Penurunan Tanah Sebabkan Banjir di Sidoarjo Sulit Ditanggulangi
Fenomena penurunan tanah, selain karena daya dukung lingkungan yang menurun akibat tingginya pencemaran sampah dan sedimentasi di sungai, diduga menjadi penyebab banjir yang tak surut di dua desa di Sidoarjo.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI
·4 menit baca
SIDOARJO, KOMPAS — Banjir yang menggenangi Desa Banjarasri dan Kedungbanteng, Kecamatan Tanggulangin, Sidoarjo, Jawa Timur, Minggu (16/2/2020), telah memasuki pertengahan bulan kedua. Kondisi itu diduga karena fenomena penurunan tanah, selain karena daya dukung lingkungan yang menurun akibat tingginya pencemaran sampah dan sedimentasi di sungai.
Pakar bencana dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya Amin Widodo mengatakan, genangan yang bertahan lama di Desa Banjarasri dan Kedungbanteng sebenarnya merupakan salah satu pertanda terjadinya fenomena penurunan tanah. Tanda lainnya adalah banyak rumah rusak. ”Kerusakan itu bisa beragam. Contohnya dinding rumah retak-retak dan pintu rumah bergeser sehingga sulit dibuka,” ujar Amin, Minggu.
Semua tanda fenomena penurunan tanah itu ditemukan di Desa Banjarasri dan Kedungbendo.
Tanda-tanda lainnya, kata Amin, adalah adanya perubahan aliran air permukaan. Semua tanda fenomena penurunan tanah itu ditemukan di Desa Banjarasri dan Kedungbendo. Dulu, desa ini tidak pernah banjir. Sepuluh tahun belakangan, desa ini mulai sering dilanda banjir, tetapi biasanya hanya berlangsung 2-3 hari dan cepat surut.
Fenomena penurunan tanah disebabkan oleh semburan lumpur Lapindo. Hal itu karena lokasi Desa Banjarasri dan Kedungbanteng berjarak sekitar 2 kilometer dari pusat semburan. Selain Desa Banjarasri dan Kedungbanteng, kawasan lain di sekitar pusat semburan yang mengalami penurunan tanah signifikan adalah Desa Pesawahan, Candi Pari, dan Jalan Raya Porong di Kecamatan Porong.
Pemerintah Provinsi Jatim meminta ITS mengkaji kelayakan permukiman di luar tanggul lumpur Lapindo pada 2010. Permintaan itu karena terjadinya penurunan tanah yang diikuti semburan gas dan lumpur sehingga merusak sejumlah infrastruktur penting. ”Hasil kajian saat itu menunjukkan kawasan di sekitar tanggul, terutama sisi utara dan barat laut, turun 2-8 sentimeter per tahun,” kata Amin.
Enam tahun kemudian, ITS kembali ditugasi oleh Gubernur Jatim mengkaji kelayakan pengeboran migas di kawasan Tanggulangin. Hasilnya, terjadi penurunan tanah yang signifikan dalam kurun waktu 2010-2016. Internal penurunan tanahnya sampai 50 sentimeter di titik-titik tertentu.
Tidak hanya itu, hasil kajian bawah permukaan tanah menunjukkan, penurunan tanah masih terus berlangsung. Diduga kuat, penurunan tanah ini merupakan proses yang dinamis di area sekitar pusat semburan lumpur yang masih aktif sampai sekarang.
Idealnya, pemerintah memantau secara rutin fenomena penurunan tanah ini di area yang berada dalam radius 6 km dari pusat semburan. Hasilnya menjadi patokan atau dasar penentuan kebijakan pembangunan di Sidoarjo. Hasil monitoring itu bisa juga menjadi bahan analisa potensi bencana sehingga kebijakan penanggulangan menjadi lebih tepat sasaran.
Pantauan di Desa Banjarasri dan Kedungbanteng, Minggu, genangan air yang sebelumnya 40-70 sentimeter meningkat menjadi 50-80 sentimeter. Genangan banjir itu merendam lebih dari 350 rumah warga yang dihuni ribuan jiwa.
Banjir juga menggenangi Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 Tanggulangin dan Sekolah Dasar Negeri Banjarasri. Pada hari sekolah, siswa belajar di tengah genangan air yang kotor. Kondisi itu diperparah akses air bersih yang terbatas karena sumur tercemar banjir.
”Beberapa warga mulai mengungsi karena banjir tidak surut-surut, bahkan meninggi. Sebelumnya mereka bertahan karena mengira banjir cepat teratasi. Kini, warga mulai frustrasi dan hanya bisa pasrah,” kata Khusnul (45), warga Banjarasri.
Jumlah warga yang terserang penyakit terus meningkat setiap hari karena terlalu lama terpapar genangan banjir.
Banjir yang menggenang selama satu setengah bulan menyebabkan lingkungan permukiman warga semakin buruk dan tidak sehat. Hal itu menyebabkan warga rentan terserang beragam penyakit. Kondisi itu diperparah oleh daya tahan tubuh warga yang mulai menurun karena beraktivitas di tengah genangan setiap hari.
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Sidoarjo Syaf Satriawarman mengatakan, jumlah warga yang terserang penyakit akibat banjir hingga Kamis (13/2/2020) setidaknya 275 orang. Jumlah warga yang terserang penyakit terus meningkat setiap hari karena terlalu lama terpapar genangan banjir. ”Kasus terbanyak gatal-gatal, disusul sakit kepala dan febris (demam). Kelompok mayoritas yang terserang gatal-gatal adalah anak-anak dan ibu-ibu,” ujarnya.
Dinkes Sidoarjo membuka posko kesehatan. Awalnya, posko itu memanfaatkan sebuah kantor koperasi unit desa di Desa Banjarasri. Namun, karena kantor itu juga kebanjiran, posko kemudian dipindah ke Desa Kedungbanteng. Selain menyediakan tenaga medis yang siap melayani korban banjir, juga disiapkan obat-obatan sesuai kebutuhan dengan stok yang cukup.
Sementara itu, upaya penanganan yang dilakukan oleh Pemkab Sidoarjo hingga saat ini belum berhasil mengatasi banjir. Baru-baru ini, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sidoarjo menyedot genangan menggunakan kendaraan pemadam kebakaran. Air kemudian dibuang ke sungai yang jauh dari lokasi banjir agar air tak kembali mengalir.
Namun, penyedotan yang dilakukan sejak pagi hingga malam belum berdampak signifikan. Genangan hanya surut 3 sentimeter. Itu pun tak bertahan lama sebab air kembali meninggi saat hujan mengguyur malam harinya.
Sementara itu, hujan deras yang mengguyur pada Jumat (14/2/2020) mengakibatkan Desa Pesawahan dan Candi Pari di Kecamatan Porong serta Jalan Raya Porong tergenang. Genangan di jalan nasional penghubung Sidoarjo-Pasuruan itu melumpuhkan lajur dari arah Sidoarjo ke Pasuruan. Sementara lajur arah sebaliknya, untuk lalu lintas dua arah itu pun hanya bisa dilalui kendaraan kecil dan roda dua.