Surabaya Buat Aplikasi Khusus UMKM dan Toko Kelontong
Pemkot Surabaya mengembangkan aplikasi untuk memasarkan produk-produk dari pelaku UMKM dan toko kelontong. Aplikasi dibuat oleh ”start-up” teknologi dari Surabaya dan melibatkan Bank Jatim dalam sistem pembayaran.
Oleh
IQBAL BASYARI
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Pemerintah Kota Surabaya, Jawa Timur, mengembangkan aplikasi untuk memasarkan produk-produk dari pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah, serta toko kelontong. Aplikasi akan dibuat oleh start-up teknologi dari Surabaya dan melibatkan Bank Jatim dalam sistem pembayaran.
”Sebetulnya bisa saja kami menggandeng aplikasi atau bank lainnya, tetapi saya ingin semua dilakukan oleh orang-orang Surabaya karena mereka mampu. Kalau kerja sama dengan Bank Jatim, agar perputaran uangnya tetap di Surabaya atau maksimal di Jatim,” kata Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini di Surabaya, Senin (17/2/2020).
Aplikasi yang akan dibuat seperti e-dagang yang sudah ada di Indonesia, antara lain Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee. Namun, aplikasi itu nantinya memiliki fitur layanan pengantaran dan pembayaran yang melibatkan Bank Jatim. Aplikasi bisa diunduh di gawai dengan sistem operasi Android.
Sebetulnya bisa saja kami menggandeng aplikasi atau bank lainnya, tetapi saya ingin semua dilakukan oleh orang-orang Surabaya karena mereka mampu. Kalau kerja sama dengan Bank Jatim, agar perputaran uangnya tetap di Surabaya atau maksimal di Jatim. (Tri Rismaharini)
Keberadaan aplikasi tersebut diharapkan dapat meningkatkan omzet para pelaku UMKM dan toko kelontong. Konsumen akan dimudahkan dalam mencari produk UMKM khas Surabaya maupun kebutuhan pokok lainnya tanpa harus menuju lokasi penjualnya.
UMKM dan toko kelontong di Surabaya, menurut Risma, memiliki potensi yang cukup besar. Beberapa di antaranya, seperti Diah Cookies, Selendang Semanggi, dan Kacang Tree-G, memiliki konsumen tidak hanya dari Surabaya, tetapi juga dari daerah-daerah lain di luar kota. Beberapa di antaranya juga sudah bergabung dengan e-dagang dan perusahaan transportasi untuk pengiriman barang.
”Pemasaran secara digital perlu dilakukan agar mereka bisa bersaing dengan industri besar, terutama di era disrupsi teknologi. Kondisi ini membuat perilaku konsumen selalu ingin kemudahan,” ujar Risma.
Usaha rintisan
Agar rencana ini segera terwujud, Pemkot Surabaya akan berkoordinasi dengan sejumlah startup teknologi yang bermarkas di Koridor Co-Working Space. Di tempat tersebut ada beberapa start-up binaan Pemkot Surabaya yang sudah diakui keberadaannya dan memberikan dampak sosial, seperti Riliv dan Redblood.
Kepala Dinas Perdagangan Kota Surabaya Wiwiek Widayati menambahkan, harga-harga barang di toko kelontong di Surabaya lebih murah dibandingkan supermarket ataupun minimarket berjejaring. Sebab, para pelaku toko kelontong mampu mendapatkan barang kulakan dengan harga lebih murah melalui koperasi.
Para pedagang membeli secara bersama-sama dalam jumlah besar agar mendapatkan harga lebih murah dari agen dan distributor. Barang kulakan tersebut kemudian dibagi kepada para anggota koperasi yang memesan secara bersamaan.
”Sejak berdiri pada 2017, ada lebih dari 250 toko kelontong yang menjadi anggotanya dengan omzet koperasi lebih dari Rp 60 juta per bulan,” ujar Wiwiek.
Dengan adanya aplikasi yang memuat barang dagangan tersebut, konsumen akan lebih merasakan perbedaan harga antara toko kelontong dan toko-toko yang lain. Konsumen semakin diuntungkan dan dimudahkan, di sisi lain para pedagang bisa menjangkau pasar yang lebih luas.
Direktur Keuangan Bank Jatim Ferdian Timur Satyagraha menegaskan komitmennya untuk mendukung program tersebut. Bank Jatim siap menjadi mitra aplikasi buatan Pemkot Surabaya sebagai bentuk dukungan kepada UMKM di Surabaya.
”Sebagai bagian dari Kota Surabaya, kami ingin berkontribusi membangun start-up lokal dan pelaku usaha tumbuh lebih baik,” ujarnya.