Para Presiden Enggan Datang, Benarkah Tanah Kediri Bertuah?
Kediri disebut-sebut sebagai kota bertuah. Raja-raja di Jawa, bahkan presiden, yang pernah datang ke tanah itu berujung pada pelengseran. Benarkah demikian?
Sepekan terakhir nama Kota Kediri di Jawa Timur mencuat setidaknya oleh dua hal. Pertama, tentang proyek Bandara Kediri yang dibangun Gudang Garam. Kedua, tentang kisah Kediri bertuah. Konon tidak ada raja hingga presiden yang berani datang ke tempat itu. Mereka yang datang akan berujung pada pelengseran.
Mitos soal keangkeran Kota Kediri ini sebenarnya sudah berlangsung lama. Namun, isu ini kembali mengemuka setelah Sekretaris Kabinet Pramono Anung mengungkit gonjang-ganjing yang terjadi setelah Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pulang dari Lirboyo, Kediri, 21 tahun lalu.
Pramono mengatakan hal itu menanggapi isi sambutan pengasuh Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadin Lirboyo, KH Kafabihi Mahrus. Kiai Mahrus saat itu mengatakan Presiden yang sudah-sudah takut datang ke Kediri (bisa berakibat lengser). Agar tak lengser, ada penawarnya, yakni dengan berziarah ke makam Syekh Al-Wasil Syamsudin.
Baca juga: Pembangunan Bandara Kediri Ditargetkan Rampung Dua Tahun
Saat itu, Pramono bersama Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuldjono, serta Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, datang ke Pesantren Hidayatul Mubtadin dalam rangka peresmian rumah susun di tempat itu.
Acara itu berlanjut dengan pembahasan pembangunan Bandara Kediri di pendopo Pemerintah Kabupaten Kediri bersama pemerintah daerah dan pihak investor.
Beberapa hari kemudian, meski Pramono telah memberikan klarifikasi di Jakarta tentang apa yang ia sampaikan di Kediri, memori publik, khususnya warga Kediri, mengenai tanahnya yang bertuah telanjur bangkit. Perbincangan hangat di kalangan masyarakat pun bergulir.
Baca juga:Kampiun Global dari Kediri
Dari mana asal mitos itu? Budayawan Kediri, Imam Mubarok, menuturkan, mitos ini berkembang sejak zaman Raja Kartikeyasinga (suami Ratu Shima), penguasa Kerajaan Kalingga (selatan). Raja membuat semacam aturan pada abad ke-6 Masehi. Salah satu dari aturan itu menyebut bagaimana menjadi pemimpin negara yang baik. Sebaliknya, pemimpin yang tidak baik akan jatuh.
”Aturan itu terdapat dalam Kalingga Dharmasastra yang terdiri atas 119 pasal,” ujarnya.
Aturan yang dibuat Kartikeyasinga itu kemudian menjadi rujukan peraturan lain yang muncul kemudian, seperti Purwadigama Dharmasastra di era Singhasari yang terdiri atas 174 pasal, hingga Kitab Undang-Undang Majapahit, Kutara Manawa Dharmasastra, yang memiliki 272 pasal.
Dari situlah, menurut Barok, mitos ini kemudian berkembang kuat. Karena itu, sebagian besar raja dan presiden tidak pernah datang ke Kediri lantaran khawatir bakal jatuh.
Barok menyebut Soekarno (Bung Karno) pernah ke Kediri tahun 1948-1950. Saat itu Bung Karno berkunjung ke rumah Komandan Brigade Sikatan Letnan Kolonel Surahmat di barat Sungai Brantas.
Baca juga: Heboh, Isu Presiden Soekarno Mundur
Sementara Gus Dur pernah berkunjung ke Kediri tahun 1999 saat Muktamar Ke-30 Nahdlatul Ulama di Lirboyo. Baik Bung Karno maupun Gus Dur kemudian lengser akibat faktor politik meski tidak secara langsung terjadi saat itu.
Dari penelusuran Kompas, Bung Karno turun takhta pada 12 Maret 1967 oleh Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS). Posisi Bung Karno kemudian digantikan oleh Soeharto, sedangkan Gus Dur lengser oleh Sidang Istimewa MPR 23 Juli 2001.
Adapun presiden lain yang pernah ke Kediri, menurut Barok, adalah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). SBY datang ke Kediri tahun 2007 dan 2014 seusai erupsi Gunung Kelud. Namun, kedatangan SBY kala itu tidak melalui Kota Kediri, tetapi melipir atau mencari jalan pinggir ke sisi timur (Kabupaten Kediri).
Baca juga: Presiden Kunjungi Pengungsi Kelud
Sejauh ini tidak ada rincian wilayah mana yang punya tuah. Namun, jika ditelisik, hal itu mengacu pada wilayah di sisi barat Sungai Brantas. Lokasi itu menjadi tempat pawiyatan, pengaderan, dan pendidikan sejak zaman dulu sampai sekarang. Di lokasi ini juga ada Goa Selomangleng yang dikenal sebagai tempat pertapaan Dewi Kilisuci, putri Airlangga Raja Kahuripan.
”Namun, ketika yang memimpin itu kuat, maka (setelah ke Kediri) akan semakin kuat orangnya. Misalnya Gajah Mada. Sebelum jadi mahapatih, Gajah Mada dikader di Kediri sebagai Bhre Kediri. Raja kecil di Kediri. Jadi ada juga hikmah positifnya bahwa menjadi pemimpin harus benar-benar suci,” tuturnya.
Kesejarahan
Sejarawan Universitas Negeri Malang, M Dwi Cahyono, memiliki pendapat tersendiri. Dwi menyebut sisi kesejarahan (history) dan cerita yang berkembang di masyarakat (story) berkelindan mewarnai Kediri di masa lalu. Dari sisi sejarah terjadi beberapa kali peristiwa keruntuhan penguasa di daerah itu.
Menurut Dwi, setidaknya ada dua keruntuhan besar terjadi di Kediri. Pertama, Kediri menjadi lokasi keruntuhan Majapahit. Majapahit yang disebut-sebut runtuh pada tahun 1478 M (yang ditandai dengan tafsir Candrasengkala 1400 Saka) ternyata masih berlanjut setidaknya 50 tahun ke depan, meski ibu kota tidak lagi di Wilwatikta (Trowulan) dan dinastinya berubah dari Rajasa Wangsa ke Girindra Wardhana Wangsa.
Baca juga: Proses Ekskavasi Struktur Bata Era Majapahit
Hal ini bisa dilihat setelah masa 1478 ada sebuah nota kesepahaman antara Majapahit dan Portugis yang dibuat di Pelabuhan Jaratan, Gresik. Pihak yang bertanda tangan dari pihak Majapahit ternyata Pate Udara. Pate Udara ini ternyata berkuasa di Kediri, tepatnya tahun 1527-1528 M.
”Jadi, ketika Majapahit diperintah oleh Pate Udara di bawah Dinasti Girindra Wardhana, pusat pemerintahan Majapahit bergeser dari Wilwatikta kembali ke middle Brantas di sekitar Kediri. Saya prediksi lokasinya di Brangkulon (seberang barat Sungai Brantas), di timur Gunung Klotok. Di situ ada temuan situs arkeologi yang cukup kaya,” katanya.
Baca juga: Menjala Sampah Sungai Brantas, Merawat Peradaban Jawa Timur
Di era inilah Kesultanan Demak mulai muncul, dan Majapahit yang ada di Kediri runtuh akibat ekspansi Demak yang dipimpin Sultan Tranggono.
”Ini riwayat keruntuhan pertama di Kediri. Kok, runtuhnya (Majapahit) di Kediri, bukan di Trowulan? Karena saat Wilwatikta bukan menjadi ibu kota, Majapahit masih ada,” ujar Dwi.
Riwayat keruntuhan kedua di era perkembangan Islam. Ada pemberontakan Trunojoyo terhadap Kesultanan Mataram. Pemberontakan ini terjadi di Jawa Tengah, kemudian bergeser ke arah timur.
Ternyata di timur, Trunojoyo memusatkan kekuatannya di Kediri. Di sini ia membangun benteng yang kuat hingga di Selokurung (Ngantang, Kabupaten Malang).
”Puncak kekuasaan Trunojoyo paling kuat di Kediri. Mataram yang berkoalisi dengan kongsi dagang belanda (VOC) akhirnya berhasil mengalahkan Trunojoyo sekitar tahun 1670. Ini menjadi keruntuhan kedua yang terjadi di Kediri,” ucapnya.
Selain dua kasus di atas, ada peristiwa keruntuhan lain, tetapi lokasinya tidak terjadi di wilayah Kediri meski bersinggungan dengan Kediri. Kerajaan Kediri di bawah kepemimpinan Kertajaya tumbang di tangan Ken Arok dari Singhasari tahun 1222 M dalam pertempuran di Ganter (Ngantang) yang masuk wilayah Malang.
Tahun 1292 Singhasari kemudian runtuh oleh serangan Jayakatwang (raja bawahan Singhasari yang ditempatkan di Kediri). Selang setahun kemudian, Raden Wijaya yang merupakan keturunan Singhasari berkoalisi dengan tentara Mongolia berhasil mengalahkan Jayakatwang (1293).
Baca juga: Terbata-bata Membaca Bata Purba
”Ketumbangan demi ketumbangan dari peristiwa historis ini kemudian bisa memungkinkan munculnya mitos tentang keruntuhan (pemimpin atau pejabat tinggi) yang kemudian dipercaya masyarakat,” kata Dwi.
Apalagi, lanjut Dwi, di Kediri juga terdapat sejumlah legenda yang berisi ”keangkeran” sebagaimana disebut dalam Babad Kediri. Sebut saja legenda Buto Locoyo, Totok Kerot, hingga Calon Arang yang bersifat antagonis.
”Kediri kaya akan sastra tulis dan lisan. Sastra Lisan ini bisa dalam bentuk mitos dan legenda. Ini kemudian beredar dan diyakini masyarakat,” katanya.
Dwi menyebut ”keangkeran” sebuah wilayah karena pengalaman historis maupun cerita tidak hanya terjadi di Kediri, juga di wilayah lain, tetapi skalanya lebih sempit. Mereka yang meyakini tidak hanya masyarakat biasa, tetapi juga hingga pejabat teras.
Dari sisi geografis, Kota Kediri sebenarnya tidak banyak berbeda dengan kota kecil lainnya. Kota berpenduduk 285.582 jiwa (2018) itu dikelilingi oleh Kabupaten Kediri yang memiliki luas 1.386 kilometer persegi dengan jumlah penduduk 1,5 juta jiwa (2017).
Baca juga: Resonansi Bergiat Warga Kediri
Perkembangan Kediri tidak hanya diiringi dengan mitos bernada sakral, tetapi juga kearifan dan pandangan akan masa depan. Salah satu yang terkenal adalah ramalan Wolak Walik ing Jaman dalam Serat Jaya Baya. Raja Kediri yang memerintah tahun 1135-1157 ini meramal tentang masa depan yang masih dipercaya banyak orang hingga saat ini.
Wali Kota Kediri Abdullah Abu Bakar mengatakan, daerahnya sebenarnya biasa saja. Ia pun mempersilakan semua orang datang ke Kediri. Memang, menurut Abu Bakar, ada sejumlah tempat yang memiliki nilai tersendiri, tetapi mesti disikapi secara bijaksana.
”Banyak orang berpendapat begitu. Kalau menurut saya tidaklah. Kalau niatnya baik, pasti tidak jadi masalah. Yang disampaikan Kiai Kafa (KH Kafabihi Mahrus kepada Pramono Anung) tidak masalah ke Kediri. Kalau takut, ya, harus sowan (permisi) ke makam Kiai Wasil di Sonogedong. Itu, kan, gurunya Jayabaya. Sebenarnya tidak ada masalah,” katanya.
Selama dua periode kepemimpinannya, Abu Bakar membenarkan bahwa belum pernah ada presiden yang datang ke Kediri.
”Waktu saya masih Wakil Wali Kota (2019-2014) ada Pak SBY, tapi menjelang selesai (masa kepemimpinannya). Silakan saja datang, wong tidak ada apa-apa. Banyak juga orang dari Kediri yang pangkatnya justru melejit,” ucapnya.