung Arab, keturunan India, dan kampung Jawa. Semua berbaur rukun dari dulu sampai sekarang. Makanya, betah saja tinggal di sini,” kata Nyoman Adi (49), warga setempat.
Di lokasi itu ada ikon masyarakat dan budaya Bali, yakni Pura Desa Lan Puseh Desa Pekraman dan Pasar Badung. Ada pula Tukad atau Sungai Badung yang melengkapi pemandangan di kawasan Gajah Mada. Tukad Badung atau sering disebut Tukad Korea itu dipercantik, dijaga kebersihannya, dan dihiasi lampu warna-warni.
Di kawasan ini ada pecinan, kampung Arab, keturunan India, dan kampung Jawa. Semua berbaur rukun dari dulu sampai sekarang.
Hingga kini, pemerhati sejarah Denpasar dan pemerintah setempat terus mencari bukti otentik atau data pendukung, kapan jalan utama jantung ”Pulau Dewata” itu bernama Gajah Mada. Pada peta Denpasar tahun 1915 yang dibuat A Glastra van Loon dan diterbitkan Universitaire Bibliotheken Leiden dengan skala 1:5.000, misalnya, belum mencantumkan nama Jalan Gajah Mada.
Sastrawan dan Guru Besar Universitas Udayana I Nyoman Darma Putra masih terus meneliti asal mula Jalan Gajah Mada. ”Ya, belum ada referensi persis sejarah nama Gajah Mada. Bisa saja penamaan itu terkait adanya nama Jalan Majapahit yang tak jauh dari titik Nol Denpasar. Pemberitaan surat kabar Suara Indonesia (sekarang Bali Post) pada Mei 1964 memuat perubahan nama-nama jalan di Denpasar dan hanya Jalan Gajah Mada yang tidak berubah,” katanya.
Warisan budaya
Pemerintah Kota Denpasar menetapkan kawasan Jalan Gajah Mada sebagai warisan budaya sejak tahun 2008. Sebagai kawasan bersejarah, mulai dari kota kerajaan, kota kolonial, sampai transformasi modern, Gajah Mada senantiasa setia dengan keberadaannya. Gedung-gedung tua bertingkat yang khas berupa pertokoan sepanjang jalan masih bertahan.
Pada era pra-kolonial, Jalan Gajah Mada merupakan akses utama yang menyangga orientasi ruang keyakinan umat Hindu Bali, ”Tri Mandala”. Gajah Mada menjadi penyambung domain pura yang menjadi tempat pemujaan umat Hindu, puri atau istana yang menjadi pusat pemerintahan, serta pasar dan ruang hijau.
Pada era sebelum 1960-an hingga 1980-an, ada dua gedung bioskop yang cukup melegenda bagi masyarakat setempat, yakni Wisnu Theatre, dan Indra Djaja yang sebelumnya bernama Holliwood. ”Ih… ingat pernah masa kecil diajak bibi nonton bioskop pertama kali itu, ya, daerah Gajah Mada ini, tetapi lupa apa nama theatre-nya. Entah mengapa lalu berubah menjadi gedung kantor sekarang,” kenang Kadek Putra (40), warga Denpasar.
Pada era pra-kolonial, Jalan Gajah Mada merupakan akses utama yang menyangga orientasi ruang keyakinan umat Hindu Bali, ”Tri Mandala”.
Pada era sekarang, kawasan Gajah Mada terus ditata sebagai destinasi ikonik kota tua. Wali Kota Denpasar Rai Mantra menyatakan, revitalisasi kawasan Gajah Mada menjadi penting dan bertumpu pada wisata budaya cerdas atau pendekatan budaya yang memanfaatkan teknologi informasi.
Memang tidak mudah menandingi ikon destinasi wisata, seperti Pantai Kuta. Namun, Kepala Dinas Pariwisata Denpasar Dezire Mulyani berkeyakinan, kawasan Gajah Mada yang menjadi ikon pariwisata historis Bali tidak boleh terhapus dan tergerus zaman. Perlahan tetapi pasti, dalam waktu lima tahun, mulai dari tahun 2019, Gajah Mada diyakini bakal menjadi salah satu destinasi yang direkomendasikan wisatawan.
Data Statistik Dinas Pariwisata Denpasar mencatat, wisatawan mancanegara mendominasi menginap di Kota Denpasar pada 2018, yaitu 567.243 orang dari total wisatawan yang menginap 609.507 orang. Kemudian, ada 1,9 juta wisatawan yang pelesiran, tetapi tidak menginap di Denpasar. Angka ini masih jauh dari total wisatawan asing ataupun domestik yang datang melalui Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai yang sekitar 11 juta orang pada tahun yang sama.
Agenda wisata
Festival Denpasar telah digelar 12 tahun berturut-turut setiap akhir tahun dan menjadi salah satu incaran wisatawan. Ragam budaya dan kesenian ditampilkan semarak di Nol Kilometer. Festival Denpasar merupakan kelanjutan dari Festival Gajah Mada (FGM) pada masa lampau.
FGM cukup tenar pada 1960-an. Pendapatan dari FGM pada waktu itu digunakan untuk membangun sejumlah fasilitas pendidikan di Denpasar. Seiring waktu, banyak hal yang berubah di Gajah Mada. Namun, sejarah yang tersimpan seakan tiada henti untuk memikat dan dikunjungi.