Lima rumah rusak berat akibat pergerakan tanah di Desa Majatengah, Kecamatan Banjarmangu, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, Kamis (20/2/2020) malam. Sebanyak 25 jiwa mengungsi ke tempat aman.
Oleh
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
·3 menit baca
BANJARNEGARA, KOMPAS — Lima rumah rusak berat akibat bencana pergerakan tanah di Desa Majatengah, Kecamatan Banjarmangu, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, Kamis (20/2/2020) malam. Sebanyak 25 jiwa mengungsi ke tempat aman, sedangkan 12 rumah di sekitar lokasi terancam.
”Tadi (Kamis) sekitar jam 21.00 terdengar bunyi kretek-kretek…bleng! Saya langsung keluar rumah membangunkan tetangga, lalu berlari ke tempat aman,” kata Badrianto (40), warga RT 002 RW 001 yang rumahnya rusak, Jumat (21/2/2020).
Longsor terjadi di areal lereng perkebunan salak yang berjarak sekitar 20 meter di bawah rumah Badrianto. Setelah suasana aman, ia pun melihat tanah di sekitar rumahnya mulai retak-retak.
”Tadi malam tidak hujan, tapi Rabu itu hujan seharian. Retakan semula hanya 1 sentimeter, tapi jam 01.00 dan jam 02.00 semakin lebar sampai lebih dari 10 sentimeter,” katanya.
Lima rumah yang rusak parah adalah milik Badrianto, Sukarso, Siamto, Saryono, dan Amal Ariyanto. Pantauan di lokasi kejadian, tampak retakan tanah selebar 20 sentimeter dengan kedalaman mencapai 1 meter di rumah milik Amal Ariyanto yang sudah dirobohkan warga. Retakan memanjang dan bercabang hingga lebih dari 15 meter masuk ke sejumlah rumah di sekitarnya.
”Kami khawatir sekali kalau hujan deras, apalagi malam hari. Takut rumah kena longsor,” kata Saryono (49).
Saat ini, semua perabot rumah tangga di kelima rumah tersebut sudah dipindahkan ke rumah tetangga dan saudara. Kejadian tanah bergerak di desa ini bukan baru kali ini saja terjadi. Pada awal 2019, retakan tanah mulai terdeteksi di sekitar permukiman. Retakan kian parah pada awal Januari 2020 dan kini longsor pun terjadi.
Kepala Desa Majatengah Sarno menyebutkan, daerah tersebut cukup rentan longsor. Ia menyebutkan, longsor juga pernah terjadi sekitar 1950 dan 1995.
”Dulu dari cerita orangtua, longsor terjadi di Dukuh Desa Lawas sekitar 1,5 kilometer arah barat permukiman tahun 1950-an. Saat itu, 20 keluarga mengungsi. Kini lokasi longsor sudah menjadi areal sawah. Lalu pada 1995, longsor terjadi di Dukuh Kalitengah dan 40 keluarga direlokasi,” kata Sarno.
Warga terbiasa menanam jagung dan singkong serta salak di lereng-lereng perbukitan. Dengan kondisi tanah yang labil dan berada di lereng, desa ini masuk dalam area rawan longsor.
Desa yang dihuni 1.100 jiwa ini berada di kawasan perbukitan dengan ketinggian sekitar 750 meter di atas permukaan laut. Menurut Sarno, sejak dulu warga terbiasa menanam jagung dan singkong, serta salak di lereng-lereng perbukitan. Dengan kondisi tanah yang labil dan berada di lereng, desa ini masuk dalam area rawan longsor.
”Warga tidak pernah membangun rumah di lokasi bekas longsor. Meski sudah ditanami tanaman keras, seperti akasia dan alba, di kebun salak, longsor tetap terjadi,” katanya.
Selain itu, Sarno juga mengatakan, pergerakan tanah menyebabkan 12 rumah lainnya terancam rusak dan jalan beton sepanjang 200 meter selebar 1,5 meter hancur dilibas longsor. Akibat kejadian ini, pemerintah desa pun berkoordinasi dengan kecamatan dan kabupaten untuk mencari lokasi tempat relokasi warga.
Warga pun diimbau waspada dan menggiatkan ronda. ”Setiap malam, setiap dusun harus ada yang berjaga meningkatkan kewaspadaan,” katanya.
Kepala Seksi Pencegahan dan Kesiapsiagaan Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Banjarnegara Andri Sulistyo menyampaikan, tim BPBD meminta Badan Geologi untuk melakukan kajian guna mendapatkan rekomendasi sebagai dasar relokasi warga.
”Kami sedang meminta Badan Geologi membuat kajian,” kata Andri. Sepanjang 2020, di Banjarnegara telah terjadi 48 kali bencana longsor dan pergerakan tanah.