1.237 Hektar Sawah Tadah Hujan di Aceh Besar Telantar
Para petani di Aceh Besar, Provinsi Aceh, setahun terakhir tidak bisa menanam padi. Kekeringan panjang menyebabkan sedikitnya 1.237 hektar sawah tadah hujan di kabupaten tersebut telantar.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
JANTHO, KOMPAS — Kekeringan panjang menyebabkan sedikitnya 1.237 hektar sawah tadah hujan di Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh, tak dapat ditanami setahun terakhir. Kondisi itu memukul ekonomi para petani yang kehilangan sumber pendapatan utama. Mereka mencari penghasilan lain dengan bekerja serabutan, seperti menjadi pekerja bangunan.
Sawah tadah hujan yang paling terdampak kekeringan panjang ada di Kecamatan Peukan Bada dan Lhoknga. Di Lhoknga, luas lahan yang tidak bisa ditanami sekitar 627 hektar (ha) dan di Peukan Bada 610 ha. Sebagian kecil petani tetap menanam padi, tetapi terancam gagal panen.
”Semua lahan sawah di Kecamatan Lhoknga termasuk tadah hujan. Saat ini ada 627 hektar sawah tadah hujan di musim rendeng tidak bisa ditanam,” kata Koordinator Balai Penyuluh Pertanian Lhoknga, Fatiahani, saat dihubungi Rabu (19/2/2020).
Koordinator Balai Penyuluh Pertanian Peukan Bada Faisal juga mengatakan hal sama. Menurut dia, sawah di Kecamatan Peukan Bada jenisnya lahan tadah hujan karena sumber mata air sedikit sehingga ketika musim kemarau panjang aktivitas tanam terganggu.
Akibatnya, kondisi ekonomi petani sawah di dua kecamatan itu terpukul. Syarifuddin (60), petani di Desa Mon Cut, Kecamatan Lhoknga, yang memiliki sawah seluas 5.000 meter persegi mengatakan, tahun lalu, sekali panen dia memperoleh 3 ton gabah kering. Sebagian hasil panen dijual dan sebagian disimpan untuk kebutuhan konsumsi.
Namun, kini dia tidak memiliki cadangan beras karena semua sisa panen telah habis dikonsumsi. ”Sudah lima bulan saya beli beras. Padahal, tahun-tahun sebelumnya cukup dari sawah sendiri,” kata Syarifuddin.
Sudah lima bulan saya beli beras. Padahal tahun-tahun sebelumnya cukup dari sawah sendiri.
Saat ditemui pada Selasa (18/2/2020), Syarifuddin bersama warga lainnya sesama petani sedang duduk di balai desa dekat lahan persawahan. Dia menunjukkan lahan sawah yang kini telah ditumbuhi rumput dan ilalang. Hamparan sawah itu telah setahun tidak bisa digarap karena kekurangan air.
Dengan kondisi kekeringan seperti itu, tanaman muda atau palawijaya pun tidak bisa ditanam. ”Sekarang kami menganggur, kalau ada proyek desa (kegiatan dana desa) baru ada pemasukan,” kata Syarifuddin.
Kepala Mukim Lampageu, Kecamatan Peukan Bada, Teuku Darmawan mengatakan, kekeringan mengakibatkan warga di Lampageu tidak bisa menggarap sawahnya. Dia khawatir ekonomi warga kian terpuruk lantaran tidak bisa menggarap sawah dan menggarap kebun.
”Kami tidak bisa garap sawah dan tidak bisa menanam cabai. Bahkan, pada April 2019 kami pernah gagal panen karena kekurangan air,” kata Darmawan.
Kepala Dinas Pertanian Aceh Besar Azhar mengungkapkan, kekeringan panjang akibat anomali cuaca berdampak serius terhadap aktivitas pertanian di kabupaten itu. Dari 25.853 ha yang telah ditanami, seluas 3.956 ha berpotensi mengalami penurunan kualitas panen dan 3.031 hektar terancam puso.
”Kekeringan di Aceh Besar disebabkan anomali iklim. Seharusnya musim tanam ini (rendengan), sawah cukup mendapatkan air, baik dari irigasi maupun curah hujan,” kata Azhar.
Pemkab Aceh Besar meminta pasokan benih cadangan dari Dinas Pertanian Provinsi Aceh sebanyak 69.475 kilogram untuk disalurkan kepada petani yang terdampak kekeringan. Menurut Azhar, kekeringan merupakan bencana alam sehingga petani harus dibantu benih.