Semua Kelompok Diberi Ruang Ekspresi yang Sama di Singkawang
Masyarakat dan pengambil kebijakan di Singkawang berusaha menjadikan kota tersebut harmonis dan toleran. Kasus yang mengarah ke SARA diselesaikan bersama. Semua kelompok pun diberi ruang sama.
Oleh
EMANUEL EDI SAPUTRA
·3 menit baca
SINGKAWANG, KOMPAS — Pemerintah Kota Singkawang, Kalimantan Barat, selama ini menyadari bahwa modal sosial menjadi hal penting dalam pembangunan. Upaya untuk memupuk modal sosial itu dengan memberikan ruang ekspresi yang sama kepada semua kelompok dalam berbagai kesempatan tanpa diskriminasi.
Hal itu dikemukakan Wali Kota Singkawang Tjhai Chui Mie, dalam berbagai kesempatan saat diwawancarai Kompas. Pemerintah Kota (Pemkot) Singkawang memberikan ruang ekspresi kepada setiap etnis dan agama, tanpa diskriminasi. Semua etnis dan agama mendapat ruang yang sama.
Berdasarkan pengamatan Kompas di lapangan beberapa tahun terakhir, misalnya dalam rangkaian perayaan Imlek dan Cap Go Meh Singkawang, biasanya ada panggung seni selama beberapa pekan yang dipusatkan di Stadion Kridasana Singkawang.
Dalam acara itu, paguyuban-paguyuban suku yang tinggal di Singkawang diberi ruang untuk menampilkan eksotika kebudayaannya masing-masing. Bahkan, dalam pembukaan acara, nuansa Nusantara sangat kuat dari tarian dan busana.
Demikian juga kepanitiaan Cap Go Meh juga dari berbagai latar belakang agama dan suku. Saat Festival Cap Go Meh, dalam parade tatung yang memperagakan atraksi kekebalan tubuh juga ada reog Ponorogo yang tampil di situ memberikan warna tersendiri. Bahkan, parade tatung mampu bertahan ratusan tahun karena adanya akulturasi sehingga ada rasa memiliki bersama kemudian menjaganya.
Tak hanya itu, menjelang Natal, pemuda dari umat Kristiani dan Islam menghias bersama-sama pohon Natal di tengah kota. Hal itu sebagai bentuk toleransi yang tubuh dari akar rumput. Demikian juga saat Ramadhan, ada kegiatan Ramadhan Fair, Kota Singkawang berhias atribut Ramadhan.
Kegiatan-kegiatan kebudayaan seperti Naik Dango di masyarakat Dayak juga diberi ruang. Naik Dango ungkapan syukur sehabis panen. Bahkan, itu juga menjadi salah satu kalender pariwisata.
Singkawang pun meraih predikat kota tertoleran di Indonesia. Direktur Eksekutif Setara Institute Ismail Hasani, pada 2018, menyampaikan, ada beberapa variabel yang membuat Singkawang menjadi kota tertoleran se-Indonesia dengan skor 6,513.
Dari sisi regulasi dan rencana pembangunan jangka menengah daerah, di Singkawang tidak ada peraturan daerah yang diskriminatif, baik berbasis jender maupun etnis. Jika dilihat dari dinamika masyarakat sipil, elemen-elemen sosial di kota itu berupaya mencegah intoleransi.
Forum Kerukunan Umat Beragama juga bersinergi efektif dengan pemerintah dan aparat keamanan untuk memitigasi konflik. Dalam Pilkada 2017, beberapa upaya provokasi muncul, tetapi ketahanan sosial masyarakat terlalu kuat. Secara sosiologis, masyarakat Singkawang mempunyai ikatan kuat sehingga tak mudah terprovokasi.
Ketahanan ikatan sosial masyarakat juga terlihat saat kejadian beberapa waktu lalu, yakni adanya dugaan oknum guru SDN 43 Sagatani yang mendenda siswa Muslim jika menyaksikan Cap Go Meh. Namun, hal itu cepat direspons berbagai pihak sehingga segera bisa diatasi. Oknum guru pun telah meminta maaf.
Saat Pilkada 2017, toleransi di Singkawang sempat diuji dengan adanya pelemparan bom molotov di salah satu pekong. Namun, diduga itu dilakukan pihak luar yang ingin memperkeruh suasana, bukan warga setempat.