Lahir dari Bahasa Melayu, Bahasa Indonesia Tetaplah Berbeda
Bahasa Indonesia lahir dari bahasa Melayu yang ditengarai berawal dan berkembang dari Barus sejak berabad-abad silam.
Oleh
NIKSON SINAGA
·3 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Di dunia internasional, bahasa Indonesia kini dianggap menjadi bagian dari bahasa Melayu Selat Malaka yang penuturnya juga berada di Malaysia, Brunei Darussalam, dan sebagian Singapura. Padahal, bahasa Indonesia merupakan bahasa yang berbeda dari bahasa Melayu meskipun lahir dari bahasa Melayu.
”Temuan termutakhir Iman Ghosh yang mengeluarkan daftar ’Seratus Bahasa Berpenutur Terbanyak Sedunia’ menempatkan bahasa Indonesia dalam bahasa Melayu Selat Malaka,” kata Kepala Balai Bahasa Sumatera Utara Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Maryanto dalam seminar bertema ”Dari Barus ke Barus, Pemusatan Kebudayaan Melayu di Sumatera Utara Menangkal Gelombang Tsunami Kebahasaan”, di Medan, Kamis (20/2/2020).
Bahasa Melayu pun berada pada urutan ke-10 dengan jumlah penutur 198,7 juta orang dalam temuan yang dipublikasikan pada Sabtu (15/2/2020) itu. Dalam temuan geolinguistik itu terdapat mata rantai kebahasaan yang terputus, karena bahasa Indonesia ditempatkan dalam bahasa Melayu Selat Malaka.
”Ini yang harus disambungkan dengan mengangkat batang sejarah yang ’terendam’ di Barus, Sumatera Utara,” kata Maryanto.
Maryanto mengatakan, bahasa Indonesia lahir dari bahasa Melayu yang ditengarai berawal dan berkembang dari Barus sejak berabad-abad silam. Hal itu terlihat dari karya sastrawan dari Barus, Hamzah Fansuri, pada abad ke-16, jauh sebelum ”Gurindam 12” diciptakan Raja Ali Haji dari Pulau Penyengat, Kepulauan Riau, pada abad ke-19.
Sejak dua abad sebelum Masehi, Barus juga menjadi kota perdagangan yang menjadi tempat bertemunya orang-orang dari sejumlah negara di dunia. Di kota itu diperdagangkan barang-barang mewah saat itu, seperti kapur barus.
Sebagai kota perdagangan internasional, di sana ada interaksi antara pedagang dari luar dan orang lokal. Dari orang-orang yang berbeda inilah muncul bahasa pengantar atau ligua franca di Barus yang ditengarai menjadi awal perkembangan bahasa dan kebudayaan Melayu.
Sanusi Pane
Maryanto mengatakan, mereka juga ingin mengangkat kembali peran Sanusi Pane dalam melahirkan dan menjaga bahasa Indonesia. Sanusi Pane mendorong lahirnya bahasa Indonesia pada 2 Mei 1926 dan diikrarkan dalam Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928.
”Bayangkan Sanusi Pane mendorong lahirnya bahasa Indonesia yang mempersatukan manusia yang berbangsa-bangsa menjadi satu bangsa,” kata Maryanto. Ia juga menggerakkan kelahiran lembaga yang bertugas menangani bahasa itu.
Sebelum negara Indonesia lahir, Sanusi Pane bahkan lebih dulu mendorong pendirian Institut Bahasa Indonesia pada 1938 dalam Kongres Bahasa Indonesia Pertama. Sanusi memandang bahasa Indonesia sangat penting untuk dijaga karena berperan mempersatukan Indonesia. Institut itu pun kini menjadi Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa dan menjadi balai bahasa di daerah-daerah.
Wakil Kepala Badan Pembina Ideologi Pancasila Hariyanto mengatakan, bahasa Indonesia bukan sekadar alat komunikasi bagi bangsa, tetapi juga pemersatu, ideologi, roh, dan jiwa bangsa. Namun, bahasa Indonesia kini menghadapi ancaman karena diserang dengan bahasa asing melalui media sosial.
Pelaksana Tugas Wali Kota Medan Akhyar Nasution mengatakan, salah satu kekayaan bahasa Indonesia yaitu dialek yang sangat beragam di sejumlah daerah. Namun, belakangan, dialek itu pun perlahan hilang dan diseragamkan dengan dialek Jakarta melalui penyiaran dan media sosial.
”Padahal, budaya daerah adalah puncak dari kebudayaan nasional. Dialek daerah itu sebenarnya merupakan kekayaan budaya di daerah,” ujarnya.
Hilangnya dialek daerah dalam bahasa Indonesia, menurut Akhyar, juga menyebabkan menurunnya semangat kedaerahan yang positif. Ia mencontohkan prestasi klub sepak bola PSMS yang redup karena semangat kedaerahan yang mendukungnya pun semakin pudar.