Nasib Lengger Banyumas Kini
Tarian lengger memiliki filosofi kehidupan yang dekat dengan alam. Misalnya dari sisi syair, musik, dan gerakan tariannya. Ada juga gerakan entrakan (mengentak yang menyimbolkan) hubungan vertikal dan horizontal.
Jemari Samiyati (27) lincah mengiris lembaran kulit kayu, menatanya per bagian, lalu menempelkannya dengan perekat. Sambil sesekali menunduk, kalung berbandul emasnya menggelayut di dada. Anting-antingnya pun berkilauan bergelantungan di kedua daun telinga.
Mantan penari lengger itu kini mengisi hari dengan bekerja sebagai buruh kulit kayu. ”Per lembarnya dapat upah Rp 1.100. Kalau sehari paling banyak bisa dapat 1 ikat atau 10 lembar. Nanti diambil orang untuk dibawa ke pabrik kayu buat bahan kalsiboard,” kata Samiyati, di Desa Gerduren, Kecamatan Purwojati, Banyumas, Jawa Tengah, Senin (27/1/2020).
Samiyati gemar menari dan tampil sebagai penari lengger banyumasan sejak berusia 12 tahun. Kala itu, dia belajar menari dari kakak perempuannya, yang juga penari lengger. Perempuan lulusan sekolah menengah pertama itu sudah sering tampil di sekitar Banyumas, bahkan beberapa kali tampil di Jakarta dan Yogyakarta.
Sebenarnya tanggapan masih ada, tetapi tidak ada penerusnya. Anak sekarang jarang yang minat jadi lengger.
Begitu menikah dan memiliki seorang anak, Samiyati memilih meninggalkan dunia perlenggeran. ”Saya sudah berhenti jadi lengger sekitar 2012 sebelum menikah. Lalu, sudah punya anak dan tidak bisa ditinggal,” tuturnya. Menurut Samiyati, dulu, sekali tampil menari lengger untuk durasi 2-3 jam, dirinya bisa mendapat honor Rp 200.000 sampai Rp 300.000. Jika jaraknya jauh dan pemilik hajat berbaik hati, uang yang diterima bisa sampai Rp 500.000.
”Sebenarnya tanggapan masih ada, tetapi tidak ada penerusnya. Anak sekarang jarang yang minat jadi lengger,” ujarnya. Masih di Gerduren, Warsiyah (63), juga mantan penari lengger, berhenti karena faktor usia. Dia sudah pentas lengger sejak usia 14 tahun dan berhenti sekitar 1998. ”Saya sudah tua, malu menari di panggung. Waktu itu ada penerusnya yang lebih muda,” ujarnya.
Warsiyah kini hidup bersama ayahnya, Tamiarji (86), yang sehari-hari membuat calung dan bongkel, alat musik tradisional banyumasan dari bambu. Suami Warsiyah telah meninggal dunia, sedangkan dirinya tidak dikaruniai keturunan. Warsiyah menyambung hidup dengan menjadi pesinden dalam acara-acara kesenian lain, seperti pentas wayang dan ebeg atau kuda lumping.
Ia merasa prihatin karena tidak ada penerus penari lengger di desanya. ”Saya sebenarnya kadang merasa sayang karena kesenian di Gerduren itu sejak zaman dulu istilahnya genting tanpa pedhot. Artinya, jangan sampai terputus, selalu ada penerusnya,” katanya.
Sementara di Desa Pegalongan, Kecamatan Patikraja, Banyumas, Narsihati (54), penari lengger juga, mengeluhkan minimnya undangan manggung dari masyarakat dan pemerintah supaya dapat melestarikan kesenian ini. ”Sejak organ tunggal masuk desa, makin jarang yang nanggap lengger,” ujar Narsihati.
Menurut Narsihati, idealnya seorang penari lengger juga sekaligus penyinden atau bisa menyanyi seperti dirinya. Namun, saat ini yang terjadi adalah seorang lengger hanya bisa menari. ”Yang asli disebut lengger, tetapi kalau yang hanya bisa menari disebut lenggeran,” ujarnya.
Bersama suaminya, Suchedi (59), Narsihati mendirikan sanggar seni Ngudi Luwesing Salira. Meski masih tetap melayani sajian pementasan lengger, sanggar ini kini berfokus pada latihan karawitan atau gendhing gamelan. Darah seni Narsihati diturunkan kepada ketiga anaknya yang juga bisa menari.
Organ lengger
Seiring perkembangan zaman, kesenian lengger pun ikut beradaptasi. Faktor usia dan kecantikan setiap lengger menjadi tantangan. Dari sisi personel, pengiring lengger pun mengalami penyesuaian. Tetabuhan calung alat musik tradisional dari bambu yang semula melibatkan 10-15 orang kini bisa ”diringkas” dalam satu alat musik organ. Maka, lahirlah orleng, organ lengger.
Ragil Pardianto (37), penari lengger lanang atau laki-laki dari Bukateja, Purbalingga, misalnya, melakoni pementasan organ lengger sesuai kemampuan dana pemilik hajat. Jika menggunakan calung secara lengkap, biaya pementasan untuk durasi 3-4 jam bisa mencapai Rp 6 juta. Namun, jika menggunakan organ lengger, biayanya hanya Rp 3 juta. Organ lengger ini terdiri dari dua penari, seorang pemain organ, seorang penabuh kendang, dan satu atau dua penyinden.
Sabtu (1/2/2020), Ragil pentas pada acara pernikahan Sri Lestari (20) dan Diki Topan (22) di Desa Kedawung, Susukan, Banjarnegara. Ragil yang punya nama panggung Bowie Anjani Putri tampil menari lengger lanang bersama Yance (45). Tarian mereka diiringi lagu ”Ricik-ricik Sekar Gadung” dengan tabuhan kendang serta musik calung yang bertalu-talu dari organ. Tentu saja, hiburan ini diselingi dengan nyanyian dangdut yang populer.
Ragil tampil profesional di atas panggung. Rias wajahnya menawan. Kostum pun lengkap mulai dari kemben, selendang, hingga jarit. Ragil tidak hanya pentas lengger lanang. Dengan Ragil Kinara Rias, dia juga menjadi penata rias bagi kedua pengantin serta keluarganya. Minatnya pada dunia seni, lengger, dan rias pengantin lahir dari keluarga besarnya. ”Ayah saya dalang lengger dan kakak perempuan saya penari lengger,” kata Ragil.
Demikian pula dengan Gatot (49), penari lengger lanang dari Rawalo, Banyumas, juga berkeluarga dan memiliki anak serta melakoni usaha rias pengantin sekaligus pementasan organ lengger. ”Saya sudah sejak kecil suka menari. Dulu awalnya main di ebeg, tetapi kemudian menari lengger. Sekarang zamannya orleng karena lebih praktis,” kata Gatot.
Penari lengger lanang, Rianto, mengatakan, tantangan khusus bagi pelestarian lengger lanang ada dalam pemikiran masyarakat. Rianto menyampaikan, lengger merupakan suatu peleburan sisi maskulin dan feminin dari manusia. ”Saya yakin setiap tubuh manusia memiliki unsur feminin dan maskulin. Cara saya mengekspresikannya adalah melalui kesenian lengger ini,” ujarnya.
Menurut Rianto, tarian lengger juga memiliki filosofi kehidupan yang dekat dengan alam. Misalnya dari sisi syair, musik, dan gerakan tariannya. ”Misalnya gerakan ikan yang ada di sungai atau kolam. Dia bergerak megal-megol (melenggak-lenggok), dalam lengger itu ada dalam gerakan keweran. Tubuhnya itu meliuk-liuk dan maju mundur. Ada juga gerakan kosekan atau menggilas padi, entrakan (mengentak yang menyimbolkan) hubungan vertikal dan horizontal. Kita sebagai manusia harus membumi,” tuturnya.
Para seniman berharap pemerintah membuatkan wadah untuk mengakomodasi lengger lanang. ”Kesenian ini harus punya wadah sebagai kesenian dan warisan budaya leluhur masyarakat Banyumas. Masyarakat juga harus bangga dengan kesenian ini. Saya berharap di Banyumas ada rumah lengger atau museum lengger,” katanya.
Sosok Dewi Sri
Penulis novel Ronggeng Dukuh Paruk, Ahmad Tohari, menyebutkan, lengger atau ronggeng berakar pada ritus para petani pada masa lalu ketika mereka membutuhkan figur atau sosok dari Dewi Sri, dewi kesuburan. ”Pada awalnya, ronggeng adalah tarian sakral, semacam penghormatan kepada dewi kesuburan. Bagi masyarakat tani, kesuburan begitu dipuja. Dalam perkembangan selanjutnya, ronggeng atau lengger menjadi tarian biasa, bahkan dikomersialkan,” papar Ahmad.
Dalam buku Banyumas: Wisata dan Budaya karya M Koderi dan disunting Ahmad Tohari (1991), calung atau lengger calung adalah tari-tarian gambyong yang diiringi gamelan bambu dengan gamelan banyumasan. Oleh karena itu, ada pula yang menyebutnya dengan gambyong banyumasan. Tarian ini mempunyai dasar tari Bedhaya Serimpi yang diramu dengan tari golek dan iringan lagu banyumasan. Gerak tarinya tampak lebih lincah.
Pengajar Budaya dan Kearifan Lokal Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Rawuh Edy Priyono, mengatakan, organ lengger menjadi salah satu cara seniman bertahan serta bentuk adaptasi dari perubahan zaman. ”Ini bentuk adaptasi seniman terhadap perubahan zaman. Orang sekarang lebih suka yang simpel dan praktis,” kata Rawuh.
Untuk melestarikan kesenian ini, lanjut Rawuh, pemerintah bisa menggelar lengger secara rutin, misalnya sebulan sekali, supaya masyarakat kian menyadari keberadaan kesenian ini di Banyumas. ”Selain sebagai hiburan dan tontonan, lengger juga mengandung tuntunan. Ada nilai-nilai kearifan lokal, terutama corak agraris, yang terkandung dalam kesenian ini. Melalui seni, anak bisa menyadari keberadaannya dengan lingkungan sekitar, sesama, dan juga dengan ’yang di atas’,” ujarnya.
Kepala Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan, dan Pariwisata Kabupaten Banyumas Azis Kusumandani menyampaikan, pemerintah kabupaten telah mengusulkan lengger kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sehingga mendapatkan pengakuan sertifikat warisan budaya tak benda. ”Ini bentuk kepedulian dari pemerintah. Artinya, lengger ini milik Kabupaten Banyumas. Yang kedua, di setiap pergelaran, kami tampilkan lengger. Misalnya, tahun lalu, ditampilkan di Borobudur,” kata Azis.
Meski demikian, Azis mengatakan, pihaknya belum memiliki data berapa banyak seniman atau kelompok lengger di Banyumas. Seniman lengger masa kini bertahan dengan caranya masing-masing. Ada yang mengikuti dan berenang mengikuti arus zaman, ada pula yang memilih keluar serta pensiun dari dunia seni lengger.
Suara calung yang bertalu-talu saat ini makin jarang ditabuh langsung oleh para penabuh atau niyaga, tetapi keluar dari alat musik elektronik berupa organ. Organ tunggal telah kawin dengan kesenian lengger dan melahirkan orleng. Dalam apa pun bentuknya, lenggak-lenggok penari lengger serta merdunya tetabuhan calung tidak bisa dipisahkan. Kiranya Srintil (tokoh penari dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk) bisa terus menari dan lengger kian lestari.