Perda Masyarakat Adat yang Politis Belum Melindungi
Sebagian perda di Indonesia dibuat untuk mengakomodasi kepentingan pihak ataupun kelompok tertentu. Akibatnya manfaat perda tak banyak dirasakan warga, termasuk masyarakat adat.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Rancangan peraturan daerah terkait dengan perlindungan dan pengakuan masyarakat hukum adat perlu dikawal dan dijaga semua pihak, bukan hanya lembaga adat, melainkan juga oleh masyarakat adat sendiri. Banyak perda di Indonesia yang dibuat hanya mengakomodasi kepentingan pihak ataupun kelompok tertentu.
Hal itu terungkap dalam grup diskusi di Universitas Palangka Raya dengan topik ”Konsepsi dan Definisi Masyarakat Hukum Adat dalam Raperda Masyarakat Hukum Adat di Kalimantan Tengah” di Kota Palangkaraya, Kalteng, pada Selasa (18/2/2020) malam. Kegiatan itu diselenggarakan Lembaga Studi Dayak-21 dan Universitas Palangka Raya.
Antropolog, pendiri, dan peneliti Pusat Kajian Etnografi Hak Komunitas Adat, Yando Zakaria, mengungkapkan, banyak peraturan daerah (Perda) yang dibuat belum melindungi masyarakat adat dan mengakui hak-hak masyarakat adat. Ia melihat ada tiga kesalahan besar, yakni perda anonim, abstrak, dan pengakuan yang sekadar deklaratif.
”Perda itu bunyinya saja tidak jelas, hanya memindahkan definisi di undang-undang yang kemudian dibawa ke peraturan daerah, padahal pada tataran daerah harus lebih definitif dan administratif,” ungkap Yando saat ditemui kembali pada Rabu (19/2/2020).
Dari data Pusat Kajian Etnografi dan Hak Komunitas Adat terdapat 250 perda yang dibuat di tingkat provinsi ataupun kabupaten di Indonesia dengan total luas wilayah kelola adat sebesar 30.000 hektar. Sebanyak 50 persen dari total wilayah adat itu berada di luar kawasan hutan.
”Perda itu tinggal perda, tidak menghasilkan apa-apa. Konflik jalan terus dan selalu masyarakat adat yang menjadi korbannya,” kata Yando.
Perda itu tinggal perda, tidak menghasilkan apa-apa. Konflik jalan terus dan selalu masyarakat adat yang menjadi korbannya.
Yando menjelaskan, perda dibuat dengan dana yang tidak sedikit, apalagi banyak studi banding yang terus dilakukan dan menghabiskan anggaran negara. Oleh karena itu, seharusnya pada tataran naskah akademik rancangan perda harus bisa dibuat lebih praktis, tetapi tetap mengakomodasi ratusan hak masyarakat adat.
”Terkadang waktu habis; hanya membahas definisi membutuhkan waktu yang begitu lama. Padahal, seharusnya yang dibahas dan disepakati hanya soal struktur dalam adat, dan itu dimulai dari definisi keluarga pada bahasa lokal,” ungkap Yando.
Menurut Yando, perda seharusnya dibuat untuk mengakomodasi hak-hak masyarakat adat yang tidak tercantum pada setidaknya 15 undang-undang yang berkaitan dengan masyarakat adat. ”Di situ kelebihannya kebijakan itu diciptakan langsung di daerah,” ujarnya.
Salah satu contoh yang terjadi di Kalteng, tepatnya di Desa Kinipan, Kabupaten Lamandau. Sekitar 3.000 hektar wilayah kelola adat dikonversi menjadi perkebunan sawit. Masyarakat adat menolak, tetapi dimentahkan oleh lembaga adat yang kebetulan diisi para pejabat daerah pengambil kebijakan.
”Hal-hal seperti kerap terjadi karena kebijakan (perda) dibuat untuk kepentingan politik tertentu, makanya perlu dikawal dan dijaga oleh semua pihak. Bukan hanya lembaga adat, melainkan juga masyarakat adatnya,” kata Yando dalam diskusi tersebut.
Di Kalteng, Rancangan Peraturan Daerah tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat Dayak sudah dibahas sejak 2012. Drafnya pun sudah beberapa kali berubah. Pada tahun ini, DPRD mengompilasi berbagai draf dari berbagai kalangan, termasuk draf milik AMAN Kalteng yang saat ini belum juga dibahas.
Salah satu anggota Komisi II DPRD Provinsi Kalteng, Sudarsono, mengungkapkan, sampai saat ini belum ada pembahasan draf perda masyarakat adat tersebut karena harus dipelajarai oleh anggota Dewan yang baru. Meskipun demikian, dalam seminggu belakangan ini pihaknya baru saja membentuk panitia khusus pembahasan kebijakan tersebut.
”(Raperda) Ini penting untuk eksistensi masyarakat adat untuk pelestarian adat dan mengurangi konflik. Kami sadar selama ini mereka kesulitan dalam mengelola wilayah adatnya,” kata Sudarsono.
Sudarsono menambahkan, ada banyak perdebatan terkait pembentukan kebijakan antara pemerintah pusat dan daerah. ”Ada pertentangan (dalam pembahasan) antara teman-teman yang dulu dan pemerintah pusat juga daerah, makanya kami harus pelajari,” katanya.
Dalam diskusi tersebut hadir berbagai akademisi, tokoh adat, juga perwakilan dari DPRD Provinsi Kalteng dan pemerintah daerah. Pelaksana Tugas Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Kalteng Esau A Tambang mengungkapkan, pihaknya sebagai verifikator dan pengesah keberadaan masyarakat hukum adat saat ini berupaya mendorong setiap pemerintah kabupaten membantu proses pengakuan dan perlindungan masyarakat adat.
”Kebijakan Gubernur Kalteng itu minimal satu kabupaten satu hutan adat dan masyarakat adat. Jadi, pemerintah sudah berkomitmen,” kata Esau.
Esau menambahkan, pihaknya juga akan mengawal proses pembasahan rancangan peraturan daerah yang saat ini ada di DPRD Provinsi Kalteng.
Pelaksana Tugas Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nasional (AMAN) Kalteng Ferdi mendesak pemerintah lebih serius lagi mengurus pengakuan dan perlindungan masyarakat adat. Di Kalteng, menurut Ferdi, beberapa kali ganti pemerintahan dan anggota Dewan, peraturan daerah untuk pengakuan dan perlindungan tak kunjung selesai.
”Ada proses yang sebenarnya terlalu panjang dan rumit, sementara konflik terus-menerus muncul di lokasi-lokasi adat,” kata Ferdi.
Ferdi menjelaskan, banyak undang-undang yang sebetulnya sudah mengakui masyarakat adat, tetapi tidak pernah dijalankan. Setelah berkonflik, masyarakat adat selalu menjadi korban atau bahkan kriminalisasi karena dinilai tidak memiliki dasar sebagai masyarakat adat.
”Ketika diminta membuat perda, ada proses yang sangat politis di situ. Karena kepentingan yang dibahas dan diperjuangkan bisa beda-beda, makanya tak kunjung selesai,” ungkap Ferdi.