Cerita Kuping Panjang yang Tersisa
Identitas perempuan Dayak yang menubuh, yakni kuping panjang dan rajah, saat ini tinggal tersisa pada generasi tua.
Identitas perempuan Dayak yang menubuh, yakni kuping panjang dan rajah, saat ini tinggal tersisa pada generasi tua. Bagaimana orang Dayak di hulu Sungai Mahakam memandang tradisi yang mungkin hanya akan tersisa dalam dokumentasi semata?
Di belakang penginapan miliknya, Yipuy Hang (62) duduk mengenakan setelan daster biru dengan celana panjang pada pertengahan Desember 2019. Sesekali kepala perempuan itu mengikuti gerak perahu yang melintasi Sungai Mahakam, persis di belakang penginapan kayu itu.
Saat angin menerpa celananya, samar-samar terlihat garis-garis hitam pudar melingkar di kedua pergelangan kakinya. Setelah mendekat, selain di kaki, ternyata terdapat juga motif garis-garis di jari tangannya. ”Motifnya kalung jelivaan,” kata Yipuy.
Kalung bisa berarti ukiran dan jelivaan adalah ular kobra. Namun, ia tak bisa menjelaskan makna tato itu. Ia hanya bisa menjelaskan bahwa tato itu adalah penanda bagi perempuan Dayak, simbol kecantikan.
Ia sendiri keturunan Dayak Bahau, salah satu suku Dayak yang tinggal di hulu Sungai Mahakam, Kabupaten Mahakam Ulu, Kalimantan Timur. Tato itu dibuat ketika ia berusia 16 tahun.
”Dulu kuping saya juga panjang sampai bawah pundak. Setelah menikah pada umur 17 tahun, saya potong,” katanya.
Ia menikah dengan orang keturunan suku Bugis. Alasannya memotong kuping panjang yang sudah dibentuk sejak kecil agar mudah bersosialisasi tanpa perlu menjadi pusat perhatian.
Yipuy tinggal di Desa Long Bagun Ulu, Kecamatan Long Bagun. Letaknya sekitar 7 kilometer dari Ujoh Bilang, pusat pemerintahan Kabupaten Mahakam Ulu. Di sana sudah banyak pendatang dari Jawa dan Sulawesi yang menetap. Yipuy adalah satu dari sedikit perempuan Dayak yang tersisa di sana dengan identitas tato di tubuh.
Kami, empat wartawan dan tiga pegiat lingkungan, hanya singgah semalam di penginapan Polewali milik Yipuy sebelum melanjutkan perjalanan ke Desa Long Tuyoq, Kecamatan Long Pahangai. Dari penginapan milik Yipuy, kami menaiki long boat atau perahu panjang dari kayu tanpa atap. Perahu melaju mengandalkan mesin berkekuatan 200 tenaga kuda. Perjalanan menuju hulu Sungai Mahakam di perbatasan Kalimantan Timur dan Malaysia memakan waktu sekitar tiga jam.
Long Tuyoq dihuni Dayak Long Gliit. Suku Dayak Bahau menyebutnya Dayak Long Glaat. Di sana, terdapat puluhan perempuan Dayak yang memiliki rajah di tangan dan kaki. Namun, hanya sekitar delapan orang yang masih berkuping panjang dengan anting-anting lingkaran dari tembaga. Mereka berusia di atas 60 tahun.
Salah satu kerabat kepala suku Long Gliit, Lun Bith (81), adalah salah satu yang masih merawat kuping panjang beserta rajah di kaki dan tangan. Ia tak bisa berdiri tegak lantaran penurunan massa otot akibat usia. Kulitnya mengendur.
Bith mengatakan, semakin panjang daun telinga, semakin anggun perempuan Dayak terlihat. Selain itu, semakin banyak anting-anting tersemat di daun telinga, menandakan orang itu juga dari golongan bangsawan.
Sayang, Bith juga hanya bisa menjelaskan sedikit saja makna rajah yang melekat di tubuhnya. ”Jika tato sudah sampai di atas pergelangan tangan, pertanda perempuan itu sudah menikah. Jadi, jangan didekati,” kata Bith sambil tertawa.
Cara tradisional
Rajah di tubuh generasi tua Dayak dibuat dengan cara tradisional. Dalam seni merajah tubuh, teknik itu disebut hand tapping. Alatnya terdiri dari dua tongkat kayu sekitar 20 sentimeter. Satu kayu disematkan duri atau jarum di ujungnya yang berfungsi untuk memasukkan tinta ke lapisan kulit atas.
Duri atau jarum dililit benang dengan menyisakan beberapa milimeter bagian yang tajam. Tujuannya untuk membatasi jarum atau duri masuk terlalu dalam ke lapisan kulit. Sementara kayu lainnya berfungsi untuk memukul kayu yang tersemat jarum untuk mendorong ujung jarum atau duri masuk ke kulit.
Tinta tato tradisional ini berasal dari daun damar yang dibakar. Abu daun damar dilarutkan dengan sedikit air. Ujung jarum atau duri dicelupkan ke dalam larutan kemudian dicucukkan ke kulit. Bith mengatakan, motif garis lingkaran di kaki biasanya selesai dalam sehari.
Tradisi kuping panjang dan rajah pada perempuan Dayak adalah tradisi yang diturunkan langsung oleh ibu. Jika sang ibu tak menghendaki anaknya untuk berkuping panjang, sejak kecil sang bayi tak akan dibuatkan lubang khusus di daun telinga. Sebab, pembentukan kuping panjang adalah dengan menambah beban anting-anting seiring pertumbuhan sang anak.
Elisabeth (23), yang baru pulang beberapa minggu ke Desa Liu Mulang, misalnya. Desa itu terletak persis di sebelah Desa Long Tuyoq. Elisabeth keturunan Dayak Bahau Umaq Lakuwe. Sejak kecil ia sudah dititipkan kepada tantenya di Indramayu, Jawa Barat. Kehidupan di luar kampung Dayak membuat orangtuanya tak melanjutkan tradisi kuping panjang kepadanya.
”Karena akan sekolah, jadi tidak dibuat kuping panjang. Mungkin orangtua juga takut saya jadi pusat perhatian karena berkuping panjang sendiri di antara yang lain,” katanya.
Gelagat akan hilangnya tradisi ini sudah dipahami oleh warga di sana. Kepala Desa Long Tuyoq Alexander Ajang Blawing berniat mengalokasikan dana desa tahun 2020 untuk membuat perpustakaan yang berisi berbagai dokumentasi mengenai suku Dayak di Long Tuyoq.
”Perubahan budaya masyarakat tak bisa dicegah. Nantinya selain buku, akan dikumpulkan juga berbagai dokumentasi foto sebagai informasi dan pelajaran bagi generasi setelah kami atau wisatawan yang datang,” kata Alexander.
Pariwisata
Desa Long Tuyoq dan Desa Liu Mulang merupakan desa yang tengah menggiatkan pariwisata budaya dan alam. Setidaknya gelombang pariwisata mulai masif era 1990-an. Wisatawan dan peneliti banyak yang sudah berkunjung ke sana. Meski berada di pedalaman Kalimantan Timur, mereka sudah bersentuhan dengan teknologi modern sejak lama.
Warga sudah menggunakan gawai meski internet hanya bisa tersambung melalui pemancar internet di kantor desa. Itu pun tak selalu lancar dan harus bersabar karena dipakai oleh banyak orang dan sinyal tak selalu stabil. Informasi melalui televisi juga sudah bisa dinikmati di setiap rumah melalui bantuan parabola.
Televisi, gawai, dan arus pariwisata membuat masyarakat di sana bersentuhan dengan budaya dan nilai lain, termasuk standar kecantikan bagi perempuan Dayak. Perdebatan mengenai penting atau tidaknya identitas kuping panjang dan rajah dipertahankan menjadi perdebatan sendiri di kampung Dayak lain sejak lama.
Yekti Maunati dalam Identitas Dayak: Komodifikasi dan Politik Kebudayaan (2004) meneliti suku Dayak Kalimantan Timur di Long Mekar. Ia menemukan bahwa penanda kedayakan, seperti tato dan kuping panjang, menjadi perdebatan, khususnya oleh orang-orang dari generasi berbeda. Yekti menilai, perubahan itu adalah proses modernisasi.
Penanda kultural seperti kuping panjang dan rajah yang dikenal sebagai hal yang otentik dan unik menghilang di hadapan modernisasi seiring masuknya teknologi, informasi, dan arus pariwisata. Namun, Yekti menilai, hal itu dibarengi pula dengan menguatnya identitas Dayak.
”Penelitian lapangan saya menunjukkan bahwa pariwisata telah bertindak sebagai sebuah pendorong dalam pencarian ’tradisi Dayak’. Hal ini membentuk cara orang Dayak cenderung mengidentifikasi diri mereka sendiri,” tulis Yekti dalam bab kesimpulan.
Seiring berkembangnya zaman, masyarakat Dayak pun beradaptasi. Bisa saja suatu masa nanti tradisi menato tubuh dan kuping panjang tersisa cerita.