525 Warga Terserang DBD di NTB, Satu Orang Meninggal
Masyarakat Nusa Tenggara Barat perlu meningkatkan upaya memberantasan nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor penyakit demam berdarah dengue. Tercatat sudah 525 warga terserang demam berdarah.
Oleh
KHAERUL ANWAR
·3 menit baca
MATARAM, KOMPAS — Masyarakat di Nusa Tenggara Barat perlu meningkatkan upaya pemberantasan nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor penyakit demam berdarah dengue. Hal itu mengingat selama Januari-pertengahan Februari 2020 tercatat 525 warga terserang demam berdarah. Dari total warga yang terserang demam berdarah, seorang di antaranya meninggal di Kota Bima.
”Iklim basah dengan intensitas hujan cukup lebat dan siklus yang tidak beraturan selama Januari-pertengahan Februari akan menimbulkan genangan air sebagai media yang memudahkan nyamuk Aedes aegypti berkembang,” kata Kepala Dinas Kesehatan Nusa Tenggara Barat Nurhandini Eka Dewi di Mataram, Senin (17/2/2020).
Oleh sebab itu, menjadi keharusan seluruh warga untuk memberantas nyamuk itu dengan gerakan 3M (menguras, mengubur, dan menutup) media penampung air di rumah dan lingkungan permukiman.
Yang harus diwaspadai adalah telur yang sudah diletakkan, bisa bertahan sangat lama, bisa setahun. Kalau sudah terkena air, telur itu menetas, yang membuat kita sangat sulit mengontrolnya. (Nurhandini)
Hingga pertengahan Februari 2020, demam berdarah dengue (DBD) menyerang 525 warga, seorang di antaranya meninggal. Angka itu lebih rendah dibandingkan dengan Januari-Desember 2019 yang mencapai 3.000 kasus. Tahun lalu, dari semua warga yang terkena DBD, 13 orang di antaranya meninggal dan didominasi anak-anak.
Karena itu, guna mengantisipasi munculnya kasus DB di tengah musim hujan saat ini, jajaran Dinas Kesehetan Nusa Tenggara Barat melakukan kontrol—merujuk hasil pemetaan—terhadap wilayah yang berpotensi sebagai tempat tumbuh kembangnya nyamuk Aedes aegypti. Pemantauan itu bertujuan melakukan tindakan pencegahan dengan pemberantasan sarang nyamuk seperti membersihkan rumah dan lingkungan dengan 3M.
Nurhandini mengatakan, nyamuk Aedes aegypti bisa hidup di musim kemarau dan musim hujan. Induk nyamuk Aedes aegypti bertelur secara terpisah. Telur itu terkadang diletakkan sekaligus di satu tempat atau tersebar di beberapa tempat. Telur dapat berkembang selama dua hari pada iklim hangat (musim kemarau) dan dalam waktu seminggu di daerah beriklim dingin (musim hujan).
”Yang harus diwaspadai adalah telur yang sudah diletakkan, bisa bertahan sangat lama, bisa setahun. Kalau sudah terkena air, telur itu menetas, yang membuat kita sangat sulit mengontrolnya,” ujar Nurhandini. Langkah antisipasi di antaranya dengan 3M, pengasapan, dan memberikan bubuk abate yang dapat membunuh jentik-jentik nyamuk.
Kepala Seksi Data dan Informasi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Stasiun Klimatologi Lombok Barat, Luhut Tri Uji Prayitno mengatakan, meski terjadi beberapa jeda pada dasarian I Februari 2020, hujan diprediksi mengguyur Nusa Tenggara Barat, dengan wilayah Pulau Lombok dan Sumbawa.
Hujan juga berlangsung hingga dasarian III Februari, yakni pada 23-24 Februari 2020. Kendati demikian, diperkirakan curah hujan terus berkurang pada awal Maret 2020 yang mulai memasuki kemarau. Sebelum musim kemarau, masyarakat diminta waspada karena di wilayah dataran rendah akan menimbulkan genangan air hujan yang bisa berpotensi menimbulkan sumber penyakit.
”Kami sudah mengingatkan Dinas Pertanian NTB dan Dinas Kesehatan NTB untuk waspada dan mengantisipasi dampak hujan terhadap kesehatan dan aktivitas bertani masyarakat,” tutur Luhur.
Tidak ada gejala
Seusai acara jumpa pers, Kepala Dinas Komunikasi, Informasi, dan Statistik Nusa Tenggara Barat I Putu Gede Aryadi mengutarakan pantauan mahasiswa penerima beasiswa yang melanjutkan pendidikan di beberapa kota di China yang berjumlah 29 orang.
Dari jumlah itu, 26 orang menjalani masa observasi di ruang Graha Mandalika Rumah Sakit Umum Provinsi Nusa Tenggara Barat, dan sisanya, tiga orang, di Pulau Natuna. Hasil pemantauan menyebutkan mereka sehat dan tidak ada gejala yang terjangkit virus corona (Covid-19).
Selama 11-16 Februari 2020, sembilan orang sudah dipulangkan setelah menjalani masa pematauan 14 hari, termasuk tiga orang yang menjalani observasi di Natuna. Pemulangan berikutnya bertahap, sebanyak 18 orang pada 18 Februari, dan 2 orang pada 21 Februari.
Mereka antara lain berasal dari Mataram, Lombok Barat, Lombok Timur, Kabupaten Sumbawa, dan Sumbawa Barat. Mahasiswa asal Nusa Tenggara Barat melanjutkan pendidikan di beberapa universitas di China seperti kota Beijing, Provinsi Jiangsu, dan Wuhan, Provinsi Hubei.