Merawat Artefak, Mewariskan Nilai Luhur
Bung Karno, presiden pertama RI berpesan,"Bangsa besar adalah bangsa yang tidak melupakan sejarahnya". Di Desa Banyuwangi, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, warga membumikan pesan itu dengan merawat cagar budaya.
Bung Karno, Presiden pertama RI, pernah berpesan, ”Bangsa besar adalah bangsa yang tidak melupakan sejarahnya.” Di Desa Banyuwangi, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, warga membumikan pesan itu. Dengan dana desa, mereka merawat warisan purbakala, menanamkan nilai luhur kepada generasi muda.
Susunan batu alam di samping Balai Desa Banyuwangi itu sengaja dibuat menjadi semacam etalase bagi 13 batu kuno temuan warga. Batu-batu tersebut dilindungi oleh besi yang melengkung dan mengikatnya erat. Tepat di atasnya, terpasang kamera pemantau untuk memastikan batu-batu itu terjaga aman di lokasinya.
Sekretaris Desa Banyuwangi Abdul Choliq mengatakan, pembuatan panggung dan pemasangan kamera pemantau (CCTV) ini adalah upaya optimal yang bisa dilakukan untuk mengamankan benda-benda purbakala tersebut. ”Dengan ini, kami berusaha menjaga agar batu-batu kuno ini aman dan terhindar dari pencurian ataupun perusakan,” ujarnya, Senin (10/2/2020).
Sebanyak 13 benda cagar budaya (BCB) temuan warga tersebut terdiri dari tujuh yoni dan enam batu kuno. Pembuatan panggung dari batu alam tersebut menghabiskan dana sekitar Rp 20 juta, sedangkan untuk pembelian kamera CCTV sebesar Rp 2 juta. Keseluruhan dana tersebut diambilkan dari dana desa. Desa Banyuwangi berjarak sekitar 20 kilometer di utara Candi Borobudur.
Wilayah eks Karesidenan Kedu memang merupakan salah satu pusat peradaban pada masa Mataram Kuno sekitar abad ke-8. Semula, BCB itu ditemukan berserakan di berbagai tempat, antara lain sawah, ladang, tanah pekarangan, dan pemakaman.
Sekalipun tahu bahwa benda- benda tersebut adalah benda kuno dan peninggalan purbakala, warga tidak tahu apa yang harus dilakukan terhadap batu-batu tersebut. Selama lebih dari 20 tahun, sebagian besar batu dibiarkan di lokasi semula. Sebagian lain dibawa pulang oleh warga dan dibiarkan di rumah tanpa dirawat. Pada 2008, pemerintah desa bersama warga baru berinisiatif mengamankan temuan BCB di seluruh desa.
Dari upaya pengambilan dan pengumpulan tersebut, diketahui bahwa banyak artefak yang diusik. Sejumlah arca, seperti Lembu Nandini dan Ganesha, hilang tak berbekas. Sebagian juga dirusak dan wujudnya dipotong. Salah satu contohnya adalah yoni yang kini diamankan di balai desa, di mana bagian tepi yang biasanya ada bagian berukir seperti gagang cangkir, telah hilang menyisakan bekas potongan yang terlihat kasar.
Sebagian BCB ketika itu diketahui telah bergeser beberapa ratus meter dari lokasinya semula. Hal ini mengindikasikan ada yang ingin mencuri batuan tersebut. Kondisi itu mengagetkan warga dan Pemerintah Desa Banyuwangi. ”Saat itu juga, barulah kami sadar bahwa benda-benda ini harus secepatnya dilindungi,” ujarnya.
Dengan memanfaatkan kendaraan dan gotong royong warga, 13 batuan itu akhirnya dipindahkan ke balai desa. Karena terlalu berat dan posisinya dinilai sakral, satu yoni berukuran sangat besar diputuskan tidak dibawa dan tetap dibiarkan di lokasi. Adapun sejumlah BCB lain hingga kini masih didata.
Namun, karena belum ada tempat khusus, benda-benda kuno tersebut saat itu hanya dibiarkan menempati salah satu ruangan di balai desa. Hingga pada 2019, BCB harus dipindah karena balai desa direnovasi. Dari hasil diskusi bersama Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Magelang, Balai Peninggalan Purbakala, Pemerintah Desa Banyuwangi, bersama warga, akhirnya diputuskan bahwa BCB tersebut harus diletakkan di tempat tersendiri.
Dari hasil dialog, Pemerintah Desa Banyuwangi memutuskan mengambil sebagian anggaran dana desa untuk pembuatan bangunan panggung bagi 13 BCB tersebut. Setelah panggung jadi, sekitar dua pekan lalu, artefak-artefak itu pun dipindah dan disusun di atasnya. Selain melibatkan warga setempat, pemindahan juga dilakukan bersama Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jateng serta Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Magelang.
Penanganan BCB di Desa Banyuwangi tak berhenti di situ. Tahun depan, masih dengan dana desa, akan dipasang rantai pagar mengelilingi ke-13 batuan bersejarah itu.
Ikon desa
Kepala Desa Banyuwangi Asnawi mengatakan, selain aspek konservasi, benda-benda kuno ini diharapkan mampu menjadi ikon dan daya tarik baru kunjungan wisatawan ke Desa Banyuwangi. Di sisi lain, penyelamatan BCB ini diharapkan memberikan edukasi kepada masyarakat tentang sejarah desanya sendiri. ”Dengan memahami sejarah desa, warga diharapkan nantinya akan semakin bangga dan mencintai desanya sendiri,” ujarnya.
Penanganan terhadap BCB ini diharapkan juga mampu menyadarkan masyarakat untuk tidak berlaku sembarangan lagi dan dengan kesadaran sendiri, mau melaporkan setiap benda kuno yang ditemukan di lingkungannya. Kepala BPCB Jawa Tengah Sukronedi mengatakan, temuan di Desa Banyuwangi dipastikan merupakan peninggalan Kerajaan Mataram Kuno pada abad ke-9 atau ke-10.
Sukronedi mengapresiasi pemerintah desa setempat karena perawatan BCB, menurut dia, memang butuh keterlibatan banyak pihak. Tidak bisa hanya mengandalkan pemerintah. ”Kami juga tidak mungkin menangani semuanya karena kami punya keterbatasan tempat dan anggaran,” ujarnya. Oleh karena tersebar di banyak tempat hingga ke dusun-dusun dan kampung, keterlibatan dan inisiatif desa/kelurahan untuk mengurus serta ikut merawat temuan BCB sangat penting.
Jika saat ini BCB sudah ditangani dan diperhatikan dengan baik, pada masa lalu, banyak warga cenderung tidak peduli dan justru memanfaatkan BCB untuk hal-hal lain. Suroso (77), salah seorang warga Desa Banyuwangi, mengaku, pertama kali menemukan BCB pada awal tahun 2000. Saat itu, dia menemukan 10 batuan kuno. Satu batu berukuran besar, sedangkan sembilan lain agak kecil seukuran batu bata.
Namun, sembilan batu tersebut terlihat sudah tidak utuh dan lebih mirip potongan batuan. Batu-batu itu ditemukannya tergeletak di sebidang tanah di sebelah lahan tempatnya bercocok tanam. Karena memiliki bentuk unik, ia pun membawanya pulang. Namun, karena tak memiliki kendaraan ataupun alat, batu-batu tersebut dibawanya secara manual. ”Karena tidak kuat mengangkat, satu batu besar akhirnya saya guling-gulingkan hingga ke rumah,” ujarnya.
Jarak antara rumah dan lahan pertanian tempat Suroso bercocok tanam sekitar 1 kilometer. Semula, Suroso tidak memiliki tujuan untuk mencuri atau menjualnya. Dia membawa batu-batu itu pulang karena meyakini bisa dimanfaatkan untuk berbagai hal. Satu batu berukuran besar itu sempat dipakainya sebagai alas kompor. Adapun empat batu lain berukuran kecil kemudian dipecahnya dan dipakai sebagai fondasi rumah. Sementara lima batu lain hingga kini masih dibiarkannya di halaman rumah.
Minim edukasi
Suroso mengaku sama sekali tak tahu batu yang ditemukannya adalah peninggalan bersejarah. Belakangan, dia baru tahu kalau batu-batu kuno tersebut adalah peninggalan abad ke-9 setelah pihak Pemerintah Desa Banyuwangi meminta izin untuk menyimpan enam batu yang kini berada di rumahnya.
Ketidaktahuan warga sering kali membuat batu-batu kuno tidak diperlakukan semestinya. Asrofi, salah seorang perangkat Desa Banyuwangi, mengatakan, BCB sering kali ditemukan warga di tengah aktivitas mencangkul di lahan pertanian. ”Karena dianggap mengganggu dan membuat lahan sulit dicangkul, maka batu-batu itu disingkirkan dan diletakkan menjauh dari lahan,” ujarnya.
Karena ketidaktahuan tersebut, warga pun cenderung tidak peduli dan tidak memberi tahu temuannya kepada pemerintah desa setempat. Bukan hanya masyarakat, pemerintah daerah pun sering kali juga belum melakukan penanganan BCB secara tepat.
Kepala Seksi Sejarah dan Kepurbakalaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Magelang Y Toni Tri Handoko mengakui, di Kota Magelang terdapat banyak temuan cagar budaya, tetapi pihaknya belum banyak melakukan penanganan tepat. Hal ini karena Pemkot Magelang belum memiliki petunjuk teknis penanganan BCB. ”Kota Magelang memiliki perda (peraturan daerah) tentang cagar budaya.
Namun, tanpa ada juknis (petunjuk teknis) menyangkut BCB, kami pun belum bisa melakukan apa-apa,” ujarnya. Perda yang dimaksud adalah Perda Nomor 7 Tahun 2013 tentang Cagar Budaya di Kota Magelang. Kendati demikian, menurut Toni, pihaknya tetap berupaya mendata temuan-temuan BCB di masyarakat. Selain permukiman dan lahan pertanian, sejumlah temuan juga tersebar di lokasi pemakaman, kantor-kantor dinas, dan sejumlah gereja.
Karena tidak terurus dan tak diawasi, sebagian BCB ditemukan rusak. Satu temuan berupa arca Ganesha bahkan ditemukan di salah satu lokasi pemakaman dalam kondisi kepala terpenggal. Benda cagar budaya memang membutuhkan perhatian khusus, bahkan kadang pengorbanan. Jangan sampai dilihat hanya sebagai benda tak berfaedah karena di dalamnya terkandung sejarah bangsa. Peduli atau rangkaian sejarah akan hilang sama sekali.