Pengacara Menilai Tuntutan Jaksa pada Kasus Mutilasi Malang Imajinatif
Kuasa hukum terdakwa kasus mutilasi di Malang menilai dakwaan jaksa penuntut umum tidak berdasar fakta persidangan. Mereka minta terdakwa dibebaskan.
Oleh
DAHLIA IRAWATI
·5 menit baca
MALANG, KOMPAS — Kuasa hukum terdakwa kasus dugaan pembunuhan dan mutilasi seorang perempuan di lantai atas Pasar Besar Malang, Jawa Timur, dinilai fiksi dan imajinatif. Tuntutan dinilai tidak berdasar alat bukti dan fakta persidangan. Untuk itu, terdakwa diminta dibebaskan dan dipulihkan nama baiknya.
Pernyataan itu merupakan inti dari pembelaan kuasa hukum Sugeng Santoso (50), terdakwa kasus pembunuhan dan mutilasi di Malang pada Mei 2019. Kuasa hukum Sugeng terdiri atas 10 orang dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Peradi Malang Raya.
Pembelaan untuk Sugeng tersebut diberi judul ”Pembuktian Tak Pernah Usai”, sebagaimana celetukan Sugeng saat sidang putusan sela sebelumnya. Pembelaan itu untuk menjawab tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) yang menuntut Sugeng penjara seumur hidup karena dinilai melanggar Pasal 338 KUHP (dengan sengaja membunuh) dan 340 KUHP (pembunuhan berencana) terhadap korban Mrs X.
”Pada prinsipnya, jaksa gagal membuktikan dakwaannya. Pembuktiannya ada dalam surat tuntutan. Tapi, dalam surat tuntutan, semuanya tidak berdasar fakta persidangan. Yang saya bilang tadi di persidangan jaksa membuat surat tuntutan berdasarkan cerita fiksi dan imajinatif,” kata Ketua Tim Kuasa Hukum Sugeng dari LBH Peradi Malang Raya Iwan Kuswardi, Rabu (19/2/2020), seusai sidang. Sidang digelar pukul 15.45 dan selesai pukul 17.00.
Iwan menyebut bahwa tuntutan JPU tidak bisa dinalar hukum dan didasarkan imajinasi. ”Surat tuntutan tidak lebih dari cerita fiksi dan menunjukkan inkonsistensi. Inkonsistensi ini mengingatkan kami pada celetukan Sugeng yang diucapkannya pada putusan sela bahwa pembuktian tak akan pernah selesai. Itu kalimat satir Sugeng kepada penuntut umum. Sugeng tampaknya punya intuisi jika penuntut akan gagal menemukan bukti atau membuktikan dakwaan,” paparnya.
Beberapa hal disoroti tim kuasa hukum terkait dengan tuntutan JPU. Tuntutan JPU dinilai mengabaikan fakta persidangan, utamanya mengabaikan hasil visum ahli forensik Rumah Sakit Saiful Anwar (RSSA). Hasil visum menyebut bahwa penyebab kematian korban tidak bisa disimpulkan karena jenazah sudah mengalami pembusukan lanjut. Visum juga menyebut jenazah terpotong dengan luka iris postmortem atau pasca-kematian sebanyak enam bagian.
”Namun, dalam tuntutan, JPU justru membuat cerita imajinatif dan manipulatif. JPU tidak memedulikan fakta persidangan, justru membuat cerita bahwa Sugeng marah, emosi, dan kesal karena tidak jadi bersetubuh dengan korban sehingga membunuh korban. Padahal, di persidangan justru Sugeng bilang bahwa ia tidak bisa ereksi dan kasihan melihat korban karena tahu kondisi kemaluan korban mengeluarkan cairan putih,” kata Iwan.
Menurut Iwan, surat tuntutan JPU dinilai tidak konsisten terhadap dakwaan. Dalam dakwaan, Sugeng disebut membunuh korban menggunakan gunting. Akan tetapi, dalam surat tuntutan, Sugeng disebut membunuh korban menggunakan cutter.
”Dari keseluruhan proses ini, Sugeng seakan dipaksa mengakui tindakan yang tidak dilakukannya. Penyidik melakukan tindakan semena-mena terhadap Sugeng, sejak proses penyidikan yang hanya menghadirkan satu psikolog," ujarnya.
Iwan menambahkan, penyidik menggunakan seorang psikolog klinis yang berwenang mengevaluasi kondisi mental seseorang. Namun, dalam analisis psikolog itu, Sugeng terindikasi menderita schizophrenia. Semestinya pemeriksaan psikologis Sugeng berlanjut pada analisis kejiwaan. Namun, hal itu tidak dilakukan.
”Tampaknya ada hal ditutupi di sini. Jika ada schizophrenia, seharusnya Sugeng dirujuk ke psikiater. Jika ada gangguan, maka harus dirawat dan tidak dapat dipidana. Namun, tindakan ini tidak dilakukan oleh psikolog (merujuk ke psikiater). Padahal, tahu, Sugeng pernah jadi pasien RSJ Lawang. Tampaknya peran psikolog di sini tak lebih hanya sebagai stempel atau pembenar kesalahan penyidik,” tutur Iwan dalam surat pembelaannya.
Ragu-ragu
Jika JPU dinilai mengabaikan alat bukti dalam persidangan, Iwan mengaku bahwa kuasa hukum justru menggunakan alat bukti berupa visum ahli forensik RSSA untuk menguatkan argumen pembelaan. ”Dalam dakwaan, JPU menyebut Sugeng membunuh korban tanggal 7 Mei 2019. Hal itu diubah JPU menjadi tanggal 8 Mei 2019 pada surat tuntutan. Sementara Sugeng mengaku memutilasi korban tanggal 5 Mei 2019. Dan yang menarik, visum ahli forensik menilai kejadian diperkirakan tanggal 9-11 Mei 2019,” kata Iwan.
Tidak adanya kepastian waktu kematian korban membuat kuasa hukum Sugeng menyitir sebuah adagium hukum, In Dubio Pro Rero, yang artinya dalam keragu-raguan diberlakukan ketentuan yang paling menguntungkan bagi terdakwa.
Sebuah adagium hukum lagi dikutip tim penasihat hukum Sugeng sebelum membacakan kesimpulan pembelaan. Mereka mengutip, Lex Nemini Operatur Iniquum, Neminini Facit Injuriam, yang artinya hukum tidak memberikan ketidakadilan kepada siapa pun, dan tidak melakukan kesalahan kepada siapa pun. Kuasa hukum berusaha mendorong majelis hakim yang dipimpin oleh Dina Pelita Asmara tersebut memutus kasus tersebut seadil-adilnya.
Dari seluruh pembelaan itu, kuasa hukum Sugeng meminta sejumlah hal, yaitu menyatakan terdakwa Sugeng tidak bersalah; membebaskan Sugeng dari segala tuntutan hukum; memulihkan hak Sugeng dalam kemampuan, kedudukan, harkat, dan martabatnya; serta membebaskan terdakwa dari segala bentuk penahanan.
Terkait dengan pembelaan kuasa hukum tersebut, tim JPU mengatakan akan menjawab pembelaan itu dalam sidang replik. Sidang replik dijadwalkan digelar Selasa (25/2/2020). Sidang duplik (jawaban kuasa hukum atas replik JPU) pun akan langsung dilakukan pada Selasa sore. Hal itu untuk mengejar batas waktu penahanan yang akan habis pada Maret 2020.
”Kami akan menanggapi pembelaan itu secara tertulis,” kata Wanto, JPU kasus Sugeng.
Menanggapi sidang kasus itu, Sugeng sendiri berharap kasusnya segera selesai. ”Saya ingin segera selesai. Ingin pulang ke Kebalen,” kata Sugeng seusai sidang.
Sugeng ditahan polisi sejak Mei 2019, tak lama setelah warga menemukan potongan tubuh seorang perempuan—hingga kini belum diketahui identitasnya—termutilasi di lantai 3 Pasar Besar Malang. Dari penyelidikan dan penyidikan Polres Malang Kota dengan Polda Jatim, terungkap bahwa pelaku mutilasi adalah Sugeng.
Selama penyidikan, Sugeng dinyatakan sebagai seorang psikopat dan sudah memiliki rekam jejak kekerasan sebelumnya. Ia pernah memotong lidah pacarnya dan sudah dihukum 3 tahun penjara. Ia pun pernah memukul kepala ayahnya dengan palu. Sugeng juga pernah dirawat di RSJ Lawang.