Pemerintah Kabupaten Sidoarjo mempertimbangkan penetapan tanggap darurat bencana selama dua pekan. Penetapan itu terkait dengan banjir di Sidoarjo yang tak kunjung surut dua bulan terakhir.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI
·3 menit baca
SIDOARJO, KOMPAS — Banjir yang tak kunjung surut selama hampir dua bulan di Desa Banjarasri dan Kedungbanteng tidak hanya memperburuk derajat kesehatan masyarakat, tetapi juga mengganggu aktivitas pendidikan, serta mulai memicu konflik sosial. Pemerintah Kabupaten Sidoarjo mempertimbangkan penetapan tanggap darurat bencana selama dua pekan.
Pelaksana Tugas Bupati Sidoarjo Nur Achmad Syaifuddin mengatakan, alasan penetapan tanggap darurat bencana tidak lain agar penanganan banjir bisa dilakukan lebih maksimal dan komprehensif dengan melibatkan seluruh instansi pemangku kepentingan. Selain itu, penanganan juga akan mendapat dukungan pendanaan maksimal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pos dana Belanja Tak Terduga (BTT).
”Hal itu karena penanganan yang dilakukan pemkab selama ini belum berdampak signifikan sehingga belum mampu mengatasi bencana. Kondisi banjir justru semakin parah,” ujar Nur Achmad di Sidoarjo, Senin (17/2/2020).
Penetapan status tanggap darurat bencana ini merupakan solusi jangka pendek mengatasi banjir yang telah berlangsung sejak awal tahun. Penetapan itu didasarkan pada hasil rapat koordinasi lintas instansi di Pendopo Delta Wibawa. Rapat dihadiri BPBD Sidoarjo, Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga dan Sumber Daya Air Sidoarjo, Dinas Pendidikan Sidoarjo, Dinas Kesehatan Sidoarjo, BPBD Provinsi Jatim, BMKG Juanda, Camat Tanggulangin, dan Pelaksana Tugas Kepala Desa Banjarasri serta Kedungbanteng.
Kepala Dinkes Sidoarjo Syaf Satriawarman mengatakan, jumlah warga yang terserang penyakit akibat banjir terus meningkat. Saat ini tercatat jumlahnya mencapai 321 orang. Pekan lalu, jumlahnya masih 275 orang. Mayoritas yang sakit adalah anak-anak dan ibu-ibu karena paling sering terendam banjir.
Dari 321 orang yang sakit itu, mayoritas penyakit gatal-gatal, yakni 137 orang. Yang menyedihkan, para penderita gatal-gatal ini sulit sembuh karena terkena air terus-menerus. Anak-anak banyak yang kakinya sampai mengelupas.
”Yang dikhawatirkan, kondisi luka (kaki mengelupas) itu rentan infeksi karena bersentuhan dengan air yang kondisinya kotor. Air banjir telah tercemar limbah manusia karena tangki septik yang merembes,” kata Syaf Satriawarman.
Wakil Ketua Badan Permusyawaratan Desa Banjarasri Masruchan mengatakan, di wilayahnya, jumlah warga terdampak banjir mencapai 345 keluarga atau sekitar 1.380 jiwa. Sementara di Desa Kedungbanteng, jumlahnya sekitar 210 keluarga atau 800 jiwa. Sebagian warga mulai mengungsi ke rumah kerabat terdekat karena banjir tak kunjung teratasi.
Mereka yang mengungsi rata-rata ibu-ibu dan anak-anak. Sementara bapak-bapak tetap tinggal di rumah menjaga perabotan dan merawat barang-barang yang terendam banjir. Warga yang bekerja di sawah kehilangan pekerjaan karena sawahnya terendam, padahal mereka baru memulai musim tanam.
Selain kesehatan, banjir juga berdampak pada kegiatan pendidikan. Ada tiga sekolah yang terendam, yakni SMPN 2 Tanggulangin, SDN Banjarasri, dan Taman Kanak-kanak Dharmawanita Banjarasri. Aktivitas pendidikan di TK bahkan lumpuh total karena genangan yang tinggi.
”Warga korban banjir sudah tidak tahan. Sementara kami dari pemerintah desa tidak bisa berbuat apa-apa. Kami menjadi sasaran kemarahan warga terus-menerus,” ujar Pelaksana Tugas Kepala Desa Kedungbanteng Yasin.
Warga korban banjir sudah tidak tahan. Sementara kami dari pemerintah desa tidak bisa berbuat apa-apa. Kami menjadi sasaran kemarahan warga terus-menerus.
Mengacu pada hasil rapat koordinasi tersebut, aliran air di daerah Tanggulangin dan Porong menjadi semrawut sejak ada semburan lumpur Lapindo yang berimplikasi pada dibangunnya tanggul kolam penampungan. Luas kolam penampungan ini mencapai 675 hektar.
”Infrastruktur yang mengalirkan air di kawasan itu banyak yang terdampak pembangunan tanggul sehingga aliran air menjadi semrawut. Ditambah lagi, menurut ahli, ada penurunan tanah,” kata Nur Achmad.
Pada saat yang sama, terjadi alih fungsi lahan dari sawah menjadi permukiman di desa-desa sekitar tanggul lumpur dan pembangunan fasilitas pengeboran migas milik Minarak Gas Brantas yang baru di Desa Kedungbanteng. Alih fungsi lahan itu turut berkontribusi memicu banjir karena menyebabkan berkurangnya area resapan air sehingga keseimbangan lingkungan terganggu.