Konflik ruang di wilayah Sulawesi Tenggara ditengarai menjadi penyebab semakin tingginya intensitas kemunculan dan serangan buaya.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·3 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Seekor buaya ditangkap yang warga di Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, diserahkan ke Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sultra. Buaya tersebut ditangkarkan terlebih dulu sebelum dilepasliarkan jika kondisi buaya telah memungkinkan.
Seekor buaya muara ditangkap oleh warga di Desa Tapuwatu, Asera, Konawe Utara, Minggu (16/2/2020) sore. Buaya tersebut ditangkap warga setelah berusaha naik ke perahu yang dipakai warga mencari ikan.
Rustam (52), warga Tapuwatu, mengatakan, dirinya sedang berada di tepi Sungai Lasolo ketika sejumlah warga yang mencari ikan berteriak menemukan buaya. Buaya tersebut dalam kondisi pingsan setelah disetrum oleh para penangkap ikan.
”Mereka sedang mencari ikan dengan memakai setrum ketika seekor buaya mendekat ke perahu yang mereka pakai. Awalnya mereka juga tidak ingin mengganggu. Tetapi, karena buaya berusaha naik ke perahu, mereka bertahan dengan menyetrum buaya hingga pingsan,” kata Rustam dihubungi dari Kendari, Sulawesi Tenggara, Selasa (18/2).
Buaya tersebut, tutur Rustam, lalu diikat dan diamankan. Warga khawatir buaya semakin agresif dan membahayakan warga sekitar.
Selama ini, Rustam melanjutkan, warga tidak pernah berkonflik dengan buaya sebab buaya dianggap hewan yang dihargai dan tidak boleh diganggu. Warga hanya mencari ikan di tepian sungai atau kerang untuk dikonsumsi.
”Setelah banjir bandang tahun lalu, buaya semakin sering muncul. Kami juga jadi resah takut jadi korban,” tutur Rustam.
Banjir bandang pada Juni 2019 memang melanda kawasan Konawe Utara. Ratusan rumah di Desa Tapuwatu hilang tidak berbekas. Desa Tapuwatu yang bersebelahan dengan Sungai Lasono ini dekat dengan kebun sawit dan daerah pertambangan di hulu sungai.
Kejadian munculnya buaya di wilayah Konawe Utara memang terus terjadi. Pada Desember 2019 terjadi tiga kasus serangan buaya. Dua orang meninggal dunia dan seorang warga terluka. Tidal hanya di wilayah ini, serangan buaya juga terjadi di sejumlah daerah lain. Terakhir, pekan lalu, seorang pelajar menjadi korban serangan buaya di Konawe Selatan hingga meninggal dunia.
Kepala Seksi Konservasi Wilayah II BKSDA Sultra La Ode Kaida mengatakan, pihaknya telah mengambil buaya yang ditemukan warga dan telah dibawa ke penangkaran. Buaya akan dirawat terlebih dulu sebelum diambil tindakan selanjutnya.
”Selanjutnya, rencananya akan dilepasliarkan. Tapi, kami koordinasi dulu dengan Taman Nasional Rawa Aopa karena habitat buaya tersebut adalah buaya muara,” ucap Kaida.
Kaida melanjutkan, buaya yang ditemukan berjenis kelamin laki-laki dengan panjang 3,5 meter. Buaya tersebut agresif dan membahayakan karena gerakan lincah dan lebih dinamis bergerak di air.
Buaya yang agresif belakangan ini, tambah Kaida, kemungkinan terjadi karena habitat yang terganggu. Ruang hidup buaya hilang dan makanan yang berkurang membuat buaya menyerang manusia.
”Kami masih pelajari laku agresif buaya selama ini. Untuk antisipasi, kami memasang plang penanda agar masyarakat waspada di tempat-tempat yang sering menjadi tempat munculnya buaya,” ujar Kaida.
Konflik ruang di wilayah Sultra ditengarai menjadi penyebab semakin tingginya intensitas kemunculan dan serangan buaya. Banjir dan sungai yang rusak akibat sedimentasi serta pencemaran dari pertambangan dan industri perkebunan skala besar membuat makanan buaya semakin menipis, bahkan hilang di sungai.