Menteri Janji Hidupkan Kembali Industri Perikanan Bitung
Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo berjanji menghidupkan kembali industri pengolahan dan pengalengan ikan di Kota Bitung, Sulawesi Utara, dengan menyelesaikan revisi 29 peraturan menteri.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MANADO, KOMPAS — Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo berjanji menghidupkan kembali industri pengolahan dan pengalengan ikan di Kota Bitung, Sulawesi Utara, dengan menyelesaikan revisi 29 peraturan menteri. Investasi asing dalam penangkapan ikan serta alih muatan di laut dipercaya dapat mendongkrak jumlah pasokan ikan ke industri pengolahan di Bitung.
Edhy memulai kunjungannya di Bitung, Senin (17/2/2020), dengan menggelar apel siaga bersama pasukan Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP). Ia juga menyambangi dua pabrik pengolahan dan pengalengan ikan serta menemui para pengusaha.
Birokrasi dan aturan-aturan yang ada memberatkan. Padahal, Bitung punya potensi industri perikanan yang luar biasa besar.
Salah satu pabrik yang dikunjungi, PT RD Pacific International, sudah tidak beraktivitas selama beberapa tahun terakhir. Penyebabnya, pasokan ikan jauh berkurang sejak penggunaan kapal asing dilarang seiring pelarangan alih muatan kapal di laut. Larangan itu tercantum dalam Peraturan Menteri Nomor 57 Tahun 2014 tentang Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.
”Birokrasi dan aturan-aturan yang ada memberatkan. Padahal, Bitung punya potensi industri perikanan yang luar biasa besar. Ini akan kami hidupkan lagi karena sektor ini bisa menjadi sumber devisa andalan negara,” kata Edhy.
Ikan tuna dan cakalang adalah produk perikanan andalan Bitung yang terletak di pesisir timur Sulut. Bitung pun menjadi rumah bagi 59 unit pengolahan ikan (UPI) dengan kapasitas produksi 1.440 ton per hari yang pasokannya dipenuhi oleh 2.000 kapal.
Meski demikian, utilisasi UPI terjun bebas dari 50,6 persen (728,6 ton) pada 2014 menjadi kisaran 20 persen (288 ton) saat ini. Pada 2016, penggunaan UPI bahkan anjlok ke 6,8 persen (97,92 ton).
PT RD Pacific International, sebuah perusahaan patungan (joint venture), merupakan salah satu yang terimbas. Lebih dari 1.000 pekerja diberhentikan. ”Masalah utamanya adalah bahan baku. Banyak investor (asing) mau masuk di bidang pengolahan, tetapi bagaimana mereka mau yakin kalau perusahaan yang sudah ada tidak diperhatikan?” kata Edhy.
Demi menambah pasokan ikan di Bitung, Edhy menyatakan telah menyederhanakan proses perizinan. Jika sebelumnya dibutuhkan waktu 3-6 bulan untuk mendapatkan surat izin penangkapan ikan (SIPI), kini hanya dibutuhkan 1 jam asalkan semua dokumen telah dilengkapi pengusaha, termasuk cek fisik kapal.
Revisi 29 peraturan menteri kelautan dan perikanan disebut akan menawarkan solusi. Salah satu aspek yang akan didorong adalah pembukaan investasi asing dalam bidang penangkapan ikan.
Menurut Edhy, kapal investor akan diperbolehkan beraktivitas di perairan Indonesia asalkan mempekerjakan nelayan dan anak buah kapal Indonesia. Jika investor menuruti peraturan yang berlaku, termasuk melengkapi surat-surat izin dan membayar pajak, tidak perlu ada yang dikhawatirkan.
Di samping itu, transshipment (alih muatan) di laut dari kapal pencari ikan ke kapal penampung juga akan diperbolehkan. Selama ini, alih muatan menjadi modus menghindari pajak. Namun, dalam konteks Bitung, alih muatan dapat mengefisienkan biaya produksi pengusaha perikanan karena ikan langsung dibawa ke pabrik di tepi laut.
”Akan ada laporan jumlah ikan yang didapat, jadi tidak perlu khawatir. Kalau perlu, kami akan minta petugas pajak ditugaskan di kapal tramper (penampung),” katanya.
Menurut Edhy, pelanggaran hukum akan terdeteksi melalui sistem pengawasan kapal (vessel monitoring system). Izin penangkapan ikan para pelaku usaha yang melanggar akan langsung dicabut.
Karena itu, Edhy meminta para pengusaha memberi waktu agar ia dapat menyelesaikan revisi 29 aturan tersebut. ”Sekarang sedang dikomunikasikan dengan para pemangku kepentingan. Hari ini finalisasi. Minggu ini, lah, sudah ada keputusan. Saya janji akan selesaikan,” ujarnya.
Wali Kota Bitung Maximilian Lomban menyambut baik rencana revisi aturan yang ditawarkan Edhy. Ia yakin, perikanan Bitung akan kembali bergairah jika perizinan dipermudah dan pelaku penangkapan ikan diperbanyak, termasuk yang bertonase di atas 30 gros ton (GT).
Tadinya, kami memasok ikan ke Muara Baru (Jakarta) dan Surabaya. Sekarang, kami malah harus beli ikan dari sana, bahkan impor.
”Regulasi yang lalu tidak sesuai dengan apa yang terjadi di Bitung. Apa yang dibuat Pak Edhy Prabowo akan jadi yang terbaik buat Bitung. Ini sangat penting karena 50 persen ekonomi Bitung bergantung pada perikanan,” katanya.
Pada 2014, pertumbuhan ekonomi Bitung 6,34 persen. Sejak Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 57/2014 diberlakukan, pertumbuhan ekonomi Bitung anjlok menjadi 3,58 persen. Pada 2018, baru pertumbuhan bisa kembali ke 6,7 persen. Max mengatakan, pertumbuhan ini ditopang sektor pariwisata.
”Tadinya, kami memasok ikan ke Muara Baru (Jakarta) dan Surabaya. Sekarang, kami malah harus beli ikan dari sana, bahkan impor. Kalau regulasi perikanan direvisi, saya yakin pertumbuhan ekonomi Bitung bisa melesat sampai 10-11 persen,” kata Max.
Junaedi Ang, pemilik pabrik pengalengan ikan PT Samudra Mandiri Sentosa, juga menyambut baik rencana revisi yang diwacanakan Edhy. Selama ini, produksi pabriknya menurun dari 50 ton per hari menjadi sekitar 30 ton. Jam kerja 1.000 pegawai pun terpaksa dibagi menjadi dua sif untuk menghindari pemutusan hubungan kerja.
”Dengan kebijakan yang baru, mudah-mudahan produksi kami bisa maksimal. Selama ini, pasokan kurang karena penangkapan ikan tidak lancar,” kata Junaedi.
Terkait nelayan tradisional, Sekretaris Daerah Bitung Audy Pangemanan mengatakan, jumlahnya memang jauh lebih banyak daripada nelayan yang dilengkapi alat tangkap modern. Namun, kebutuhan industri tetap harus dipenuhi kapal-kapal besar.
”Dalam sehari, nelayan tradisional paling-paling hanya bisa mengumpulkan 100 ton. Itu sudah paling banyak. Sampai kapan pun, nelayan tradisional tidak akan bisa memenuhi kebutuhan industri,” kata Audy.