Polisi menetapkan seorang dosen Universitas Negeri Padang sebagai tersangka dugaan pelecehan seksual terhadap mahasiswanya. Pihak kampus pun telah membebastugaskan tersangka dan mengajukan pemecatan yang bersangkutan.
Oleh
Yola Sastra
·5 menit baca
PADANG, KOMPAS — Kepolisian Daerah Sumatera Barat menetapkan FY (29), dosen Universitas Negeri Padang atau UNP, sebagai tersangka dugaan pelecehan seksual terhadap mahasiswanya. Pihak kampus pun telah membebastugaskan tersangka sebagai dosen dan mengajukan pemecatan yang bersangkutan ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Kepala Bidang Humas Polda Sumbar Komisaris Besar Stefanus Satake Bayu Setianto, Jumat (21/2/2020), mengatakan, terlapor ditetapkan sebagai tersangka setelah Direktorat Reserse Kriminal Umum mengadakan gelar perkara. Berdasarkan sejumlah bukti dan keterangan saksi, penyidik menetapkan terlapor sebagai tersangka.
”Kemarin (Kamis, 20/2/2020) gelar perkara oleh internal Direskrimum. Kesimpulannya, terlapor ditetapkan sebagai tersangka. Ditetapkan sebagai tersangka karena cukup bukti dan saksi,” kata Satake.
Tersangka akan dikenai Pasal 289 dan Pasal 294 Kitab Undang-undang Hukum Pindana terkait perbuatan cabul.
Sebelumnya, seorang mahasiswa Jurusan Seni Drama Tari dan Musik Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) UNP melaporkan dugaan pelecehan seksual oleh dosennya ke Polda Sumbar pada 15 Januari 2020. Dugaan pelecehan itu dilakukan di toilet perempuan saat ada kegiatan mahasiswa di FBS pada 10 Desember 2019 malam.
Menurut Satake, tersangka akan dikenai Pasal 289 dan Pasal 294 Kitab Undang-undang Hukum Pindana terkait perbuatan cabul. Ancaman hukumannya adalah pidana penjara di atas lima tahun.
Meskipun telah ditetapkan sebagai tersangka, Satake belum dapat memastikan apakah FY akan ditahan atau tidak. Satake menunggu keputusan lebih lanjut dari penyidik.
Satake menambahkan, sebelumnya, polisi telah memeriksa lima saksi, antara lain pelapor, teman-teman pelapor, dan pihak kampus. Polisi juga telah memanggil FY sebagai saksi ketika masih dalam status terlapor, tetapi ia tidak mau memberikan keterangan.
Rektor UNP Ganefri mengatakan, beberapa waktu lalu, oknum dosen itu telah disidang Majelis Kode Etik. ”Dosen yang bersangkutan sudah dibebaskan sementara dari CPNS UNP. UNP juga sudah mengajukan pemberhentian yang bersangkutan ke Menteri Pendidikan dan Kebudayaan,” kata Ganefri.
Menurut Ganefri, untuk sementara, mahasiswa yang menjadi korban disuruh istirahat sementara karena masih trauma. Ganefri menyayangkan kasus dibawa ke Lembaga Bantuan Hukum dan kepolisian sehingga melebar menjadi pembicaraan publik. Hal ini menjadi beban mental bagi korban.
”Masalah ini sebenarnya bisa di-silent, tidak perlu dibawa ke ranah publik. Dosennya pasti diberhentikan. Kalau ada kasus seperti ini, langsung disidangkan,” ujar Ganefri.
Terkait upaya antisipasi agar kejadian serupa tidak terulang, Ganefri mengatakan, UNP sudah memiliki prosedur operasi standar. Agar bisa terawasi, perkuliahan malam mesti atas seizin atasan sang dosen.
Rahmi Meri Yanti, Pelaksana Tugas Direktur Women Crisis Center (WCC) Nurani Perempuan, organisasi yang mendampingi korban, mengatakan, korban dalam tahap pemulihan trauma. Berdasarkan konsultasi dengan psikiater, korban memang disarankan untuk berhenti studi sementara.
”Beberapa kelompok di kampus itu juga mengatakan, korban sebagai orang tidak baik-baik dan sok-sok melapor ke polisi. Ada juga yang mencari keburukan-keburukan korban untuk menekan korban. Korban merasa tidak mendapatkan dukungan dari kampus sehingga menjadi tidak nyaman datang ke kampus,” kata Meri.
Korban baru melapor lebih dari sebulan kemudian setelah mendapatkan dukungan.
Menurut Meri, trauma korban berlangsung sejak kejadian pelecehan seksual tersebut. Korban tidak lagi datang ke kampus sehingga tidak ikut ujian dan IPK-nya pada semester pertama 0,0. Adapun tersangka sebelumnya terus menghubungi korban via WhatsApp untuk mengajak bertemu.
Terkait korban yang tidak langsung melapor setelah kejadian, Meri mengatakan, korban waktu itu belum kuat dan belum berani. Kondisi itu umumnya juga terjadi pada kasus-kasus kekerasan ataupun pelecehan seksual lainnya. Korban baru melapor lebih dari sebulan kemudian setelah mendapatkan dukungan.
Relasi kuasa
Meri melanjutkan, kasus pelecehan seksual oleh oknum dosen yang terungkap ini ibarat puncak gunung es. Sebenarnya, banyak kasus serupa dialami mahasiswa lain, tetapi tidak terungkap. Para korban takut terintimidasi jika mengungkap sehingga memilih diam.
”Ada relasi kuasa antara dosen dan mahasiswa. Mahasiswa akhirnya diam karena takut nilainya jelek, tidak tamat kuliah, sedangkan orangtua susah payah membiayai, atau mahasiswa takut merasa disalahkan dan dituduh ia dilecehkan karena merayu dosen atau berpakaian tidak sopan,” ujar Meri.
Kampus diharapkan bisa menindak pelaku dan melakukan upaya untuk mencegah kejadian serupa tidak terulang kembali.
Di kampus korban, kata Meri, ini bukan kejadian pertama. Sebelumnya, ada juga mahasiswa yang melapor mengalami pelecehan seksual oleh oknum dosen yang sama ke WCC Nurani Perempuan. Namun, atas berbagai pertimbangan dari korban, kasus tidak dilaporkan ke polisi.
Setelah kejadian ini, kata Meri, ada dua lagi mahasiswa dari kampus yang sama dengan fakultas berbeda melapor kepada WCC Nurani Perempuan telah mengalami pelecehan seksual oleh dosen. Untuk menindaklanjuti laporan dua mahasiswa itu, WCC Nurani Perempuan akan mengadakan advokasi ke Rektor UNP. Kampus diharapkan bisa menindak pelaku dan melakukan upaya untuk mencegah kejadian serupa tidak terulang kembali.
Meri pun mendorong mahasiswa yang mengalami pelecehan seksual untuk berani melapor. Sementara itu, kampus didorong menyediakan ruang aman bagi perempuan, memiliki kebijakan yang kuat untuk mencegah pelecehan seksual, menindak tegas pelakunya, serta melindungi korban dari diskriminasi.
Meri mengatakan, selama ini, kampus takut kasus pelecehan seksual terungkap kepada publik karena dianggap dapat mencoreng nama baik kampus. Padahal, sebenarnya, kampus justru akan mendapatkan nama baik jika berani menyatakan akan menindak tegas pelaku pelecehan seksual. ”Cuma, sejauh ini belum ada yang berani. Mengapa kampus harus malu?” ujarnya.
Berdasarkan catatan Kompas, kejadian pelecehan seksual oleh oknum dosen, baik di kampus maupun di luar kampus, bukan kali ini terjadi di Indonesia. Pelecehan seksual tidak hanya dilakukan dosen biasa, tetapi juga pejabat kampus, seperti dekan.
Kompas (30/8/2019) memberitakan, seorang Kepala Program Studi Pendidikan Fisika Universitas Palangka Raya berinisial PS (53) ditahan polisi karena diduga melakukan pelecehan seksual terhadap enam mahasiswi bimbingannya. Dari keterangan polisi, korban dilecehkan saat proses bimbingan skripsi.
Pada 2017, Wakil Dekan III Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga, Surabaya, Ketut Suardita (48) diberhentikan sementara oleh kampus. Ia menjadi tersangka kasus pencabulan terhadap seorang pelajar sekolah menengah atas di Surabaya, dan mendekam di Kepolisian Resor Kota Besar Surabaya untuk pemeriksaan (Kompas, 5/4/2017).
Kasus lain, pada akhir 2013, seorang Wakil Dekan Fakultas Ilmu Komputer Universitas Mercu Buana berinisial S (47) diberhentikan kampus karena melakukan pelecehan seksual terhadap salah seorang mahasiswinya, L (17), (Kompas, 3/12/2013).