Mengatasi tengkes (”stunting”) atau kekerdilan akibat kurang gizi kronis menjadi salah satu fokus pemerintah pusat dan daerah. Hal itu demi menghasilkan sumber daya manusia Indonesia yang unggul.
Oleh
ISMAIL ZAKARIA/NINA SUSILO
·5 menit baca
KUTA, KOMPAS — Mengatasi tengkes (stunting) atau kekerdilan akibat kurang gizi kronis menjadi salah satu fokus pemerintah pusat dan daerah. Hal itu demi menghasilkan sumber daya manusia Indonesia yang unggul. Berbagai program dan kegiatan pencegahan dilakukan, termasuk melalui pendekatan agama, salah satunya melalui program Da’i Kesehatan yang dilakukan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Wakil Presiden Ma’ruf Amin dalam dialog Pelibatan Da’i Kesehatan dalam Percepatan Kesehatan untuk Pencegahan Stunting di Nusa Tenggara Barat, di Kuta, Lombok Tengah, NTB, Kamis (20/2/2020), mengatakan, tengkes menjadi salah satu penghalang dalam upaya membangun manusia unggul. Oleh karena itu, pemerintah sangat memperhatikan masalah tersebut.
”Pemerintah memang memperhatikan masalah tengkes ini karena kita ingin menghasilkan manusia yang unggul yang tidak boleh lemah. Salah satu penghalang upaya itu adalah generasi lemah karena tengkes atau tidak tumbuh normal,” kata Ma’ruf.
Jadi, penanganannya harus betul-betul intensif.
Menurut Ma’ruf, pemerintah menargetkan angka tengkes di Indonesia pada 2024 sebanyak 14 persen. Saat ini, angka tengkes Indonesia masih 27 persen. Angka itu melampaui standar maksimal dunia, yakni 20 persen.
”Target yang ingin kita capai begitu besar, yakni sampai 14 persen. Bahkan, di NTB lebih besar (saat ini 33 persen). Jadi, penanganannya harus betul-betul intensif,” kata Ma’ruf.
Secara nasional, kata Ma’ruf, pemerintah melibatkan semua lembaga untuk upaya tersebut, salah satunya Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yang akan melibatkan 1 juta lebih petugas lapangan. ”Termasuk juga melibatkan Kementerian Desa, Kementerian Kesehatan, untuk menyosialisasikan atau menggerakkan penanganan tengkes secara terkoordinasi,” kata Ma’ruf.
Dalam kesempatan itu, Wapres menyampaikan apresiasi atas berbagai program strategis Pemerintah Provinsi NTB dalam mengatasi tengkes. Salah satunya dengan pendekatan agama, yakni pelibatan dai kesehatan.
Dai kesehatan diharapkan bisa berperan dalam mengatasi tengkes.
Dai Kesehatan merupakan program Pemprov NTB yang melibatkan penceramah agama. Dai kesehatan dianggap akan jauh lebih didengarkan oleh masyarakat, apalagi dengan tingkat keagamaan yang tinggi seperti di NTB yang mayoritas berpenduduk Muslim. Saat ini, ada 250 orang dai kesehatan di NTB.
Menurut Wapres, Dai Kesehatan diharapkan bisa berperan dalam mengatasi tengkes. Apalagi, dalam Al Quran, sudah ada perintah agar tidak membiarkan adanya generasi yang lemah, baik akidah, pendidikan, maupun kesehatannya. Dengan kata lain, mengatasi tengkes sangat sesuai dengan ajaran agama.
Oleh karena itu, para dai diharapkan bisa mengambil bagian dengan menjelaskan kepada masyarakat tentang pencegahan tengkes, mulai dari pranikah, menikah, hingga 30 bulan atau 1.000 hari kehidupan pertama anak.
Kendala lapangan
Dalam dialog itu, sejumlah dai kesehatan dari berbagai wilayah di Lombok menyampaikan persoalan lapangan yang mereka hadapi. Baiq Husniati, dai kesehatan asal Kota Mataram, mengatakan, selama ini, mereka tidak menghadapi persoalan ketika sosialisasi tentang air susu ibu (ASI) dan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) karena semua dalilnya sudah ada dalam Al Quran.
”Hanya saja, kami kesulitan ketika sosialisasi tentang imunisasi. Banyak masyarakat yang tidak paham tentang pentingnya imunisasi tersebut agar tidak terkena tengkes,” kata Husniati.
Menghilangkan bahaya adalah kewajiban. Kalau tidak mau, jadinya haram.
Banyaknya pernikahan dini juga menjadi kendala. Padahal, menurut dai kesehatan asal Lombok Tengah, Lalu Muaz, pernikahan dini menjadi salah satu penyebab tingginya tengkes. ”Anak melahirkan anak. Jadi, kami mohon metode yang efektif dan bisa digunakan untuk menyadarkan remaja putri dan putra serta orangtuanya,” kata Muaz.
Menurut Wapres, dai kesehatan harus bisa meyakinkan masyarakat untuk imunisasi. Caranya adalah dengan menjelaskan bahaya yang akan muncul jika anak tidak diimunisasi. ”Menghilangkan bahaya adalah kewajiban. Kalau tidak mau, jadinya haram,” katanya.
Terkait keraguan terhadap bahan baku imunisasi, menurut Ma’ruf, sudah ada fatwa Majelis Ulama Indonesia yang menyatakan jika bahan baku tidak halal, tidak boleh digunakan. Namun, jika bahaya yang akan dihadapi (jika tidak imunisasi) besar, maka diperbolehkan karena darurat sampai ditemukan bahan yang halal.
Sementara, untuk pernikahan dini, kata Ma’ruf, pendekatannya juga sama. Dai kesehatan harus bisa menjelaskan dari sisi bahaya, terutama terkait kesiapan pasangan secara fisik maupun mental untuk menjadi ibu-bapak. ”Edukasi masyarakat harus diperkuat sehingga mereka memahami arti kebaikan keluarga,” katanya.
Ma’ruf optimistis, dengan dai kesehatan dan berbagai program antisipasi dan intervensi lainnya, NTB bisa menurunkan angka tengkes hingga 14 persen pada 2024.
Gubernur Nusa Tenggara Barat Zulkieflimansyah mengakui, tengkes menjadi salah satu persoalan di NTB. Oleh karena itu, katanya, berbagai program pembangunan di NTB bisa mengatasi tengkes. Menurut Kepala Dinas Kesehatan NTB Nurhadini Eka Dini, prevalensi tengkes di NTB saat ini mencapai 33 persen. Angka itu turun sekitar 4 persen poin dari tahun 2013 yang mencapai 37 persen.
Terkait harapan Wakil Presiden untuk bisa mencapai 14 persen pada 2024, Eka mengatakan, 14 persen adalah target nasional yang berangkat dari 27 persen. ”Kalau NTB, kan, dari 33 persen. Artinya, penurunan tengkes paralel dengan penurunan kemiskinan. Berapa persen kemiskinan turun, sebanyak itu pula tengkes turun,” katanya.
Meski demikian, kata Eka, berbagai program untuk mendukung program nasional mengatasi tengkes terus dilakukan. ”Program itu melibatkan masyarakat agar mereka sadar bahwa tengkes itu masalah bersama dan bisa mengatasinya bersama-sama,” katanya.
Dalam mendukung percepatan itu, kata Eka, mereka melahirkan program asli NTB, salah satunya Aksi Bergizi (sarapan bersama siswa sekolah yang kemudian dilanjutkan dengan pembagian tablet tambah darah bagi remaja serta penyuluhan gizi). Selain itu, ada program Aksi Seribu Hari Pertama Kehidupan (ASHAR) dengan melibatkan mahasiswa kesehatan untuk menjadi pendamping ibu hamil dan anak balita.
”Ada juga program melahirkan pasangan ramah anak, yakni orangtua yang memberikan hak anak secara utuh. Tidak hanya makan, tetapi sekolah,” kata Eka. Tahun ini, mereka bersama Badan Amil Zakat Nasional NTB juga akan mengadakan Baznas Gizi, yakni bantuan bagi masyarakat miskin yang menderita gizi buruk.