Dituntut Tiga Tahun, Mimpi Saprudin Rentan Suram Seperti Muram Penglihatannya
Di usia renta, Saprudin terus bermimpi bertemu keluarganya. Dituntut 3 tahun penjara dengan denda Rp 3 miliar akibat diduga membakar lahan, bisa jadi Saprudin tak akan mimpi indah tapi muram seperti penglihatannya.
Di usia yang semakin renta, Saprudin terus berharap mimpi bertemu keluarganya. Dituntut 3 tahun penjara dengan denda Rp 3 miliar akibat diduga membakar lahan, bisa jadi Saprudin tak akan mimpi indah tapi muram seperti penglihatannya yang mulai melemah.
Usianya tak lagi muda. Saprudin atau biasa dipanggil Sapur kini sudah menginjak usia 61 tahun. Banyak kerutan menghiasi wajah tuanya. Selain fungsi, pendengarannya pun terganggu.
Akan tetapi, alih-alih menikmati masa tua dengan tenang, bayang-bayang menghabiskan sisa hari di balik jeruji penjara melayang-layang di kepalanya. Ditambah dengan tuntutan denda mencapai miliaran rupiah, hari - hari petani gurem asal Kalimantan Tengah ini jelas tengah muram.
Dalam persidangan pada Senin (13/1/2020), Kompas melihat keterbatasan itu. Ketika berjalan, Sapur harus dituntun dua petugas kejaksaan. Semua ironi tak selesai saat ia duduk di kursi pesakitan. Arus komunikasi selama persidangan pun tak sepenuhnya lancar.
Hakim ketua Cipto Nababan perlu beberapa kali mengulang pertanyaannya ke Sapur. Saat berbicara dengan Sapur, Cipto harus menyaringkan suaranya seperti berteriak. Saat berteriak itu, wajah Sapur terlihat menoleh ke arah suara. Selama persidangan pandangannya hanya lurus ke depan. Padahal, ia duduk di sebelah kiri para hakim.
Beberapa kali saat ditanya hakim, Sapur juga tak langsung menjawab. Salah seorang kuasa hukumnya, Ditta Wisnu, harus berbicara langsung ke telinga Sapur. Baru setelah itu, Sapur bisa menjawab.
Beberapa kali Sapur mencampur bahasa Indonesia dengan bahasa Dayak Bakumpai. Hal itu membuat hakim harus bertanya pada salah satu asisten kuasa hukum Sapur, yang kebetulan orang Dayak Bakumpai.
Saat itu, Sapur tengah menjelaskan tentang merangai. Merangai merupakan kegiatan peladang ketika bekerja. Biasanya, peladang akan mengumpulkan ranting-ranting yang kering untuk dibakar selain ranting.
Mereka juga biasanya mengumpulkan sampah bekas potongan-potongan kayu atau daun. Tujuan merangai, selain untuk membersihkan sisa kayu juga cara mengusir nyamuk.
“Saat itu saya buat pagar, sisa kayu buat pagar itu saya bakar. Daripada babi hutan atau sapi masuk ke kebun jagung saya,” katanya.
Kendala komunikasi
Kisah kelamnya bermula saat Sapur ditangkap 18 September 2019 di di kebun miliknya di Desa Juking Panjang, Kabupaten Murung Raya, Kalteng. Tempat ia menggantung hidup, berubah jadi petaka. Dia ditangkap karena dianggap membakar hutan dan lahan.
Ia lantas ditahan dan kini tengah diadili di Pengadilan Negeri Muara Teweh, Kabupaten Barito Utara, sekitar 178 kilometer dari rumahnya. Dalam waktu dekat, ia akan menghadapi sidang putusan perkara kebakaran hutan dan lahan. Pada sidang tuntutan Kamis (20/2/2020), dia dituntut tiga tahun penjara dan denda Rp 3 miliar subsider satu bulan penjara.
Baca Juga : Menangkapi Peladang Dinilai Bukan Solusi/
Dalam Surat Tuntutan Kejaksaan Negeri Murung Raya Nomor Register Perkara PDM-01/P.Cahu/11/2019, aktivitas yang dilakukan Sapur dinilai menyebabkan pencemaran udara dan kabut asap di Kabupaten Murung Raya. Selain itu, ada tiga hal yang memberatkannya.
Sapur dianggap memberi keterangan berbelit-belit. Selain itu, aktivitasnya membuka lahan dengan cara dibakar memicu pencemaran udara. Hal itu dianggap mengganggu kehidupan atau aktivitas warga lainnya.
“Sapur itu ada gangguan pendengaran dan penglihatan sehingga pasti orang yang tak biasa pasti kesulitan dan harus mengulang-ulang pertanyaan jika berbicara dengannya,” kata Ditta Wisnu di Palangkaraya, Senin (24/2/2019).
Tuntutan yang diajukan pun dianggapnya tidak masuk akal. Ditta mengatakan, jaksa penuntut umum mengakui bila lahan yang dimiliki Sapur tak sampai satu hektar atau tepatnya 50 meter x 70 meter. Hal itu bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Padahal, aturan itu yang digunakan JPU untuk mendakwa Sapur.
“Dalam undang-undang itu jelas mengatakan tidak boleh membakar kalau lahannya di atas dua hektar. Sedangkan, jaksa mengakui kalau lahan Sapur tak sampai satu hektar,” kata Ditta.
Ditta menambahkan, saat ditangkap Sapur bukan sedang membakar lahan. Dia tengah membakar ranting-ranting bekas pembersihan berbulan-bulan sebelumnya. Hal itu, kata Ditta, tidak mungkin memicu asap menutupi Murung Raya.
Sapur itu ada gangguan pendengaran dan penglihatan sehingga pasti orang yang tak biasa pasti kesulitan dan harus mengulang-ulang pertanyaan jika berbicara dengannya (Ditta Wisnu)
Kasus ini menunjukan bara kebakaran hutan dan lahan di Kalteng tahun 2019 lalu masih memerah. Butuh akal jernih untuk menyikapi dampaknya saat api dan asap sudah lama pergi.
Data Polda Kalteng menyebutkan, terdapat 161 kasus perorangan dan 20 kasus korporasi terkait kebakaran hutan dan lahan di provinsi itu. Dari 161 kasus, sudah ditetapkan 121 tersangka dengan total luas lahan kebakaran seluas 298,97 hektar. Sedangkan dari 20 kasus korporasi, baru dua perusahaan yang menjadi tersangka dengan total luas mencapai 468,5 hektar. Hingga kini, dua tersangka dari korporasi belum memasuki masa persidangan.
Pihak kejaksaan menggunakan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 108 Jo Pasal 69. Tersangka diancam hukuman penjara minimal tiga tahun dan maksimal 10 tahun. Denda maksimalnya mencapai Rp 10 milyar.
Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebutkan terjadi kenaikan luas kebakaran hutan dan lahan di Kalteng selama setahun terakhir. Pada tahun 2018, luas kebakaran mencapai 33.224 hektar, lalu pada tahun 2019 naik menjadi 134.227 hektar atau dua kali luas dari DKI Jakarta.
Murung Raya adalah salah satu kabupaten terdampak kebakaran itu. Data Polda Kalteng menyebutkan, ada 40 kebakaran hutan dan lahan di Murung Raya. Luasnya mencapai 66,57 hektar. Dari sekian banyak kasus itu, baru Sapur yang diadili.
“Ini tidak logis. Kami sedang membuat pledoi dan berharap Sapur dibebaskan dan bisa kembali ke keluarganya,” kata Ditta.
Aturan hukum
Salah satu Jaksa Penuntut Umum Liberty Purba mengungkapkan, pihaknya hanya menjalankan hukum seadil-adilnya dan membuktikan kalau Sapur memang membakar lahan. Salah satu kebijakan dari banyak aturan larangan membakar pun sudah disampaikan ke hakim. Ia mencontohkan aturan larangan membakar di surat edaran bupati dan gubernur saat masa tanggap darurat kebakaran hutan dan lahan.
“Kami hanya menjalankan tugas dan mengikuti mekanisme dan kebijakan yang ada. Sejak tanggap darurat membakar itu dilarang,” kata Liberty.
Baca Juga : Jalani Sidang, Antonius Mengaku Ditangkap saat Padamkan Api di Kebunnya
Liberty menjelaskan, larangan membakar lahan tidak serta merta melarang masyarakat berladang. Dalam situasi tanggap darurat, berladang tetap boleh dilakukan hanya saja tidak dengan membakar.
Selain itu, JPU maupun hakim memahami Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang pada pasal 168 membolehkan petani membakar lahan dengan luas kurang dari dua hektar. Namun, JPU menggunakan aturan yang dikeluarkan melalui SK Bupati Murung Raya maupun SK Gubernur Kalteng tentang larangan membakar.
“Bukan melarang, jangan sampai ada stigma bahwa tidak boleh berladang, tetapi cara membakar itu yang tidak boleh,” kata Liberty.
Bukan melarang, jangan sampai ada stigma bahwa tidak boleh berladang, tetapi cara membakar itu yang tidak boleh (Liberty Purba)
Ketua Pengurus Wilayah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Kabupaten Murung Raya Syahrudin menilai penegak hukum tebang pilih. Seharusnya, peladang berpindah seperti Sapur dibebaskan karena yang dilakukannya merupakan kearifan lokal.
"Sejak dulu masyarakat Dayak sudah membakar ladang, jika dibandingkan dengan perusahaan mereka lebih luas membakarnya, ini tidak adil kalau sampai di penjara," kata Syahrudin.
Syahrudin mengungkapkan, ia juga menyayangkan keterangan ahli dalam persidangan yang menilai tidak ada masyarakat adat di Kabupaten Murung Raya. Meskipun belum diakui, masyarakat sudah ada bahkan sebelum negara ini dibentuk.
Apalagi, pengakuan dan perlindungan kearifan lokal dilindungi negara. Aturannya ada dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 34 tahun 2017 tentang Pengakuan dan Perlindungan Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup.
"Apa yang dilakukan Sapur itu merupakan hukum adat tidak tertulis, ada aturannya membakar lahan dan ia sudah menjalankannya," kata Syahrudin.
Seperti pelanduk diantara pertarungan para gajah, Sapur tak berdaya. Dia kini hanya ingin pulang. Tak ada lagi rindu pada kebun, tempat dimana ia ditangkap setahun lalu. Kini, tinggal senyum istri, tujuh anak dan enam cucunya meski bayang trauma itu susah hilang.
"Istri saya sakit-sakitan sejak saya dipenjara," kata Sapur lesu menambah jelas kerutan tebal di wajahnya yang renta.
Baca Juga : Ketika Penjara Bukan Solusi